Philia-Leadershiap
Yohanes 15:9-16
Istilah “philia-leadership” diterjemahkan sebagai: “kepemimpinan sahabat.” Makna kepemimpinan biasanya dipahami sebagai kemampuan yang dilandasi oleh otoritas tertentu dalam mengkoordinasi, menggerakan dan mencapai tujuan bersama. Pada pihak lain otoritas dimaknai sebagai kekuasaan yang lebih tinggi untuk mengatur, mendisiplinkan, dan menjalankan roda pemerintahan. Karena itu kepemimpinan sering dipahami sebagai relasi “atas-bawah” (pemimpin-dipimpin). Namun Tuhan Yesus dalam pelayanan-Nya memberi corak yang khusus, yaitu menempatkan diri-Nya sebagai sahabat. Sebagai seorang sahabat, Tuhan Yesus menjadikan para murid sebagai kawan-sekerja Allah.
Dalam praktik tidaklah mudah untuk mewujudkan kepemimpinan yang setara dalam dimensi persahabatan. Karena dalam diri manusia senantiasa terdapat kecenderungan untuk menguasai-dikuasai. Kecenderungan “menguasai” tidak harus selalu berasal dari atas (pimpinan) tetapi juga dapat berasal dari bawah (yang dipimpin). Relasi “menguasai-dikuasai” bisa terjadi dalam hubungan suami-istri, orang-tua dengan anak, pimpinan-pegawai, penguasa-rakyat, dan sebagainya. Karena itu dalam praktik bisa terjadi yang sebaliknya, yaitu: istri menguasai suami, anak menguasai orang-tua, rakyat menguasai penguasa. Relasi “menguasai-dikuasai” cenderung mengerahkan energi yang ada untuk mengalahkan pihak lain. Akibatnya dalam relasi “menguasai-dikuasai” tidak pernah menghasilkan sesuatu yang produktif. Namun tidaklah demikian relasi dan pola “kepemimpinan-sahabat.” Sebab dalam pola kepemimpinan-sahabat setiap energi digunakan untuk kebaikan, kesejahteraan dan pengembangan setiap pihak.
Di Yohanes 15:14 Yesus menyebut para murid-Nya dengan predikat “sahabat” yaitu: “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” Kata “sahabat” (philos) dipakai dalam Yohanes 15 sebanyak tiga kali dan ditempatkan dalam konteks “mengasihi.” Dengan demikian jelas bahwa kepemimpinan-sahabat terjadi dalam konteks mengasihi. Sebaliknya tindakan “menguasai” apapun bentuknya tidak pernah lahir dari kasih. Tindakan “menguasai” lahir dari kesombongan atau perasaan superior. Seseorang atau sekelompok orang yang merasa diri superior senantiasa memandang diri secara berlebihan. Mereka tidak mampu bersikap realistis dengan keberadaan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian superioritas diri akan terjadi karena seseorang dikuasai oleh kelemahan, sehingga ia cenderung mencari kelemahan orang lain.
Pola “kepemimpinan-sahabat” menjadi suatu kemungkinan karena masing-masing pihak menyadari kelemahan dan keterbatasannya sehingga ia terdorong untuk dilengkapi dengan kelebihan dan kemampuan pihak lain. Amsal 17:17 berkata: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Pola kepemimpinan-sahabat sangatlah cocok untuk dipraktikkan dalam berbagai dimensi kehidupan baik dalam dunia sekuler maupun dalam kehidupan rohani. Dalam kehidupan gereja, kepemimpinan-sahabat digambarkan oleh Rasul Paulus dengan “kesalingtergantungan” organ-organ tubuh manusia. Di 1 Korintus 12:21 Rasul Paulus berkata: “Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: Aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: Aku tidak membutuhkan engkau.” Karena itu sejauhmana kita telah mempraktikkan kesalingtergantungan sebagai organ-organ dalam Tubuh Kristus, yaitu gereja-Nya? Dalam kesalingtergantungan setiap pihak melaksanakan fungsinya masing-masing secara optimal yang bersedia diikat oleh ikatan kasih Kristus.
Ikatan kasih Kristus adalah ikatan iman dan spiritualitas yang paling fundamendal. Karena itu alat ukur yang paling akurat apakah suatu persekutuan disebut “gereja” (Tubuh Kristus), yaitu apabila dilandasi dan dimanifestasikan dalam sikap kasih. Apakah suatu rumah-tangga disebut keluarga umat percaya yaitu apabila dilandasi dan dimanifestasikan dalam kasih. Karena kasih adalah pondasi utama dari pola kepemimpinan-sahabat. Tanpa kasih, maka akan terjadi “kepemimpinan-lawan” sehingga terjadi praktik politis yang menciderai hakikat gereja sebagai Tubuh Kristus, atau rumah-tangga sebagai “keluarga Allah.” Bagaimana dengan Saudara?
————————————————————————————–
Keluarga yang Saling Melayani
Roma 16:1-16
Jemaat adalah persekutuan umat percaya sebagai keluarga Allah. Sebagai keluarga Allah, setiap gereja senantiasa terdiri dari persekutuan keluarga-keluarga. Lalu di dalam keluarga-keluarga tersebut terdiri para pribadi. Karena itu kehidupan gereja senantiasa terdiri dari persekutuan pribadi-pribadi dan keluarga-keluarga yang diikat oleh kasih dan iman kepada Kristus. Makna keluarga yang melayani merupakan persembahan diri dari setiap pribadi dan setiap keluarga sehingga membentuk suatu persekutuan umat percaya yang fungsional, yaitu berperan sesuai dengan tugas panggilannya.
Di Roma 16:1-16 Rasul Paulus menyebut secara detil nama-nama anggota jemaat yang telah melayani bersama dengan dia. Jumlah nama-nama anggota jemaat tersebut terdiri 27 orang. Rasul Paulus bukan hanya menyebut 27 orang tersebut tetapi juga memberikan keterangan singkat tentang peran pelayanan mereka. Keterangan singkat tersebut bersifat positif sebab merupakan ucapan penghargaan yang tulus terhadap jerih-lelah mereka. Misal ungkapan: “Febe, saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea,” “Priskila dan Akwila yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku” (Rm. 16:1, 3-4). Dengan demikian keberhasilan Rasul Paulus dalam melayani jemaat bukan hanya karena faktor karunia, kompetensi, semangat dan pengabdian yang tulus kepada Tuhan tetapi juga karena ia mampu menghargai rekan sepelayanan. Keluarga yang melayani akan terwujud apabila setiap orang mampu memberi penghargaan yang tulus kepada orang-orang yang melayani bersama dia.
Semangat melayani baik di dalam keluarga maupun gereja menjadi kendor apabila setiap anggota bersikap dingin dan tidak memberi apresiasi yang tulus terhadap pekerjaan atau hasil karya anggota yang lain. Lebih buruk lagi apabila mereka lebih cenderung mencari kelemahan dan kesalahan orang lain. Sikap tersebut tidak membangun persekutuan, sebaliknya menimbulkan perasaan terluka. Sebab pada dasarnya setiap orang memiliki tiga kebutuhan mendasar dalam relasi sosial, yaitu: “pengakuan, penghargaan dan penerimaan.” Sebagaimana kita membutuhkan pengakuan, penghargaan dan penerimaan dari orang lain, maka kita juga wajib memiliki komitmen dan tindakan untuk memberi pengakuan, penghargaan dan penerimaan kepada orang lain. Tuhan Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12).
Tujuan keluarga yang melayani adalah memuliakan Allah sebagai tim kerja yang sehati dan sepikir sehingga menghasilkan karya yang lebih bermakna dan optimal. Padahal umat manusia sepanjang zaman cenderung bersikap individualistis dan mengagungkan karya-karya pribadinya. Tentu kita diizinkan untuk berprestasi dan mempermuliakan Tuhan sebagai individu-individu. Namun di lain pihak sejauh mana kita secara seimbang mempermuliakan Tuhan sebagai tim kerja dalam suatu komunitas. Keberadaan orang lain bukanlah sekadar pelengkap dalam kehidupan kita. Kehadiran sesama adalah bagian yang hakiki dari nilai keberadaan kita di dunia ini. Sebab nilai dan makna keberadaan kita ditentukan oleh keberadaan sesama. Allah menghendaki kita mempermuliakan nama-Nya sebagai persekutuan umat. Karena itu sejak awal Allah mendirikan persekutuan “Kahal Yahweh” (Umat Tuhan) dan “ekklesia” (jemaat). Keselamatan Allah senantiasa dinyatakan kepada komunitas umat. Abraham dipanggil keluar untuk membentuk umat dan bangsa. Israel yang berstatus sebagai budak dibebaskan agar menjadi umat Allah.
Bentuk dan pola dari keluarga yang melayani adalah setiap anggota keluarga menggunakan setiap talenta dan karunia yang dimiliki untuk membangun kebersamaan sebagai komunitas umat Allah. Karena itu yang utama adalah apabila setiap keluarga dan jemaat mampu mengelola secara sinergis setiap perbedaan-perbedaan dan kesalahpahaman yang terjadi. Keluarga yang mampu melayani adalah keluarga yang mampu mengelola konflik. Hasil dari kemampuan mengelola konflik adalah rekonsiliasi (pendamaian). Dengan rekonsiliasi setiap anggota keluarga tetap mampu melayani di tengah-tengah perbedaan, kesalahpahaman dan konflik. Dengan demikian semakin jelas bahwa makna keluarga yang melayani bukanlah bebas dari konflik, perselisihan dan kesalahpahaman. Kemampuan untuk mengelola konflik dan perselisihan menunjukkan bahwa kita telah dewasa secara iman. Dengan kedewasaan iman itulah kita dimampukan untuk melayani Tuhan dengan kasih.
Bagaimanakah sikap saudara dalam melayani Tuhan? Apakah mencerminkan sikap sebagai keluarga Allah dan menghargai setiap orang yang melayani di tengah-tengah-tengah kita? Sejauh mana Saudara mampu mengelola konflik? Kegagalan kita mengelola konflik menunjukkan bahwa kita belum berkenan di hadapan Tuhan untuk melayani Dia.
————————————————————————————–
Pertobatan untuk Memberlakukan Keadilan
Yes. 1:10-18; Mzm. 32:1-7; 2 Tes. 1:1-4, 11-12; Luk. 19:1-10
Profesi sebagai pemungut cukai pada zaman Yesus dibenci oleh banyak orang sekaligus membuat ia kaya-raya. Demikian pula Zakhesus sebagai kepala pemungut cukai. Zakhesus dibenci sebab dianggap sebagai lintah-darat dan kaki-tangan penjajah Romawi, namun di sisi lain ia kaya-raya karena berhasil memeras rakyat. Secara sosial-keagamaan, Zakheus adalah musuh orang banyak. Tetapi dalam Lukas 19:1-10 mengisahkan bagaimana Yesus secara khusus menyapa dan menumpang di rumah Zakheus. Efek kehadiran Yesus di rumah Zakheus adalah ia mengalami pertobatan yang dinyatakan dengan pernyataan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk. 19:8). Pertobatan Zakheus dinyatakan dengan memberi persembahan dari separuh dari kekayaannya dan pemberian kompensasi kepada orang-orang yang pernah ia rampas sebesar 400%.
Pesan Injil dalam kisah Zakheus memberitakan bahwa pertobatan harus dinyatakan dengan memberlakukan keadilan kepada orang-orang yang pernah ia rampas. Pertobatan barulah bermakna apabila dinyatakan dalam pembaruan hidup dalam perilaku. Di hadapan Allah kita tidak dapat dianggap bertobat, apabila masih sebatas penyesalan. Sebab penyesalan masih sebatas ekspresi emosional tetapi belum merupakan wujud dari kehidupan yang dibarui. Padahal makna “pertobatan” (metanoia) adalah perubahan orientasi dan perilaku kehidupan secara radikal, yaitu dari kehidupan yang duniawi berubah menjadi kehidupan yang benar di hadapan Allah. Karena itu pertobatan bukan sekadar ungkapan personal dalam suatu kegiatan ritual-keagamaan tetapi pembaruan cara pandang, tutur-kata dan tindakan sehingga kehidupannya menjadi kehadiran yang mendatangkan berkat bagi sesamanya. Di Yesaya 1:13 Allah menyampaikan teguran, yaitu: “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.”
Konteks berita Yesaya 1:10-18 adalah umat menonjolkan ritualisme keagamaan untuk menyembunyikan kejahatan yang pernah dilakukan. Umat memberikan persembahan dalam jumlah yang fantastis dan perilaku keagamaan yang begitu menonjol tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi penindas sesama. Kehidupan rohani mereka serba mendua sehingga berlaku munafik. Mereka tampak saleh tetapi juga menjadi monster. Mulut, pakaian keagamaan dan persembahan mereka memuliakan Allah tetapi perilaku mereka merendahkan harkat sesama. Firman Tuhan menyatakan: “Jikalau seorang berkata: Aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1Yoh. 4:20). Kata “pendusta” dari Surat 1 Yohanes 4:20 berasal dari kata preustes, yang artinya juga “pembohong, palsu, tidak setia dan jauh dari sikap iman.” Ternyata kata “praustes” dipakai pula oleh Tuhan Yesus di Yohanes 8:44, yaitu untuk menunjuk sifat Iblis. Sifat Iblis adalah: “Sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.”
Zakheus semula hidup dalam “praustes” yaitu sebagai pembohong yang menindas dan memanipulasi orang banyak untuk kepentingannya sendiri. Tetapi perjumpaannya dengan Yesus telah mengubah seluruh orientasi hidupnya. Di dalam Kristus, ia membuang semua kebohongan dan kepalsuannya sehingga Yesus berkata:
“Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham” (Luk. 19:9). Demikian pula setiap diri kita semula adalah “pembohong” dan munafik. Jika demikian apakah di dalam iman kepada Kristus saat ini kita telah membuang semua kepalsuan dan kemunafikan kita?
Kita dapat membungkus kepalsuan dan kemunafikan kita misalnya melalui: dedikasi kita dalam melayani Tuhan, aktif sebagai penggiat di gereja, memberi persembahan, membela orang-orang miskin, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang saleh tersebut dapat kita manipulasi menjadi kemunafikan apabila pertobatan kita tidak dilandasi oleh integritas diri, yaitu hidup baru di dalam Kristus. Karena itu lakukanlah pelayanan Tuhan dengan pertobatan dan integritas diri yang lahir dari hati yang hancur serta jiwa yang remuk. Sebab tanpa pertobatan dan integritas diri, kehidupan kita jauh dari keselamatan Allah.
————————————————————————————–
Jadilah Penurut-penurut Allah
Efesus 5:1-2; Yohanes 6:35, 41-51
Tujuan utama keselamatan Allah adalah umat menjadi penurut-penurut Allah, yaitu hidup menurut gambar dan rupa-Nya. Menurut Kolose 1:15 gambar dan rupa Allah yang sesungguhnya adalah Kristus, yaitu: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Ini berarti kita dipanggil untuk hidup serupa dengan Kristus (imitatio Christi). Makna serupa dengan Kristus adalah hidup tanpa dosa. Ibrani 4:15 berkata: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Tetapi dalam realita tidak seorangpun di antara kita yang hidup tanpa dosa. Kita dikuasai oleh kuasa dosa dalam setiap aspek kehidupan kita. Karena itu hidup benar dan kudus tidak mungkin kita lakukan dengan kekuatan dan kemampuan manusiawi kita. Di tengah-tengah situasi ketidakberdayaan dan keberdosaan kita, Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35).
Roti merupakan simbol kebutuhan manusia yang paling utama. Bagi umat Israel, roti adalah menu utamanya. Untuk orang Indonesia setiap hari kita makan nasi atau sejenisnya. Jika demikian, hidup kudus dan benar hanya diperoleh apabila kita menjadikan Kristus sebagai tujuan dan dasar utama dari setiap kebutuhan kita. Kegagalan kita menjadi penurut-penurut Allah (imitatio Christi) karena tidak menjadikan Kristus sebagai tujuan dan dasar utama dari setiap kebutuhan kita. Perhatian dan keinginan kita mudah dibelokkan kepada “penyelamat-penyelamat” palsu yang menggantikan Kristus. Karena itu kita menjadikan materialisme (hati yang melekat dengan materi), hedonisme (hati yang melekat kepada kenikmatan), kapitalisme (hati yang melekat kepada uang), kedudukan dan kekuasaan sebagai idol (berhala) kita. Setiap diri kita memiliki idol-idol (berhala-berhala) tertentu, yaitu apapun dan siapapun yang membuat kita tergantung dan melekat kepadanya.
Saat kita melekat kepada idol-idol (berhala-berhala) tersebut, kita tidak menerima dan menyambut Kristus dengan segenap hati. Karena itu hidup kita tidak dilandasi oleh iman, namun dikuasai oleh keinginan daging dan nafsu duniawi. Salah satunya adalah kita tidak mudah bersyukur. Kita bersungut-sungut seperti yang dilakukan oleh umat Israel di padang-gurun, dan juga orang-orang Farisi di Yohanes 6:41. Tuhan Yesus menegur mereka: “Jangan kamu bersungut-sungut” (Yoh. 6:43). Efek lain dari sikap yang bersungut-sungut adalah kita mudah bertengkar (Yoh. 6:52). Karena itu siklus hidup kita setiap hari dipenuhi perasaan marah, jengkel, kesal, mudah tersinggung, benci, dendam, iri-hati, sombong, dan amarah. Ciri hidup kita adalah menjadi penurut-penurut kuasa dunia. Namun saat ini dengan rahmat-Nya Allah memanggil kita untuk menjadi penurut-penurut Allah, yaitu bilamana kita bersedia menempatkan Kristus sebagai tujuan dan dasar utama panggilan hidup kita sehingga menyingkirkan dan membuang semua idol-idol yang menguasai kehidupan kita. Apakah kita bersedia membuka hati untuk menerima Kristus sebagai Roti Hidup yang menguasai dan mengendalikan hidup kita?
————————————————————————————–
Saat Berada dalam Pencobaan
Kidung Agung 1:1-17; Yakobus 1:1-8
Makna pencobaan beda dengan ujian. Sebab makna pencobaan adalah suatu kejadian derita yang sangat pahit dan tidak terduga. Tapi makna ujian adalah proses yang sudah kita persiapkan dengan baik dan tujuan tertentu yang hendak dicapai, misal: ujian masuk perguruan tinggi, ujian sebagai syarat untuk melamar pekerjaan. Karena itu tidak semua orang siap dengan pencobaan. Pencobaan selalu mendera di saat kita siap atau tidak siap, kuat atau lemah. Misalnya di saat kita gagal dalam usaha, ternyata salah seorang anggota keluarga kecelakaan. Namun pada sisi lain pencobaan merupakan realita kehidupan yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun. Sebab tidak ada seorangpun yang bebas dan kebal dari penderitaan hidup. Faktor pembedanya adalah sikap iman dan perspektif setiap orang dalam menyikapinya.
Bagi orang yang tidak beriman, perspektif hidupnya dipenuhi oleh kemarahan dan penolakan. Namun bagi orang beriman akan memiliki perspektif hidup yang tidak demikian. Bagi orang percaya akan memahami setiap pencobaan sebagai media penyataan Allah. Surat Yakobus memberikan penghiburan agar setiap umat percaya menganggap setiap pencobaan sebagai suatu kebahagiaan. Sebab pencobaan merupakan ujian yang mematangkan dan membawa pertumbuhan kualitas hidup. Dalam konteks ini kita dapat melihat hubungan yang erat antara sikap iman dengan perspektif hidup. Iman yang hidup kepada Allah membawa perspektif hidup yang membebaskan dan membarui. Makna iman bukan sekedar kumpulan doktrin keyakinan. Namun iman adalah sikap rohani yang memahami realita kehidupan dari sudut pandang Allah dalam rencana dan maksud-Nya. Jika demikian apakah Saudara telah menempatkan seluruh persoalan dalam cara pandang dan maksud Allah?
————————————————————————————–
Tahan Uji dalam Pencobaan
Kidung Agung 2:1-7; Yakobus 1:9-16
Saat didera oleh penderitaan dan kesusahan, kita tergelitik untuk mengajukan pertanyaan: “Apakah penderitaan dan kesusahan ini datang dari Allah?” Setelah itu kita mulai memikirkan perjalanan hidup kita ke belakang. Muncul beberapa penilaian, yaitu sebagian menganggap bahwa penderitaan ini terjadi sebagai hukuman Allah sebab kita banyak bersalah, sebagian menganggap sebagai suatu kekeliruan sebab kita merasa hidup kita serba baik dan benar, sebagian lagi sebagai suatu ketidakadilan, sebagian lagi menganggap sebagai karma dari orang-tua, dan sebagainya. Surat Yakobus menegaskan bahwa Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun (Yak. 1:13). Lebih tepat kita dicobai oleh oleh keinginan kita sendiri. Keinginan yang dimaksudkan di sini adalah hawa-nafsu daging atau duniawi. Rasul Paulus menguraikan hawa-nafsu daging dalam Galatia 5:20-21. Uraian yang detil tersebut biasanya diringkas menjadi “tujuh dosa maut,” yaitu: kesombongan, kemarahan, keserakahan, iri-hati, nafsu cabul, sikap rakus, dan kemalasan.
Pencobaan-pencobaan yang kita alami utamanya disebabkan oleh tujuh dosa maut tersebut. Namun pada pihak lain kita merasa diri telah hidup benar dan saleh. Justru di sinilah letak masalah utamanya. Kita tidak merendahkan diri, menyesal dan bertobat namun malahan membenarkan diri, sebaliknya kita mengeraskan diri. Akibatnya hasil dari salah satu atau sebagian dari tujuh dosa maut tersebut tidak semakin membawa kita dekat kepada Allah. Di tengah-tengah pencobaan tersebut kita tidak mengalami pembaruan diri. Di tengah situasi tersebut Rasul Yakobus berkata: “Jangan sesat!” (Yak. 1:16). Allah tidak membutuhkan sikap kita yang marah dan menghukum diri. Allah menghendaki setiap kita untuk rendah hati untuk mengaku dan menginsafi agar Dia berbelas-kasihan dan mengaruniakan kerahiman-Nya.
————————————————————————————–
Perasaan Tidak Aman
Hosea 3:1-5; Yohanes 18:28-32
Perasaan aman (ego-security) adalah kematangan pribadi seseorang yang tidak mudah merasa terancam dan mampu berpikir jernih dalam menghadapi situasi yang menekan atau membahayakan dirinya. Sebaliknya perasaan tidak aman diri (ego-insecurity) adalah sikap yang mudah terancam, terlalu sensitif terhadap sikap dan ucapan orang lain sehingga mudah labil serta tidak mampu berpikir dengan jernih. Di Yohanes 18:25-27 mengisahkan bagaimana Petrus menyangkal Yesus karena pertanyaan dari seorang hamba Imam Besar. Menurut kesaksian Injil Matius, Petrus menyangkal karena pertanyaan dari seorang hamba perempuan (Mat. 26:69). Perhatikan Petrus mengalami kecemasan yang luar-biasa karena pertanyaan dari orang-orang yang sebenarnya tidak membahayakan dirinya. Petrus menyangkal Yesus karena kuatir akan keselamatan dirinya. Dia tidak ingin dianggap terlibat, lalu ditangkap dan kemudian diadili serta dihukum.
Perasaan aman dan tidak aman biasanya bersumber pada bagaimanakah kita memiliki gambar diri (self-image). Kalau kita memiliki gambar diri yang positif, utuh, menerima diri apa adanya dengan ucapan syukur dan percaya kepada penyertaan Tuhan, pastilah kita merasa aman. Sebaliknya apabila kita memiliki gambar diri yang buruk, retak, suka menghakimi/menyalahkan diri, dan selalu bersungut-sungut sudah pasti kita tidak pernah positif memandang diri sendiri. Gambar diri umat percaya seharusnya berpedoman pada Tuhan Yesus yang adalah Gambar dan Rupa Allah yang sempurna (Kol. 1:15). Kristus tidak gentar menghadapi fitnahan, serangan kebencian, permusuhan yang menyakitkan, dan kematian yang keji. Dia tenang dengan sikap iman dan cinta-kasih yang tidak terus berkobar-kobar. Jika demikian, sejauh mana kita menjadikan Kristus sebagai dasar, sumber kehidupan, dan tempat kita bersandar serta tujuan hidup kita?
————————————————————————————–
Hidup Bergairah dalam Sukacita dan Kegembiraan Tuhan
Kidung Agung 2:8-13; Mazmur 45:2–10; Yakobus 1:17-27; Markus 7:1-23
Gairah hidup dan sukacita merupakan realitas hidup yang bermakna sebagai pemberian dari atas, yaitu Tuhan. Surat Yakobus menyebutnya sebagai anugerah yang sempurna (Yak. 1:17). Namun hidup yang bermakna dan berlimpah sukacita tersebut akan bertahan abadi apabila kita senantiasa merawat dengan spiritualitas iman. Surat Yakobus memanggil setiap umat percaya mengalami proses pertumbuhan yang semakin matang, sehingga pada tingkat tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya (Yak. 1:18). Proses pertumbuhan rohani (spiritualitas) dimulai dari dalam keluar, bukan sebaliknya. Karena itu aspek internal yaitu hati manusia sangat vital. Tuhan Yesus berkata: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mark. 7:20-23). Senada dengan itu nasihat yang bijak dari Kitab Amsal menyatakan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23). Bila hati kita dijaga dengan sikap iman, maka akan menghasilkan gairah hidup dan sukacita dari Tuhan.
Namun kita tahu bahwa menjaga hati adalah merawat bagian inti kepribadian yaitu kedirian kita. Padahal kedirian kita dibentuk oleh berbagai nilai yang tidak senantiasa membangun. Lebih dalam lagi hidup kita berada di bawah kuasa dosa. Karena itu kita sering gagal untuk melakukan yang baik dan benar. Hati kita dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi. Itu sebabnya kita sering merespons dengan cara duniawi. Kita cepat bereaksi sebelum mendengarkan dengan utuh dan lengkap. Hasilnya hidup kita penuh dengan kemarahan. Di Yakbus 1:29, firman Tuhan berkata: “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” Amarah bukan hanya menghasilkan sesuatu destruktif dalam jangka panjang yang merusak relasi antar sesama, namun juga dengan menghancurkan integritas dan kesehatan. Dengan amarah, kita tidak akan pernah mengalami hidup yang penuh gairah dan sukacita dari Tuhan. Dengan kemarahan hidup kita seakan-akan diselimuti oleh awan gelap, akar pahit, kebencian, tidak ada yang bernilai, dan memandang sesama dari sudut kekurangannya.
Jika demikian, kita harus memilih makna dan tujuan hidup kita. Apakah hati kita sekarang mau dikendalikan oleh anugerah Allah yang melimpahi kita dengan sukacita dan hidup yang berlimpah? Ingatlah firman Tuhan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya” (Yak. 1:26).
————————————————————————————–
Latihan Rohani dalam Ibadah
Kidung Agung 3:6-11; 1Timotius 4:6-16
Ibadah sering dipahami sebagai media perjumpaan iman Allah dengan umat-Nya. Allah menyapa dan berkarya dalam hidup umat-Nya yang dinyatakan melalui persekutuan ibadah. Namun ibadah bukan sekedar perjumpaan biasa, namun perjumpaan personal yang menginspirasi, memberi motivasi, arah, bimbingan, peneguhan, dan proses pembentukan diri berdasarkan anugerah Allah. Dengan demikian ibadah lebih luas daripada latihan rohaniah. Ibadah adalah media penyataan Allah yang membarui seluruh totalitas hidup kita. Tentunya cara kerjanya bukan secara mekanis dan otomatis. Seakan-akan setiap beribadah langsung menjanjikan terjadinya perubahan dan pembaruan. Penyataan Allah menjadi karya keselamatan manakala direspons dengan sikap iman yang diwujudkan dalam kasih dan berpedoman dalam pengharapan. Respons iman tersebut perlu dilakukan tahap demi tahap dan sistematis agar umat semakin terdidik dalam ajaran sehat (1Tim. 4:6). Ibadah yang benar senantiasa membawa pembaruan dan pembebasan dari cara berpikir yang dangkal dan picik.
Hasil konkret dalam ibadah adalah keteladanan. Arti menjadi teladan adalah memiliki integritas diri dan dapat dipercaya dalam segala hal, sehingga kebenaran dinyatakan secara utuh dan membebaskan. Firman Tuhan berkata: “Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1Tim. 4:12b). Karena itu seseorang yang menghayati ibadah sebagai dasar kerohaniannya akan memperlihatkan kesetiaan kepada jemaat di mana ia menjadi anggotanya. Ia mengasihi jemaat dengan segala keberadaannya, dan mempersembahkan setiap talenta dan karunia untuk pembangunan jemaatnya. Jadi ia tidak lalai mempergunakan karunia Allah untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama (1Tim. 4:14). Sejauh manakah kita bersedia menghayati ibadah untuk pertumbuhan rohani dan perkembangan jemaat?
————————————————————————————–
Menderita karena Kebenaran
Kidung Agung 5:2-6:3; 1 Petrus 2:19-25
Kita sering mendengar ungkapan, “doakan ya agar aku dapat tabah memikul salib Kristus dalam menghadapi kesusahan ini.” Tentu dengan semangat kasih yang ikhlas kita akan mendoakan pergumulan Saudara kita tersebut. Namun doa kita sering menjadi tidak jelas, sebab pergumulan tersebut masih samar. Menurut Surat 1 Petrus ada dua jenis penderitaan, yaitu penderitaan karena berbuat dosa dan penderitaan karena kasih-karunia Allah. Karena itu Rasul Petrus mengajukan pertanyaan, dapatkah disebut pujian, jika umat menderita pukulan karena berbuat dosa? (1Petr. 2:20). Kesusahan karena berbuat dosa harus disikapi kerendahan hati untuk mengaku dosa dan membarui diri. Penderitaan yang dialami dalam konteks ini tidak layak disebut sebagai tugas memikul salib Kristus. Makna memikul salib Kristus berupa penderitaan adalah apabila kita memang menderita karena hidup benar dan kudus. Dalam konteks inilah seseorang layak minta didukung dalam doa agar tabah memikul salib Kristus berupa penderitaan dan kesusahan.
Untuk mengenali jenis penderitaan yang kita alami apakah karena kita telah hidup benar ataukah sebagai buah atas kesalahan dan dosa berkaitan erat dengan pengenalan diri kita di hadapan Allah. Bagaimanakah kita hidup di hadapan Allah? Spiritualitas yang bagaimanakah kita terapkan dalam menghadapi pergumulan dan persoalan hidup ini? Apakah kita setia akan firman-Nya? Sejauh kita telah dipulihkan oleh bilur-bilur Kristus seharusnya hidup kita akan terarah kepada kehendak Allah. Bilur-bilur Kristus yang memulihkan itu akan memampukan kita untuk menderita karena setia melakukan kehendak dan firman Allah. Karena itu dukungan doa dari Saudara-saudara seiman tidak boleh dipakai untuk mencari pembenaran atas penderitaan yang disebabkan oleh dosa yang sedang kita perbuat. Dukungan doa baru bermakna apabila kita menderita karena hidup benar dan kudus di hadapan Allah serta sesama kita.
————————————————————————————–
Taat pada Perintah Allah atau Adat-istiadat
Kidung Agung 8:5-7; Markus 7:9-23
Tuhan Yesus berkata: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia” (Mark. 7:8). Dalam konteks ini Tuhan Yesus sepertinya mempertentangkan adat-istiadat dengan perintah Allah. Apakah dimungkinkan perintah Allah diwujudkan dalam adat-istiadat, sehingga tidak selalu harus bertentangan? Hakikat perintah Allah adalah pondasi internal yang paling mendasar dan menentukan kualitas karakter dan kodrat manusia, sedang adat-istiadat adalah bagian eksternal yang dibutuhkan dalam hubungan sosial sehingga tercipta suasana dan relasi yang harmonis. Manusia membutuhkan dimensi internal yaitu firman Allah dan dimensi eksternal yaitu adat-istiadat yang saling integral dan melengkapi. Namun apabila kedua dimensi ini dipertentangkan atau tidak saling mengisi dan melengkapi, pasti terjadi kepincangan. Seharusnya setiap adat-istiadat yang membangun akan menempatkan perintah atau firman Allah sebagai pedoman yang paling berwibawa, sehingga menghasilkan adat-istiadat yang membarui dan membebaskan.
Namun beberapa orang Farisi dan ahli Taurat menjadikan adat-istiadat terlepas dari perintah Allah. Mereka menjadikan peraturan adat-istiadat yang sifatnya lahiriah sebagai yang paling utama. Karena itu mereka menghakimi para murid Yesus yang makan tanpa membasuh tangan. Dengan perkataan lain mereka cenderung menghakimi siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan adat-istiadat yang ada. Menurut Tuhan Yesus tindakan mereka telah menajiskan diri. Sebab makna najis bukan sesuatu yang dari luar masuk ke dalam hati, tetapi sebaliknya apa yang keluar dari hati dengan mencemarkan diri dan orang-orang di sekitar. Kesalahan dalam adat-istiadat yang sifatnya lahirah tidak menajiskan hati seseorang, sebaliknya melanggar perintah Allah yang bersemayam dalam hati itulah yang menajiskan manusia.
————————————————————————————–
Menghakimi, Dihakimi
Amsal 1:1-19; Roma 2:1-11
Sikap menghakimi adalah membuat penilaian yang menyudutkan dan menyalahkan seseorang dengan sikap yang merendahkan, tanpa kasih. Tuhan Yesus berkata: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui” (Mat. 7:3). Seseorang yang menghakimi orang lain sangat jeli melihat berbagai kesalahan dan kelemahan tertentu yang dibuat sesamanya, namun ia tidak peka melihat berbagai kesalahan dan kelemahan yang begitu besar dalam dirinya. Sikap menghakimi berarti pula seseorang yang takabur. Ia menganggap dirinya lebih baik namun sesungguhnya penuh dengan kekurangan dan kesalahan yang tidak ia kenali. Karena itu seseorang yang menghakimi adalah bermasalah bagi orang lain dan tidak mampu mendatangkan damai-sejahtera. Rasul Paulus berkata: “Hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab dalam menghakimi orang lain engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama” (Rm. 2:1).
Allah adalah Hakim yang adil dan benar, namun Ia tidak bersikap menghakimi. Sebaliknya Allah Sang Hakim senantiasa memperlihatkan kemurahan-Nya untuk menuntun setiap orang dalam pertobatan. Kemurahan dan belas-kasihan-Nya menjadi landasan bagi Allah untuk mengadili setiap umat manusia, sehingga menghasilkan penghakiman yang adil. Bagi umat yang hidup dalam mengutamakan kepentingan dirinya sendiri dan secara sengaja melanggar firman-Nya, Allah akan menyatakan murka-Nya. Dalam konteks ini pula orang-orang yang gemar menghakimi sesamanya akan dihakimi. Sebaliknya Allah akan mengaruniakan kemuliaan dan kehormatan serta damai-sejahtera bagi umat yang hidup dalam keadilan dan kebenaran. Di manakah Saudara menempatkan diri dalam relasi dengan sesama? Apakah Saudara berada dalam posisi yang gemar menghakimi orang lain? Bila ya, Saudara kelak akan diadili dengan murka Allah.
————————————————————————————–
Seperti Emas Murni
Ibrani 10:19-25
“Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibr. 10:22).
Setiap wanita menyukai perhiasan emas. Semakin tinggi karat suatu emas, semakin mahal nilainya. Nilai karat merupakan sistem pengukuran tingkat kemurnian emas yaitu berdasarkan jumlah persentase emas murni yang terkandung di dalamnya. Jadi semakin rendah jumlah karat emas dalam suatu perhiasan, semakin rendah nilainya. Karena itu kita menjumpai berbagai perhiasan yang tampaknya seperti emas padahal hanya sepuhan di bagian luarnya saja. Perhiasan dengan jenis seperti ini tidak memiliki logam emas yang mulia di bagian dalamnya. Secara rohani ukuran karat emas tersebut dapat dikenakan dalam menilai mutu kehidupan kita. Semakin tinggi karat rohani yaitu kemurnian hidup, semakin tinggi pula kualitas kepribadian kita di hadapan Allah dan sesama. Pada pihak lain kita diingatkan bahwa bukan tampilan luar yang indah dan saleh sebagai penentu kualitas hidup manusia. Penentu kualitas hidup manusia yang utama adalah kemurnian yang terkandung di dalamnya. Arti “murni” (pure) adalah tidak tercampur oleh sesuatu, dan bersih dari noda. Secara rohani, kemurnian hidup dinyatakan dalam kekudusan yaitu hidup yang tidak bercela di hadapan Allah dan sesama.
Namun pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat hidup murni dan kudus di tengah-tengah keberdosaan manusiawi dan realitas kehidupan yang dikuasai oleh ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan, keserakahan, dan hawa-nafsu dunia? Pada pihak lain kuasa dosa juga telah melumpuhkan diri kita untuk berbuat baik dan melakukan kebenaran. Kita tahu yang baik, namun gagal berbuat baik. Kita memahami kebenaran, namun cenderung menindas kebenaran demi kepentingan diri sendiri. Saat beribadah kita mengamini panggilan Tuhan untuk memberlakukan keadilan, namun dalam kehidupan sehari-hari kita lebih suka mempraktikkan ketidakadilan. Kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai sepuhan-sepuhan emas yang dari luar tampak indah namun sesungguhnya palsu dan munafik. Kita enggan melepaskan topeng-topeng kepalsuan yang kita kenakan setiap hari karena kuatir orang lain melihat berbagai keburukan dan cacat-cela dalam kepribadian kita. Penyebabnya karena kita tidak mau memilih kemurnian rohani sebagai kualitas hidup yang paling bernilai. Padahal hidup dengan topeng-topeng kepalsuan dan kemunafikan membuat hati kita tidak menjadi tenang. Tanpa kemurnian hati-nurani kita hidup dalam kegelisahan, kecemasan, dan jauh dari damai-sejahtera Allah. Penyebabnya adalah perasaan bersalah karena melawan kehendak Allah. Perasaan bersalah membuat hidup kita tertekan sebab dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat senantiasa menghantui diri kita.
Memulihkan rasa bersalah tidak dapat ditempuh dengan perbuatan baik atau amal-ibadah. Sebab perbuatan baik dan amal-ibadah tersebut hanya menyentuh di bagian luar atau permukaan kepribadian kita, tetapi dosa dalam batin kita masih berkuasa. Batin atau roh kita belum dimurnikan oleh Allah sebab belum dikuduskan dan diperdamaikan oleh Allah. Hidup yang murni membutuhkan karya pendamaian Allah. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, Allah telah mendamaikan kehidupan kita. Surat Ibrani 10:19-20 menyatakan: “Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri.” Penegasan firman Tuhan di Ibrani 10:19-20 tersebut dilatarbelakangi oleh ibadah dan iman umat Israel di Perjanjian Lama, yaitu peristiwa pendamaian umat dengan Allah dilaksanakan melalui ibadah kurban penebus dosa. Karena itu di Surat Ibrani 9:22 menyatakan: “Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” Di antara kita mungkin bertanya, yaitu jikalau pengampunan dosa hanya dipulihkan melalui penumpahan darah, bagaimana mungkin darah hewan kurban dapat menebus dosa manusia? Masakan kehidupan hewan dapat memberi daya hidup kepada manusia? Penebusan dosa yang sempurna di hadapan Allah hanya akan terjadi melalui pengorbanan seorang manusia yang sempurna, yang tanpa cacat, dan kudus. Manusia tersebut adalah Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu kematian Kristus mampu membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi umat yang percaya.
Kematian Kristus adalah manifestasi belarasa Allah kepada umat manusia, sehingga seluruh dimensi kehidupan manusia dilimpahi oleh kemurahan dan kerahiman Allah. Bila demikian iman kepada Kristus pada hakikatnya suatu sikap hidup yang berserah penuh kepada kerahiman Allah sehingga setiap aspek kepribadian atau mental kita diperbarui dengan kuasa Roh Kudus. Karena itu dampak iman kepada Kristus bersifat transformatif. Sikap iman kepada Kristus ditandai oleh pembaruan hidup. Penulis surat Ibrani menyatakan bahwa melalui karya penebusan-Nya Kristus membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri (Ibr. 10:20). Jalan hidup kita yang lama dan yang binasa telah menjadi masa lampau belaka. Sebaliknya di dalam Kristus, kita memiliki jalan hidup yang baru dan yang hidup di masa kini. Di dalam Kristus, Allah menciptakan kita menjadi manusia baru. Karena itu di masa kini kita dimampukan untuk menjalani kehidupan yang dilimpahi oleh kemurahan dan kerahiman Allah, yaitu suatu kehidupan yang ditandai oleh pengampunan dan kepedulian kepada sesama di sekitar kita.
Kematian Kristus selain melimpahi kita dengan kemurahan dan kerahiman Allah juga menguduskan hati-nurani kita dari yang jahat. Di Ibrani 10:22, firman Tuhan berkata: “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.” Kita akan gagal di jalan yang baru dan yang hidup bersama Kristus apabila hati-nurani kita masih dikuasai oleh luka-luka akibat dosa. Perbuatan dosa senantiasa menghasilkan trauma dalam batin kita. Sebab hati-nurani adalah pusat kesadaran kita sebagai manusia untuk membedakan apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan jahat, apa yang kudus dan cemar. Fungsi hati-nurani terlihat di Roma 2:15, Rasul Paulus berkata: “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” Kita mengetahui bahwa saat kita akan melakukan suatu pelanggaran, hati-nurani kita mengingatkan atau mencegah kita. Namun saat hawa-nafsu atau keinginan kita lebih kuat, sehingga akhirnya kita melakukan pelanggaran tersebut, maka hati-nurani itu akan menuduh kita. Karena itu tidak ada suatu kesalahan atau dosa yang membuat hati kita menjadi tenang. Kita akan terus dikejar oleh perasaan bersalah. Namun di dalam iman kepada Tuhan Yesus, Allah berkenan memulihkan hati-nurani kita. Allah mengampuni kita dengan anugerah-Nya sehingga damai-sejahtera Kristus menguasai seluruh hati kita. Hidup kita di dalam Tuhan Yesus bagaikan emas murni, bukan lagi emas sepuhan.
Karena itu marilah kita hidup dalam pengampunan dan pembaruan Roh Kudus sehingga kepribadian kita memancarkan karya penebusan Kristus. Kita tidak lagi hidup dalam kepalsuan. Topeng-topeng kemunafikan telah kita lepaskan, sebab hidup kita kini dikuasai oleh anugerah Allah. Hati kita diliputi oleh damai-sejahtera Kristus, sehingga kita lebih tegar dan tenang menghadapi berbagai permasalahan yang menerpa kita. Karena kita sadar akan jati-diri kita yang berharga seperti emas murni, yaitu telah dibasuh oleh darah Kristus. Sebaliknya tanpa damai-sejahtera Kristus, kita akan gelisah, gampang tersinggung dan emosional dalam menghadapi orang-orang yang kurang berkenan di hati kita. Jadi saat kita mudah gelisah, tersinggung dan emosional dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari adalah karena hidup kita masih memiliki kadar emas sepuhan, bukan emas murni. Apakah hidup rohani Saudara-saudara kini dengan kadar emas murni ataukah kadar emas tiruan dan sepuhan? Tuhan memanggil setiap kita untuk hidup murni dalam anugerah kasih-Nya. Karena itu marilah kita memiliki hati emas Tuhan, sehingga kita menjadi para pribadi yang pemaaf, dan pemurah kepada sesama di sekitar kita. Amin.
————————————————————————————–
Tambahkanlah Iman Kami
Hab. 1:1-4, 2:1-4; Mzm. 37:1-9; 2Tim. 1:1-14; Luk. 17:5-10
Para murid Yesus berkata kepada Yesus: “Tambahkanlah iman kami” (Luk. 17:5). Pernyataan para murid Yesus menegaskan prinsip yang mendasar yaitu “iman adalah anugerah Allah.” Terhadap permintaan para murid-Nya Yesus berkata: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja….” (Luk. 17:6a). Dengan demikian hakikat iman mengandung dua dimensi, yaitu: 1). Iman dikaruniakan oleh Allah, 2). Dan akan bermakna apabila direspons dengan sikap tertentu. Apabila iman sebagai karunia Allah direspons dengan perilaku, maka: “Kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu” (Luk. 17:6b). Makna ucapan Yesus tersebut adalah sikap iman akan menghasilkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi nyata. Yang mustahil akan menjadi realita. Itulah kekuatan iman kepada Tuhan, sebab iman bersandar kepada Allah dan kuasa-Nya. Mazmur 37:5 berkata: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak.”
Kata “iman” berasal dari kata Ibrani “emunah.” Makna kata “emunah” adalah berserah diri kepada Allah. Iman sebagai anugerah Allah harus direspons oleh manusia. Di Kejadian 15:6 menyatakan: “Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Kata “percaya” di Kejadian 15:6 adalah “emunah.” Abraham “emunah” kepada Allah walau dia belum mempunyai anak tetapi percaya akan janji Allah. Allah berjanji bahwa keturunan Abraham akan sebanyak bintang-bintang di langit. Dengan demikian makna “iman” adalah percaya dan berserah diri kepada Allah walau janji-Nya belum dinyatakan. Karena itu dalam sikap “emunah” umat merespons dengan kata “amin.” Yang mana kata “amin” berasal dari kata “amen” (Ibrani) yang berarti: benar, sungguh, ya, pasti. Perhatikanlah kata “iman,” “emunah” dan “amen” mengandung konsonan huruf “mn” yang dalam bahasa Ibrani artinya: berpegang teguh. Jadi jelas makna iman berarti sikap umat yang berpegang teguh kepada Allah walau belum melihat secara inderawi. Yesus berkata: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yoh. 20:29).
Kegagalan kita untuk berpegang teguh kepada Allah dengan sikap iman karena kecenderungan diri kita untuk mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan. Sikap tersebut bukan sekadar sikap percaya diri (self-confidence) tetapi utamanya dilandasi oleh sikap sombong. Kita menganggap tidak membutuhkan Allah sejauh kita bisa mengatasinya. Padahal seharusnya iman meresapi dan menjiwai setiap aspek kehidupan kita. Di Roma 14:23 Rasul Paulus berkata: “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa.” Hakikat iman (emunah) bukan hanya bidang rohaniah saja tetapi seluruh aspek kehidupan umat manusia. Sebab apabila kita melakukan sesuatu tanpa sikap iman, maka tindakan kita tersebut tidak memuliakan Allah walau tujuannya baik dan mulia. Misalkan kita memberi persembahan untuk orang-orang yang kekurangan/miskin. Tentu tindakan kita tersebut baik dan mulia, tetapi apabila kita melakukan untuk mencari kehormatan diri, Allah akan menolak. Sikap iman (emunah) selalu berkaitan dengan kesetiaan yang tulus. Karena itu hakikat iman (emunah) selalu berkaitan dengan ne’eman yang artinya: setia. Bandingkan kata iman yaitu “faith” (Inggris) berhubungan erat dengan “faithfulness” yang artinya: setia. Iman dan kesetiaan yang tanpa pamrih adalah emunah kepada Allah (berserah dan mempercayakan hidup secara total kepada Dia).
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sikap iman menjadi satu dengan kesetiaan kepada Allah, karena itu orientasi hidup umat percaya dinyatakan dalam sikap kasih yang taat kepada-Nya. Untuk itu umat percaya tidak akan mengutamakan zona aman yaitu situasi yang selama ini menyenangkan secara duniawi. Umat percaya bersedia meninggalkan zona aman asalkan melakukan kehendak Allah dengan kasih dan taat kepada-Nya. Abraham bersedia meninggalkan Ur-Kasdim menuju negeri yang tidak ia ketahui (Kej. 12:1). Sikap iman (emunah) umat yang dilandasi oleh ne’eman yaitu kesetiaan kepada Allah akan berani melakukan “lompatan.” Beriman kepada Allah berarti kita bersedia tunduk dan taat kepada firman-Nya sehingga kita berani melakukan “lompatan iman” meninggalkan zona aman yang ada. Dalam bacaan Lukas 17:5, konteksnya adalah perintah Yesus agar kita mampu mengampuni seorang saudara yang telah bersalah 7x sehari. Tanpa “lompatan iman” kita tidak akan mampu mengampuni seorang saudara kita yang telah menyakiti hati kita sebanyak 7x sehari. Tanpa “lompatan iman” kita akan lebih memilih untuk menyimpan kemarahan, kebencian, dan ingin membalas dendam atas perbuatannya.
Para murid Yesus mohon kepada Yesus: “Tambahkanlah iman kami” (Luk. 17:5) dengan tujuan agar setiap aspek hidup mereka diresapi oleh sikap berserah diri dan memuliakan Allah, tetapi juga agar mereka mampu membuat “lompatan iman.” Tanpa iman yang diberi anugerah tambahan/ekstra, kita tidak dapat melompat ke tempat yang tepat. Kita membutuhkan anugerah Allah yang meneguhkan iman (emunah) sehingga hidup kita setia (ne’eman) kepada Allah.
Untuk didiskusikan:
- Apakah perbedaan antara sikap iman dan percaya diri? Bukankah sikap percaya diri adalah hal yang baik dan positif? Ataukah sikap percaya diri akan membangun dan berkenan kepada Allah apabila dilandasi oleh sikap iman?
- Mengapa setiap aspek dalam kehidupan kita harus dilandasi oleh iman? Bandingkan dengan Roma 14:23. Berikanlah 1 contoh perbuatan baik/saleh tetapi tidak dilandasi oleh sikap iman.
- Abraham berani meninggalkan tempat kelahiran dan lingkungan yang aman di Ur-Kasdim. Dia berani melakukan lompatan iman pergi ke tempat yang tidak ia ketahui karena taat kepada Allah. Berikan 1 contoh tindakan “lompatan iman” yang pernah Saudara alami.
————————————————————————————–
Keluarga yang Mempersembahkan Diri
1 Samuel 1:19-28
Keluarga Elkana dan Hana mempersembahkan Samuel, anaknya kepada Tuhan. Sebagai seorang wanita, Hana sangat menderita sebab dia mandul dan diejek oleh madunya yaitu Penina. Dalam budaya Israel, seorang wanita yang tidak mampu melahirkan adalah suatu aib. Karena itu Hana bernazar agar dikaruniai anak. Nazar Hana adalah: “TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya” (1Sam. 1:11). Apabila Tuhan mengaruniakan anak kepadanya, maka Hana akan mempersembahkan anak tersebut kepada Tuhan untuk seumur hidupnya. Ternyata Tuhan mengabulkan permohonan Hana. Anak tersebut kemudian diberi nama Samuel. Arti nama “Samuel” adalah: “Aku telah memintanya dari pada TUHAN.”
Hana bergumul dalam doa dan tangisan yang sangat panjang untuk mendapat seorang anak. Namun setelah ia memperoleh seorang anak, ia mempersembahkan dengan ikhlas kepada Tuhan. Apa yang Hana peroleh dengan susah-payah dan air-mata, ia lepaskan kembali untuk pekerjaan Allah. Bukankah kecenderungan dan sikap manusia pada umumnya tidaklah demikian? Kita cenderung mempertahankan erat-erat sesuatu yang kita peroleh dengan perjuangan yang berat. Sebaliknya kita umumnya mudah melepaskan sesuatu yang diperoleh dengan tanpa perjuangan. Sikap Hana tersebut meniru model sikap iman Abraham. Abraham memperoleh Ishak anaknya dengan penantian yang panjang sampai usia lanjut, namun ia bersedia mengorbankan Ishak kepada Allah. Perbedaannya: dalam kasus Abraham, Allah yang meminta agar Ishak dikurbankan sedangkan dalam kasus Hana, ia sendiri yang berinisiatif untuk menyerahkan Samuel kepada Allah. Sikap iman yang murni adalah kesediaan diri untuk melepaskan kembali. Iman kepada Allah adalah menghayati kehidupannya sebagai milik Allah sehingga ia bersedia menyerahkan dengan ikhlas apapun yang diminta oleh Allah atau apa pun yang telah dinazarkan kepada-Nya.
Makna keluarga yang mempersembahkan diri dalam konteks ini adalah persembahan yang lahir dari sikap iman kepada Allah. Karena itu makna persembahan diri dalam keluarga tersebut merupakan penyerahan anggota keluarga agar dipakai Allah dalam karya-Nya. Dalam tradisi iman Kristen, penyerahan anggota keluarga tersebut terjadi melalui sakramen Baptisan Anak. Melalui sakramen Baptisan Anak, Allah berkenan mengikat anak-anak dalam perjanjian kasih-karunia-Nya. Menurut tradisi iman Yudaisme, setiap anak Israel yang berumur 8 hari wajib disunat sebagai wujud perjanjian dengan Allah (Im. 12:3). Melalui sakramen Baptisan Anak, Allah menguduskan mereka sebagai milik-Nya sehingga setiap karya dan profesi anak-anak tersebut kelak akan dipakai untuk kemuliaan-Nya. Setiap karya dan profesi adalah kudus. Karena itu para orang-tua tidak perlu memaksakan kehendak agar anak-anak mereka mengambil bidang studi dan profesi yang tidak diminati. Sebaliknya orang-tua dipanggil untuk memberi motivasi dan mendukung anak-anak mereka untuk mengembangkan setiap talenta/bakatnya secara optimal.
Salah satu panggilan yang perlu didoakan dan didukung setiap keluarga adalah panggilan melayani Tuhan secara penuh waktu menjadi seorang Pendeta. Gereja-gereja Tuhan di masa mendatang membutuhkan anggota jemaat yang terpanggil, memiliki kemampuan, berdedikasi tinggi dan integritas diri untuk melayani Tuhan di tengah jemaat-Nya. Kita menyadari permasalahan umat manusia pada masa kini sangatlah kompleks sehingga gereja Tuhan membutuhkan tenaga pelayan yang semakin terlatih dan bersedia belajar tanpa henti, serta kesediaan untuk menjalin kerjasama dengan semua pihak. Karena itu persembahan keluarga agar salah seorang anaknya menjadi tenaga pelayan Tuhan penuh waktu adalah sangatlah wajar apabila mempertimbangkan aspek-aspek di atas.
Dalam arti yang lebih luas, makna persembahan diri dalam keluarga adalah setiap anggota keluarga terpanggil untuk melayani Tuhan dalam salah satu bidang atau tugas dalam kehidupan jemaat. Kita bersyukur apabila makna kebersamaan dalam keluarga bukan hanya terjadi saat kita berjalan-jalan di mall atau tempat pariwisata tetapi juga dalam kebaktian dan pelayanan gerejawi. Jika demikian, sejauh mana kita telah terlibat beribadah dan melayani Tuhan bersama dengan anggota keluarga kita? Marilah kita mempersembahkan hidup dan keluarga kita sebagai persembahan yang terbaik untuk Allah dan karya-Nya.
————————————————————————————–
Mengokohkan Relasi Kasih dalam Keluarga
1 Korintus 13:1-13
Siapakah pelaku kekerasan secara verbal dan fisik yang sering terjadi? Ternyata anggota keluarga yang terbanyak melakukan kekerasan kepada anggota keluarga yang lain. Padahal setiap anggota keluarga umumnya dibangun di atas tiga pilar yaitu: 1). Kasih, 2). Komitmen, 3). Cita-cita yang mulia. Namun yang paling sulit diwujudkan dalam membangun keluarga adalah kesediaan merawat cinta-kasih, komitmen dan cita-cita mulia tersebut. Dalam perjalanannya sebagai keluarga kita menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai. Kerusakan relasi tersebut bisa disebabkan salah satu atau dua belah pihak mengingkari janji pernikahan mereka sehingga terjadi pertikaian dan perceraian.
Janji pernikahan yang diikrarkan yaitu: “Aku berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu, akan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, pada waktu susah maupun senang sampai kematian memisahkan kita” — seolah menguap tanpa makna. Jikalau demikian, kesulitan terbesar setiap umat untuk mengokohkan relasi kasih dalam keluarga adalah mewujudkan ikrar pernikahan mereka. Dari percakapan gerejawi umumnya setiap mempelai menyatakan bahwa mereka mengasihi pasangannya. Karena itu janji/ikrar mereka merupakan wujud dari kasih. Tetapi mengapa mereka gagal mewujudkan ikrar tersebut dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka? Bukankah mereka telah memupuk cinta-kasih, komitmen dan cita-cita yang mulia sepanjang masa berpacaran?
Umumnya pada awal berpacaran, dua orang yang saling mencinta disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: perhatian, kesamaan minat, intensitas pertemuan, perasaan tertarik yang sifatnya fisik, dan sebagainya. Tetapi saat mereka membangun rumah-tangga aspek-aspek yang penting tersebut justru sering diabaikan. Dorongan hati yang mengasihi berubah menjadi suam-suam kuku. Secara hormonal, mereka tidak lagi dipengaruhi oleh hormon oksitosin. Hormon oksitosin akan berpengaruh saat mereka berdua digerakkan oleh cinta-kasih. Karena itu kasih adalah penggerak daya kehidupan yang vital. Tanpa kasih, kita akan kehilangan persepsi sehingga segala sesuatu yang dilakukan pasangan kita tidak menarik bahkan dianggap menyebalkan. Namun tidaklah demikian halnya dengan kasih. Sebab kasih akan menghasilkan sikap sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain (1Kor. 13:4-5).
Kasih sejati bersumber pada diri Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Karena itu kekeringan kasih dalam relasi suami-istri, orang-tua dan anak, serta sesama saudara disebabkan kekeringan kasih dalam relasi dengan Allah. Dengan pemahaman teologis demikian, bukankah seharusnya setiap umat percaya tidak mengalami masalah dalam relasinya dengan anggota keluarga sebab kita hidup dalam iman dan kasih kepada Allah. Tetapi faktanya sebagai jemaat Tuhan cukup banyak orang yang bermasalah dengan anggota keluarganya. Tidak setiap keluarga Kristen adalah keluarga yang bahagia. Apa yang menjadi sumber masalahnya? Jawabannya adalah karena sebagai jemaat kita tidak senantiasa menghidupi kasih Allah secara utuh, yaitu kasih yang meresapi setiap aspek kehidupan yang rohani dan sekuler. Karena tanpa kasih yang utuh, maka kehidupan kita terpecah-pecah. Pribadi kita tidak lagi utuh dalam kasih dan pengampunan Allah, sebaliknya pribadi kita mengalami “keretakan.” Itu sebabnya relasi kita dengan anggota keluarga dan sesama mengalami keretakan dan perpecahan.
Panggilan Allah agar kita mengokohkan kembali relasi dalam keluarga apabila kita bersedia dipulihkan Kristus dalam kuasa kasih-Nya. Keretakan dalam kepribadian kita perlu direkatkan oleh kuasa darah Kristus. Surat 1 Petrus 2:24 menyatakan: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” Karya penebusan Kristus menjadi sumber pemulihan untuk mengokohkan kembali relasi dalam keluarga yang retak. Sebab melalui karya penebusan Kristus, kita dimampukan untuk memiliki dan memberlakukan kasih Allah yang terus membarui dan memberi makna yang baru.
Apakah bangunan keluarga kita telah dibangun di atas dasar karya penebusan Kristus ataukah karya buatan sendiri sehingga kita bermegah? Ingatlah keluarga kita hanya bertahan apabila menempatkan Kristus sebagai pusat dan dasar kehidupan kita. Jadi mari kita bangun keluarga kita di atas dasar kasih Kristus yang bersedia memberikan dan mengorbankan hidup-Nya bagi kita.
————————————————————————————–
Berdoa dalam Kerendahan-hati
Kej. 18:20-32; Mzm. 138; Kol. 2:6-15; Luk. 11:1-13
Doa adalah relasi personal dengan Allah. Namun kita memahami bahwa dalam setiap relasi personal terbuka kemungkinan tindakan manipulatif. Demikian pula dalam kehidupan doa. Tidak setiap doa bernilai benar di hadapan Allah karena di dalamnya mengandung motif yang tidak murni. Doa sering dipanjatkan dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan yang egoistis dan duniawi. Makna ucapan Yesus yaitu:
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk. 11:9) dipahami umat sebagai janji dan jaminan Yesus bahwa apapun yang kita minta dikabulkan Allah. Tentunya Allah akan memberikan jawaban atas doa-doa kita sejauh doa-doa tersebut benar di hadapan-Nya. Sangat menarik jawaban Yesus di Lukas 11:13 yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan jawaban atas sebuah doa berupa Roh Kudus.
Umat seringkali tidak menyadari bahwa jawaban doa yang terbaik dari Allah adalah anugerah Roh Kudus. Di Lukas 11:13 Yesus berkata: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” Roh Kudus adalah jawaban doa yang terbaik karena melalui karya Roh Kudus kita mampu melihat setiap persoalan, masalah, beban, pergumulan, penderitaan, dan kegagalan dalam terang-Nya. Sebab tanpa terang Roh Kudus, mata hati dan nurani kita akan digelapkan oleh setiap persoalan sehingga kita mudah menjadi putus-asa dan mengalami kebingungan. Tanpa pertolongan Roh Kudus, kita tidak berdaya dan tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa. Pengajaran Yesus tersebut juga dikemukakan oleh Rasul Paulus, yaitu Roh Kudus membantu kita dalam kelemahan kita sehingga Ia sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Rm. 8:26). Karena itu kekeringan rohani dan perasaan hampa yang sering menggerogoti umat dalam kehidupan sehari-hari apabila setiap doa kita belum dilimpahi oleh Roh Kudus.
Apabila kita memahami makna narasi Kejadian 18:20-32, maka kita dapat melihat bahwa Abraham menaikkan doa secara intensif dan tidak mudah menyerah karena ia mendoakan keselamatan orang-orang yang tidak bersalah di kota Sodom dan Gomora. Inti dan motif doa syafaat Abraham adalah: “Apakah Allah akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” (Kej. 18:23). Karena itu Abraham mengajukan syafaat seandainya terdapat 50 orang yang hidup benar. Doa syafaat Abraham tidak mengenal lelah. Ia akhirnya mengajukan permohonan yaitu apabila terdapat 10 orang yang hidup benar. Ternyata kota Sodom dan Gomora begitu rusak secara struktural sehingga hampir secara keseluruhan mereka berdosa di hadapan Allah. Doa syafaat Abraham adalah doa yang dilimpahi oleh Roh Kudus. Sebab di dalam doa syafaat Abraham sama sekali tidak terdapat motif untuk memeroleh keuntungan pribadi atau memuaskan kecenderungan yang duniawi. Abraham benar-benar peduli dengan keselamatan orang-orang yang hidup benar.
Landasan doa yang dilimpahi oleh Roh Kudus adalah sebagaimana Allah senantiasa memberikan atau mengabulkan doa untuk kebaikan, maka seharusnya umat juga memohon secara baik pula. Di Lukas 11:13 Yesus berkata: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!” Konsekuensi etis-moralnya adalah setiap umat dipanggil untuk menaikkan permohonan dengan motif dan spiritualitas yang benar di hadapan Allah sebagaimana Allah sebagai Bapa senantiasa memberikan yang baik bagi umat-Nya. Karena itu doa kita adalah cermin kualitas etis-moral dan spiritualitas kita. Doa yang kita panjatkan kepada Allah merupakan ciri identitias diri kita yang sesungguhnya. Setiap doa yang kita panjatkan mencerminkan realitas keberadaan diri kita di hadapan Allah dan sesama. Doa yang kita panjatkan tersebut bukan hanya yang terlihat di depan sesama, tetapi utamanya adalah doa yang kita naikkan secara pribadi di hadapan Allah.
Doa yang dilimpahi oleh Roh Kudus pada prinsipnya mengandung lima elemen, yaitu: 1). Pengajaran iman yang benar, 2). Perenungan/refleksi yang jujur, 3). Karakter yang diubahkan, 4). Permohonan sesuai kebutuhan riil, 5). Kesungguhan hati. Isi dan hakikat doa seharusnya dijiwai oleh pengajaran iman yang direnungkan di hadapan Allah secara jujur, sehingga Roh Kudus memproses pembaruan karakter kita untuk membedakan kebutuhan riil dengan keinginan. Doa-doa tersebut akan dinaikkan umat percaya dengan sungguh-sungguh dan dalam ketekunan iman. Melalui doa-doa yang demikian kita memuliakan Allah dengan menyangkal diri. Jika demikian bagaimanakah doa-doa Saudara?
————————————————————————————–
Hidup yang Tidak Sia-sia
Pkb. 1:1-14, 2:18-23; Mzm. 49; Kol. 3:1-11; Luk. 12:13-21
Sukses dan kaya berbeda dengan orang yang mencintai uang. Sukses dan kaya adalah hasil usaha dan ketekunan yang konstruktif dan cerdas. Sebaliknya tipe orang yang mencintai uang belum tentu dia sukses dan kaya. Sebab orang yang hidup dalam kekurangan atau kemiskinan juga bisa mencintai uang. Inti pengajaran Yesus dalam Lukas 12:13-21 bukanlah anti terhadap kekayaan. Yesus mengingatkan bahaya dari sikap serakah atau ketamakan. Di Lukas 12:15 Yesus berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” Kata “tamak” berasal dari kata pleonexia, yang artinya: “keinginan tak terpuaskan untuk memiliki apa yang seharusnya menjadi hak orang lain.” William Barclay mendefinisikan sebagai sikap yang mengejar kepentingan pribadi dengan mengabaikan hak-hak orang lain tanpa pertimbangan kemanusiaan.
Problem etis yang utama bukan karena tokoh dalam kisah Injil Lukas 12:13-21 mampu merombak lumbung-lumbungnya untuk membangun usaha yang lebih besar, tetapi bagaimanakah ia mengumpulkan uang untuk melakukan semua pengembangan bisnis dan rumahnya. Sejauh ia mampu mengumpulkan uang dengan cara yang benar dan jujur, Allah akan memberkati. Tetapi karena ia bersikap serakah, maka ia berhasil memeroleh kekayaan dengan cara merampas hak orang lain dan berlaku kejam. Kekayaan yang diperoleh bukan dilandasi oleh nilai-nilai etis-moral dan spiritualitas iman. Itu sebabnya Yesus menyebut ia tidak kaya di hadapan Allah. Makna “tidak kaya” di hadapan Allah memakai kata plousios, artinya seseorang yang melekat kepada kekayaannya daripada kepada Allah Sang Sumber Kehidupan. Kata plousios dapat kita lihat pula di Lukas 18:23, yaitu: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.” Konteksnya adalah ia sedih sebab Yesus menyuruh orang kaya tersebut menjual hartanya. Ia sedih karena melekat dengan kekayaannya. Karena itu keserakahan atau ketamakan adalah sikap rohaniah yang melekat dengan sesuatu sehingga ia menghalalkan segala cara dan berlaku kejam kepada sesamanya.
Menurut ukuran iman, keserakahan atau ketamakan bukan hanya buruk secara etis-moral tetapi juga dikategorikan dengan penyembahan berhala. Di Kolose 3:5 Rasul Paulus berkata: “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” Dengan demikian ketamakan merupakan tindakan yang secara rohaniah memberhalakan materi dan uang sebagai ilah. Orang-orang yang tamak adalah para penyembah berhala walau secara formal mereka berstatus sebagai orang Kristen/beragama. Sesungguhnya mereka tidak menyembah dan mempermuliakan Allah tetapi harta atau uangnya. Di Lukas 12:34 Yesus berkata:
“Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Jika demikian yang perlu diwaspadai bukanlah kekayaan tetapi bagaimanakah sikap hati kita. Sebab sikap hati kita yang akan menentukan bagaimanakah kita harus menempatkan setiap harta milik secara tepat dan benar di hadapan Allah. Karena itu ketamakan bisa dilakukan oleh siapapun juga apakah dia seorang yang kaya ataukah miskin, berpendidikan tinggi atau biasa, beragama atau kurang beragama.
Urgensi hidup umat manusia adalah bagaimanakah dia hidup di hadapan Allah? Inilah dimensi terdalam dari spiritualitas. Pada sisi yang lain kualitas dari spiritualitas kita ditentukan oleh sikap iman yaitu relasi personal dengan Allah. Seharusnya relasi personal dengan Allah yang dihayati sebagai iman memurnikan spiritualitas umat sehingga umat mampu jujur di hadapan Allah. Karena itu kunci untuk menghancurkan setiap keserakahan atau ketamakan adalah jujur di hadapan Allah (coram Deo). Kita akan mampu jujur di hadapan Allah, jikalau kita mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal-budi kita. Spiritualitas jujur di hadapan Allah akan memampukan umat untuk mengambil jarak terhadap segala yang dimiliki, sehingga “orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor. 7:31). Sebab spiritualitas “jarak” dalam sikap iman memampukan kita untuk tidak melekat kepada semua harta milik. Sebab kita hanya mau melekat kepada Allah, dan bukan kepada ilah-ilah dunia ini.
Jikalau demikian, apakah Saudara masih melekat dengan milik yaitu harta, uang, properti, kedudukan dan kekuasaan? Jika ya, berarti kita masih menyembah berhala. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau kita dalam hidup sehari-hari mempraktikkan keserakahan dan manipulasi.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono