Quantcast
Channel: Renungan – Yohanes BM Berteologi
Viewing all 27 articles
Browse latest View live

ShangDi Identik dengan Allah Di dalam Kristus? (Kisah Para Rasul 17:16-28)

$
0
0

Kui Shin Voo dan Larry Hovee dalam “The Lamb of God hidden in the ancient Chinese characters” merumuskan sosok “ShangDi” () sebagai Allah yang tertinggi dalam kepercayaan Cina. Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat memastikan bahwa ShangDi (上帝) atau Tian (天) menunjuk kepada Allah yang bernama “Yahweh”? Pertanyaan inilah yang menggelitik Kui Shin Voo dan Larry Hovee untuk mengadakan penelitian terhadap latar-belakang kepercayaan Cina kuno kepada ShangDi (CEN Technical Journal 13(1) 1999, 81-82). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Dr. Raymond Paul Petzholt pada tahun 2000 dalam China”s Blood Covenant With ShangDi. Hasil penelitiannya adalah mereka menyimpulkan ShangDi (上帝) adalah Pencipta dari alam semesta dan bumi, sehingga para kaisar harus taat kepada ketetapan “Langit” untuk memerintah dengan kasih, belarasa, dan keadilan. Karena itu ShangDi adalah penguasa Langit (Tian, ). Gambaran ShangDi tersebut memiliki kemiripan yang begitu dekat dengan karakter dan penyataan Allah yang bernama “Yahweh” (Allah yang dikenal oleh umat Israel).

Karakter ShangDi yang utama dinyatakan dengan keadilan. Ia menuntut standar moral yang tertinggi dari para kaisar dan umat-Nya. ShangDi bukanlah Allah yang “impersonal”, sebaliknya ShangDi diyakini sebagai Allah yang personal yang berelasi dengan manusia melalui “imam besar”, yaitu kaisar. Karena itu para kaisar senantiasa meminta berkat dari ShangDi agar manusia hidup dalam berkat-Nya. Berkat tersebut diperoleh dengan mempersembahkan kurban. Dalam sejarah kebudayaan Cina ribuan tahun yang silam telah dikenal ritual persembahan kurban kepada Tian Tan (kuil surga). Dalam bahasa Inggris “Tian Tan” diterjemahkan dengan “The Temple of Heaven”. Persembahan kurban yang dikehendaki oleh ShangDi khususnya adalah lembu dan kambing.

Kepercayaan kuno orang Cina tersebut diperkirakan telah ada sejak tahun 2205 s.M. Orang-orang Cina sejak dahulu telah melakukan ritual persembahan pengorbanan kepada ShangDi (上帝) berupa seekor domba atau sapi. Upacara ritual persembahan korban berupa domba atau sapi kepada ShangDi atau dewa langit tersebut dilakukan di Gunung Tai, Provinsi Shandong (Voo dan Larry Hovee 1999, 81). Orang Cina yang mempersembahkan kurban berupa domba atau sapi kepada ShangDi didasari oleh perasaan “malu” (perasaan bersalah). Karena itu melalui persembahan hewan kurban tersebut, orang Cina mengharapkan penebusan akan kesalahan mereka karena telah melawan ShangDi. Aksara Yi () mempersaksikan bagaimana prinsip keadilan dan kebenaran dinyatakan, yaitu melalui sikap manusia (“diriku”) yang menempatkan penebusan anak domba untuk menggantikan kesalahannya.

Kung Fu Tse memercayai Allah yang disebutnya sebagai “Tian” (天), atau juga disebut dengan nama “ShangDi” (上帝). Bagi Kung Fu Tse, “Tian” (天) menghadirkan diri-Nya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kung Fu Tse berkata, “Apakah Tian pernah bicara? Lihat saja, empat musim selalu berlangsung silih berganti, semua ciptaannya hidup berkembang bebas. Apakah Tian pernah bicara?” (Wang 2011, 197). Karena itu, respons manusia kepada “Tian” (天) seharusnya tidak bersungut-sungut dan menyalahkan orang lain. Kung Fu Tse memberi nasihat, yaitu: “Tidak mengeluh kepada yang berkuasa di atas Langit, dan tidak pernah menyalahkan orang lain. Aku belajar dari bawah, setingkat demi setingkat merangkak naik. Oh, yang mengerti aku hanyalah yang berkuasa di langit” (Wang 2011, 160).

Dalam kontekstualisasi Injil tidaklah salah secara teologis untuk menerima ShangDi identik dengan “Yahweh”, yaitu Allah yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Dasarnya teologisnya dapat dibandingkan dengan pengalaman rasul Paulus saat ia berada di sidang Areopagus, Athena. Rasul Paulus menyebut “Allah yang tidak dikenal” – itulah yang diberitakan kepada mereka. Hakikat “Allah yang tidak dikenal” di Athena itu dijabarkan rasul Paulus dengan: “Allah yang menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia” (Kis. 17:24). Demikian pula kita juga dapat menunjukkan segi-segi kesamaan ShangDi dengan Yahweh yang menuntut hidup “suci” (standar moral yang tertinggi), dan karya Kristus dalam penebusan dosa (perhatikan konsep “Yi” yang menghendaki kebenaran dan keadilan dari pihak Allah). Kalau seandainya kita tidak setuju untuk menghubungkan ShangDi dengan “Yahweh” (dan “Yesus”), minimal kita dapat menggunakan konsepsi tentang “ShangDi” sebagai jembatan teologis agar orang-orang Cina (Tionghoa) dapat mengenal Allah di dalam diri Yesus Kristus. Jembatan teologis ini sangat penting, karena melalui konsep “ShangDi” kita dapat masuk ke dalam hati sanubari orang Cina (Tionghoa) melalui tradisi dan budaya yang telah melekat ribuan tahun dalam kehidupan mereka. Karena itu mereka tidak akan terlalu asing untuk menerima penyataan Yahweh di dalam Tuhan kita Yesus Kristus.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono


Berjaga-jaga dengan Hidup Kudus Yes. 2:1-5; Mzm. 122; Rom. 13:11-14; Mat. 24:36-44

$
0
0

Minggu Adven I

Hari ini selaku gereja, kita memasuki Tahun Baru Liturgi. Sebab Tahun Baru Liturgi dimulai pada Minggu Adven I. Adven berasal dari kata Latin Adventus, yang artinya: kedatangan. Melalui Minggu Adven selama empat minggu, kita menantikan kedatangan Kristus yang kedua. Perspektif iman Kristen bukan kepada kedatangan Kristus yang pertama, namun pada kedatangan-Nya yang kedua untuk menghakimi dan menciptakan langit dan bumi yang baru. Karena itu memaknai hari raya Natal sebagai kedatangan Kristus yang pertama harus ditempatkan dalam perspektif kedatangan-Nya yang kedua. Dengan perkataan lain, melalui masa Adven selama empat minggu, kita disadarkan bahwa kita hidup di antara dua masa kedatangan Kristus, yaitu kedatangan-Nya yang pertama sebagai manusia dan kedatangan-Nya yang kedua sebagai Hakim dan Raja.

Spiritualitas yang dikehendaki oleh Allah untuk menghayati hidup di antara dua masa kedatangan Kristus tersebut adalah dengan sikap yang berjaga-jaga. Makna kata “berjaga-jaga” berasal dari istilah gregoreo yang artinya: waspada dengan tidak menjadi lamban sehingga siap menghadapi malapetaka yang tiba-tiba terjadi. Dengan sikap waspada, kita akan menjadi seseorang yang tidak mudah lengah, tetap hati-hati, dan bersiap-siaga. Karena itu dengan berjaga-jaga, kita tidak akan jatuh dalam pencobaan dan mampu mengantisipasi malatapetaka yang sedang terjadi. Di Matius 24:36-44, Tuhan Yesus mengambil contoh orang-orang pada zaman Nuh yang tidak siap menghadapi malapetaka yang akan terjadi. Mereka terjebak pada kegiatan sehari-hari seperti makan-minum, dan kawin-mengawinkan, namun mereka tidak menyadari bahaya yang segera menimpa mereka.

Tanpa kita sadari, kita sering lengah dan tidak waspada. Kita terbius oleh rutinitas pekerjaan, karier, dan pelayanan gerejawi, sehingga kita tidak pernah mempersiapkan diri untuk menyambut sesuatu yang di luar dugaan kita. Kita lebih suka mempertahankan status-quo (kemapanan diri) dan kenikmatan diri sendiri daripada mengevaluasi secara kritis, apakah kita siap menghadap hadirat Allah. Karena itu kita tidak mau berbenah diri karena kita sibuk menghakimi dan menyalahkan orang lain. Sikap berjaga-jaga senantiasa mengoreksi diri sendiri dan memberi penghargaan yang tulus, serta kasih kepada sesama di sekitar kita.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Allah Mencipta, Firman Mengubahkan, Roh Menghidupkan (Kej. 1:1-5, 26-31; Mzm. 8; 2Kor. 13:11-13; Mat. 28:16-20)

$
0
0

Minggu Trinitas

 Relasi Trinitas Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan suatu jalinan kasih. Bapa sebagai subyek yang mengasihi, dan Anak sebagai obyek yang dikasihi. Namun pada sisi lain Anak sebagai subyek yang mengasihi, dan Bapa sebagai yang dikasihi. Dalam diri Allah sejak kekal telah terdapat gerak hidup cinta-kasih (Yoh. 17:24). Allah telah mengasihi Kristus sebelum dunia dijadikan. Kehadiran Roh Kudus secara khusus untuk mencurahkan kasih Allah (Rom. 5:5). Karena itu esensi utama dari diri Allah adalah Kasih. Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Konsep Trinitas Allah dalam pemahaman ini disebut dengan perikhoresis, yaitu Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus saling mendiami atau saling tinggal dalam keesaan-Nya.

 Istilah perikhoresis berasal pemikiran John Damaskus (675-749), yang berpijak pada ucapan Tuhan Yesus di Yohanes 14:10, yaitu: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” Inti perkataan Kristus tersebut adalah Dia di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Yesus. Allah itu esa yang di dalam diri-Nya memiliki tiga pribadi yang saling berbeda, namun yang saling berbeda itu tidak meniadakan Yang Lain. Makna perikhoresis adalah hypostasis (pribadi-pribadi) Allah tersebut saling mendiami satu sama lain tanpa tercampur. Peran Roh Kudus di sini sebagai Roh Allah yang menyelidiki segala sesuatu termasuk pula hal-hal yang tersembunyi di dalam diri Allah (bdk. 1Kor. 2:10).

Manifestasi kuasa Allah yang menyatakan diri sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus memampukan umat untuk menjalin relasi kasih dengan sesama. Melalui penyataan Allah yang Trinitaris tidak terbuka ruang sikap otoriter dan absolutisme. Sangat berbeda bila Allah hadir sebagai Allah yang esa secara absolut, maka akan terbuka ruang bagi umat untuk meneladani Dia dengan bersikap absolut, eksklusif, dan sikap menghakimi setiap orang yang berbeda dengan dirinya. Kita menolak Allah yang esa secara nominal karena doktrin tersebut menjadi landasan etis bagi umat untuk meniadakan kepelbagaian dan perbedaan dalam kehidupan bersama. Allah Trinitaris yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus adalah Allah yang ingin masuk ke dalam persekutuan dengan umat manusia di dalam kasih-Nya. Persekutuan kasih ilahi tersebut terarah kepada seluruh ciptaan secara melimpah dan tanpa syarat melalui karya penciptaan, penyelamatan, dan pemeliharaan-Nya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Ditopang oleh Anugerah Allah (es. 6:1-13, Mzm. 138, 1Kor. 15:1-11, Luk. 5:1-11)

$
0
0

Stanley Jones adalah salah seorang pekabar Injil yang pernah melayani di India. Dia mengisahkan pengalaman hidupnya dalam bukunya yang berjudul: The Christ of the Indian Road. Dalam buku tersebut Stanley Jones sebagai seorang misionaris pada awalnya ketika melayani di India sering mengalami ketegangan mental/stress yang membuat dia seringkali mengalami pingsan. Ketegangan mental tersebut terjadi berulang-ulang selama pelayanannya sebagai seorang misionaris. Walau dia sudah mengambil cuti besar pulang ke negaranya di Amerika Serikat untuk menenangkan hatinya, ternyata ketika kembali ke India dia tetap mengalami ketegangan mental. Setelah beberapa waktu lamanya, dia mengambil kesimpulan bahwa dia tidak berbakat dan tidak cocok untuk menjadi seorang misionaris. Namun ketika dia telah memutuskan untuk kembali ke negaranya, saat dia berdoa Stanley Jones seperti mendengar suara Kristus yang berkata: “Jika kamu mau berpaling kepadaKu dan mau menyerahkan tugasmu kepadaKu, serta tidak merisaukan hal itu lagi, maka Akulah yang akan menyelenggarakan tugas itu.

Pengalaman iman tersebut memberi kekuatan mental yang luar biasa bagi Stanley Jones sehingga seluruh pelayanannnya sebagai seorang misionaris di India mengalami perubahan dan hasilnya sangat mengesankan. Dia terkenal sebagai seorang pengkhotbah yang penuh semangat dan mampu memberi inspirasi iman bagi setiap pendengarnya. Dalam bacaan pertama firman Tuhan dikisahkan bagaimana nabi Yesaya melihat kemuliaan Tuhan di Bait Allah yang dikelilingi oleh para Serafim yang memuji Allah sambil mereka berkata: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaanNya(Yes. 6:3). Dalam pengalaman iman tersebut, nabi Yesaya merasa dirinya sangat najis dan tidak layak di hadapan Tuhan. Dia berseru: “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam(Yes. 6:5). Menurut istilah Rudolf Otto, pengalaman iman nabi Yesaya mengalami kehadiran Allah yang “tremendum” (menggetarkan dan menakutkan), karena dia menyadari keberdosaannya yang akan menyebabkan dia dapat mati ketika dia berhadapan dengan kekudusan Allah.

Seharusnya kekudusan Allah akan memusnahkan setiap keadaan yang najis dan berdosa. Kekudusan Allah sering digambarkan bagaikan api yang membakar semua yang jahat, kotor dan yang berdosa. Tetapi sangat menarik, dalam pengalaman nabi Yesaya yang melihat kekudusan Allah tersebut dia justru menyaksikan bagaimana rahmat Allah yang mau merangkul dan memilih dia walau dia najis dan berdosa. Seorang Serafim mendekati dan menyentuh dia, sambil berkata:Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni (Yes. 6:7). Walau Allah itu kudus, tetapi kasih dan anugerahNya tidak pernah berubah. Kasih-karunia Allah inilah yang memampukan nabi Yesaya untuk menerima pengutusan sebagai seorang hambaNya. Ketika Allah berfirman: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku! (Yes. 6:8). Dengan demikian hakikat pengutusan Allah kepada umatNya sama sekali bukan ditentukan oleh kemampuan, kesalehan, kepandaian dan keahlian mereka. Tetapi yang menentukan adalah pengalaman perjumpaan iman mereka dengan Tuhan, yang telah memilih mereka kendati mereka sadar akan ketidaklayakannya, dan sikap kesediaan mereka untuk terus diproses, dibentuk dan dimampukan oleh kuasa Roh Kudus.

Di I Korintus 15:8-10, Rasul Paulus menyaksikan bagaimana kasih-karunia Allah yang begitu besar kepada dia walau dia semula seorang hina dan yang pernah menganiaya jemaat Tuhan. Di ayat 8, dia menyebut dirinya sebagai seorang anak yang lahir sebelum waktunya ketika Kristus berkenan menyatakan diriNya. Seorang bayi yang lahir prematur pada hakikatnya belum siap hadir sebagai seorang insan yang sehat di dunia ini. Seperti itulah keadaan rasul Paulus, dia tidak memiliki kesiapan dan kemampuan apa-apa tetapi ternyata kasih-karunia Kristus melampaui seluruh dosa dan kesalahannya. Manakala dia kemudian dipakai Tuhan dan dapat menjadi seorang hamba Kristus yang begitu berpengaruh dalam kehidupan gereja dan sejarah umat manusia, sama sekali bukan ditentukan oleh kemampuan manusiawinya. Dengan demikian terdapat pengalaman yang sejajar antara nabi Yesaya dan rasul Paulus. Mereka dapat menjadi seorang hamba Tuhan yang luar-biasa dan memiliki pengaruh yang abadi, oleh karena kuasa anugerah Allah yang memampukan mereka. Kekuatan mereka sebagai seorang hamba Tuhan didasarkan pada spiritualitas iman yang telah mengubah seluruh perspektif teologis yang semula bermegah karena kekuatan, kemampuan dan kepandaian diri mereka.

Perubahan perspektif teologis itulah yang memampukan mereka untuk menyerap dan belajar terus-menerus kehendak Allah. Sehingga tidak mengherankan jikalau berita dari kitab nabi Yesaya dan surat-surat rasul Paulus memiliki suatu dinamika perkembangan teologis, kesaksian dan pemikiran yang begitu bernas, bermutu dan orisinil serta mampu merelevansikan firman Allah dengan kehidupan jemaat pada waktu itu dan kehidupan jemaat masa kini. Perjumpaan nabi Yesaya dan rasul Paulus dengan Tuhan bukan hanya membuat mereka memiliki kesadaran iman akan ketidaklayakkan dan besarnya kuasa anugerah Allah yang terjadi dalam diri mereka. Tetapi pengalaman iman itu juga memberi diri mereka suatu kekuatan yang mendorong diri mereka untuk secara dinamis dan progresif membangun berita firman Allah yang berkuasa dan penuh wibawa kepada umat di zamannya.

Demikian pula dengan tanggungjawab iman kita. Agar kita dapat berperan secara lebih efektif sebagai alat di tangan Tuhan, maka tidaklah cukup jika kita hanya berdasarkan pengalaman perjumpaan dengan Tuhan saja. Tetapi yang lebih utama lagi adalah apakah pengalaman perjumpaan dengan Kristus memampukan kita untuk mengalami perubahan perspektif teologis yang mendorong diri kita secara dinamis untuk terus belajar dan mengembangkan diri agar kita dapat menyampaikan berita dari firman Tuhan yang makin bermutu dan mengena dengan kehidupan yang nyata. Kesalahan yang lain adalah banyak sekali di antara kita hanya menekankan upaya belajar berbagai ilmu pengetahuan dan mengembangkan diri dalam berbagai program pembinaan, tetapi seluruh upaya belajar tersebut menutup mata dan mengabaikanpengalaman perjumpaan dengan Tuhan secara personal, sehingga berita yang kita sampaikan seringkali kering, hambar dan tidak memiliki wibawa rohani.

Kini yang dipakai oleh Tuhan sebagai alatNya, tidak lagi terbatas kepada para pejabat gerejawi. Tuhan dapat memakai siapapun! Karena itu kita semua sebagai umat Allah adalah orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus seharusnya makin membuat kita peka dengan panggilanNya yang kudus, dan kesungguhan untuk terus mengembangkan diri. Sehingga berita firman Tuhan yang kita sampaikan dalam berbagai aspek kehidupan dapat menjadi berita firman Tuhan yang makin efektif untuk menjangkau setiap orang yang ada di sekitar kita. Jika demikian, apakah kita selaku hamba Tuhan atau anggota jemaat telah dapat menjadi alat di tangan Tuhan yang efektif?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Membedakan Yang Asli dan Yang Palsu

$
0
0

Film yang memenangkan hadiah Oscar tahun 2008 adalah The Counterfeiters dengan sutradara Stefan Ruzowitzky. Film ini diangkat dari satu diary dari seorang Yahudi yang bernama Adolf Burger di mana dia terlibat di dalam satu operasi penting yang bernama “Operation Bernard.”

Adolf Burger bersama satu orang Yahudi lain adalah orang yang ahli memalsukan uang dan mencetak uang palsu. Sebenarnya dua orang ini hendak dibunuh di camp konsentrasi di Auschwitz tetapi tidak jadi sebab mereka memberitahu keahlian khusus mereka. Karena itu Nazi menempatkan mereka ke dalam satu perusahaan rahasia untuk mencetak uang palsu. Operation Bernard adalah satu operasi yang berencana untuk membawa uang palsu ke Inggris dan melemparkannya dari udara. Tujuannya cuma satu, kalau mata uang palsu itu berhasil bercampur dengan uang asli, maka tidak akan ada transaksi bisnis dan ekonomi akan lumpuh sehingga seluruh perekonomian Inggris akan collapse. Hitler tahu untuk mengalahkan Inggris tidak harus dengan senjata tetapi dengan kehancuran ekonomi.  Untunglah operasi Bernard tersebut dapat dicegah, sehingga uang palsu yang dicetak Hitler tidak sampai menghancurkan perekonomian negara Inggris. Sama seperti uang rupiah akan hancur nilainya saat diedarkan uang rupiah yang palsu dengan akibat rusaknya kehidupan rakyat Indonesia dalam berbagai dimensi. Dengan demikian film Counterfeiter mau menyampaikan pesan bahwa betapa berbahayanya suatu kepalsuan yang begitu sempurna jika beredar dalam kehidupan manusia. Wajah kehidupan akan rusak total dan mengalami kehancuran ketika yang palsu berhasil menggeser apa yang asli dan benar. Tepatnya kepalsuan selalu merusak wajah kehidupan.

Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering berada dalam pencampuran antara yang asli dengan palsu. Gandum dan ilalang yang telah bercampur sedemikian rupa, sehingga kita seringkali mengalami kesulitan untuk membedakan antara akal licik dan pandai. Kita juga mengalami kesulitan untuk membedakan antara kesalehan dan kemunafikan, antara kawan dengan lawan, antara kasih dan sikap cinta-diri, antara pelayanan dan ambisi, antara kerelaan berkorban dengan sikap masokhisme (gemar menyakiti diri sendiri). Tidak mengherankan jikalau wajah kehidupan kita dipenuhi dengan perasaan curiga, was-was, dan berbagai pikiran negatif terhadap  sesama di sekitar kita. Selain itu di dalam diri kita juga tidak bebas dari percampuran antara yang asli dan yang palsu. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa kita bebas dari kepalsuan, kepura-puraan dan sikap munafik? Percampuran nilai Kerajaan Allah dengan dunia terlihat dalam berbagai kasus, sehingga menyebabkan umat Kristen pernah melakukan hal-hal yang kejam dan mengerikan. Sebagaimana kita ketahui bom di Hiroshima dijatuhkan pada tanggal 6 Agustus 1945. Yang mana tanggal 6 Agustus 1945 saat itu umat Kristen di mana Amerika selaku pengebom  sedang merayakan hari Transfigurasi, yaitu Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung (saat itu belum mengikuti leksionari yang ekumenis). Umat Kristen yang direpresentasikan oleh pemerintah Amerika Serikat telah menodai kekudusan Minggu Transfigurasi Tuhan Yesus dengan kematian sebanyak 160 ribu orang Hiroshima. Tahukah saudara, bagaimana pernyataan presiden Truman setelah peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki? Dia berkata: “Syukur kepada Tuhan karena kita memiliki bom itu … dan kita berdoa agar Dia membimbing kita dalam menggunakan bom itu sesuai dengan cara-cara yang Ia kehendaki dan sesuai dengan tujuanNya”. Bukankah kita juga sering menggunakan nama Tuhan, nama pelayanan  gerejawi dan firman Tuhan untuk mendukung argumen, tujuan dan kepentingan kita tertentu? Wajah spiritualitas dalam kehidupan kita sering tidak terlepas dari sikap yang manipulatif. Dengan perkataan lain, sikap memanipulasi iman dan nama Allah telah merusak wajah kehidupan.

Melalui peristiwa Natal, Allah berkarya untuk memulihkan spiritualitas dalam kehidupan umat manusia. Namun cara Allah memulihkan wajah kehidupan yang rusak akibat kuasa dosa tidak ditempuh dengan melakukan pengeboman sebagaimana yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Allah memulihkan wajah kehidupan umat manusia tidak ditempuh dengan pengiriman para tentara malaikat untuk membinasakan setiap orang yang jahat dan berdosa. Walau Allah maha-kuasa dan adi-kodrati, namun Dia memilih cara yang tidak popular namun rendah-hati. Melalui sang FirmanNya, Allah berinkarnasi menjadi manusia. Inkarnasi Firman Allah menjadi manusia berarti Allah berkenan memposisikan diriNya yang tidak terbatas menjadi terbatas, misteri ilahi yang tersembunyi menjadi suatu wujud manusiawi yang kelihatan. Misi inkarnasi Kristus sangat jelas, yaitu: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5). Kristus dalam wujudNya sebagai manusia hadir untuk menerangi kehidupan yang gelap, sehingga umat manusia mampu membedakan dengan jelas manakah yang benar dan yang palsu, yang terang dengan yang gelap, yang kudus dan yang najis. Dengan demikian umat manusia membutuhkan Kristus agar kita mampu memandang realitas kehidupan ini dengan pola pandang Allah, dan bukan dari cara pandang manusiawi yang telah jatuh di dalam dosa. Karena cara pandang manusiawi kita telah dirusak oleh kuasa dosa. Tepatnya keberadaan hidup kita telah kehilangan gambar dan rupa kita. Tetapi melalui Kristus, kita dapat menemukan gambar dan rupa Allah yang sempurna. Melalui Kristus, wajah kehidupan yang telah rusak dapat dipulihkan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kita senantiasa memandang dan menilai realitas hidup berdasarkan cermin diri masing-masing. Bila cermin diri kita utuh, tidak retak,  datar permukaannya, bersih dan memiliki daya pantul maka kita dapat melihat obyek yang berada di depannya dengan baik. Namun seringkali cermin diri kita tidak utuh tetapi retak, tidak rata tetapi cembung atau cekung, kotor dan tidak memiliki daya pantul. Akibatnya kita tidak mampu melihat pantulan diri secara tepat, tidak jelas, dan buram. Dalam kondisi tertentu kita memang cukup jelas melihat pantulan diri kita tetapi dalam bentuk yang aneh, sebab wajah dan tubuh kita berubah dalam bentuk yang tidak normal sebab cermin yang kita gunakan adalah cermin yang cembung dan cekung.  Bagaimana kalau dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan cermin cembung atau cekung untuk menilai sesama? Yang akan terjadi kita melihat orang lain dalam bentuk yang aneh, ganjil dan menjijikkan. Padahal keanehan dan keganjilan tersebut bukan terletak pada sesama kita, tetapi bersumber kepada diri sendiri. Demikian pula seandainya cermin kita datar permukaannya,utuh dan tidak retak, tetapi sayangnya serba buram. Pastilah kita akan melihat sesama dalam kondisi yang buram dan kotor. Saat ini sedang dirancang sebuah cermin yang mampu memantulkan balik objek di depannya dari berbagai sudut. Dengan kata lain, seseorang akan tetap melihat bayangannya secara sempurna dari berbagai sudut tak peduli ia berdiri di sebelah manapun. Cermin universal mampu menangkap setiap detil dengan sempurna. Seperti itulah peran inkarnasi Kristus. Melalui Kristus, kita dimampukan untuk melihat seluruh keberadaan dan kenistaan kita yang tidak terlihat oleh manusia, tetapi juga dimampukan untuk melihat seluruh anugerah dan kasih Allah kepada kita. Melalui pengenalan dan iman kepada Kristus, kita tidak dapat lagi memanipulasi realitas diri. Di hadapan Kristus kita menemukan seluruh keberdosaan kita, dan di pihak lain kita menemukan pengampunan Allah yang mengasihi kita tanpa syarat.

Inkarnasi Kristus hadir dalam wujud seorang insan manusia yang sederhana. Kristus tidak memilih lahir dari strata sosial seorang bangsawan atau kerajaan dunia, tetapi Dia lahir dalam kemiskinan. Kisah kelahiran Yesus di kandang Betlehem ini telah berulang-ulang kita dengarkan dan renungkan, tetapi apa artinya bagi kita. Mata hati kita sering tidak lagi peka dengan masalah kemiskinan dan penderitaan, karena hampir setiap hari kita menjumpai persoalan-persoalan kemiskinan dan penderitaan. Bahkan secara tidak sadar kita mencoba untuk menjauhi orang yang kelihatannya miskin dan menderita. Kita kadang-kadang sulit membedakan antara sikap curiga dengan sikap hati-hati karena kuatir dibohongi oleh orang-orang dengan dalih kemiskinan. Karena dalam persepsi kita, orang-orang yang hidup bahagia dan diberkati Tuhan adalah bilamana mereka berhasil secara materi. Seorang teman naik kereta api dari Surabaya ke Jakarta. Di suatu stasiun saat kereta berhenti dia menyaksikan seorang anak dengan wajah kotor dan pakaian kumal mendekati dia. Tetapi anak ini dengan sangat sopan meminta, apakah air minum yang tersisa boleh dia ambil. Dengan spontan teman saya tersebut menyerahkan air minum mineral dalam kemasan botol  yang telah tersisa separuh.  Kemudian dia menyaksikan anak tersebut turun dan bersama-sama dengan teman-temannya duduk di peron stasiun kereta. Mereka mengeluarkan berbagai jenis makanan yang telah diperoleh dari para penumpang termasuk pula air dalam kemasan botol miliknya. Dengan sukacita mereka saling memberi dan membagi. Persahabatan dan ketulusan terpancar dalam kehidupan mereka. Teman saya tersebut tiba-tiba tersadar, bahwa nilai-nilai persahabatan dan ketulusan tersebut justru sering tidak dijumpai saat dia bekerja di kantor dan melayani di gereja. Di tengah-tengah lingkungan yang berpendidikan dan religius, malahan dia sering menjumpai kemunafikan, kepura-puraan dan kelicikan. Tetapi melalui peristiwa sederhana di statiun kereta api itu, teman saya menemukan pencerahan dan arti hidup yang baru, yaitu bagaimana dia dipanggil untuk hidup secara otentik, apa adanya, tulus dan menghargai nilai-nilai persahabatan serta kasih yang tanpa syarat. Jadi kalau teman saya tersebut mampu menemukan pencerahan dan arti hidup yang baru saat melihat ketulusan dan persahabatan anak-anak gelandangan di stasiun, seharusnya melalui kelahiran Kristus yang sederhana dan miskin, kita juga dapat menemukan pencerahan dan arti hidup yang lebih sempurna.  Perayaan Natal tidak lagi dihayati hanya sebagai suatu peristiwa seremonial liturgi dan romantisme iman. Tetapi Natal dihayati sebagai peristiwa yang menjadi cermin rohaniah untuk melihat seluruh kedirian kita secara utuh di hadapan Kristus.

Namun di Yohanes 1:10-11 menyaksikan respon manusia saat Kristus datang ke dalam dunia, yaitu: “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.  Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.”  Respon manusia secara faktual ternyata mengabaikan dan menolak Kristus. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa manusia mengabaikan dan menolak kehadiran Kristus. Mungkin ada begitu banyak kemungkinan atau alasan yang menyebabkan manusia mengabaikan dan menolak kehadiran Kristus di tengah dunia ini. Namun ada satu hal yang paling mungkin mengapa manusia sepanjang zaman mengabaikan dan menolak kehadiran Kristus, yaitu karena manusia sering terperangkap dalam pikirannya sendiri. Wajah kehidupan manusia ditandai oleh sikap egois dan egosentrisme yang begitu kuat. Manusia sering tergoda untuk berulangkali bercermin melihat dirinya, tetapi dia selalu lupa dengan wajah diri yang dilihatnya. Itu sebabnya manusia tidak memiliki kesempatan untuk peduli dengan kehadiran orang lain. Yang mana sikap egoisme dan egosentrisme seringkali berakar pada kondisi dan perasaan terasing atau alienasi. Pertama, bukankah saat kita merasa kesepian dan terasing, kita akan merasa hampa dan tidak berarti sehingga kita sulit menyadari keberadaan orang lain di sekitar kita? Saat kita merasa terasing dan kesepian, kita tidak akan peka dengan orang lain. Kedua, saat kita merasa terasing dan kesepian, kita juga akan mudah tersinggung dan marah.  Sebab kita merasa orang-orang di sekitar kita tidak memberi kepedulian sebagaimana yang kita harapkan. Ketiga, kesepian dan keterasingan akan menyebabkan kita untuk menuntut orang lain berperilaku menurut pola pikir dan keinginan kita. Keempat, saat kita terasing dan kesepian akan menyebabkan kita mengasingkan dan menghakimi orang lain. Keterasingan dan kesepian akan menyebabkan kita untuk merusak wajah kehidupan bersama orang lain. Tepatnya, keterasingan dan kesepian rohaniah selalu merusak wajah kehidupan.

Sikap penolakan kita kepada Kristus bukan hanya dalam pengertian kita menolak untuk dibaptis dan mengaku percaya serta melayani Dia. Tetapi sikap penolakan kita kepada Kristus lebih banyak dinyatakan dalam sikap kita yang mengasingkan sesama karena kita sedang berada dalam keterasingan dan kesepian spiritualitas. Dengan perkataan lain, selama kita masih berada dalam situasi keterasingan dan kesepian spiritualitas sebenarnya kita belum berada dalam naungan anugerah keselamatan Allah. Karena anugerah keselamatan Allah senantiasa ditandai oleh syalom, yaitu keselamatan dan damai-sejahteraNya. Bagaimana mungkin kita sering begitu yakin telah berada dalam anugerah keselamatan Allah, tetapi pada sisi lain kita jauh dari perasaan damai-sejahtera Allah. Apakah mungkin anugerah keselamatan Allah dapat berjalan bersama-sama dengan perasaan terasing dan kesepian secara spiritualitas? Apakah mungkin keselamatan Kristus dapat kita hayati tanpa relasi kasih dengan diri sendiri, sesama dan Allah? Jawabannya jelas, yaitu: TIDAKLAH MUNGKIN! Kita tidak mungkin beriman tetapi terasing dari Allah dan sesama serta diri sendiri, walaupun secara formal kita berstatus sebagai umat percaya. Karena dengan kondisi perasaan terasing dan kesepian secara spiritualitas, kita akan memandang dengan buram dan kotor terhadap sesama. Kita juga akan memandang sesama dengan pandangan yang ganjil dan aneh karena spiritualitas kita berlensa cekung dan cembung. Dengan spiritualitas demikian, kita akan memandang rekan kerja di kantor sebagai rival atau saingan kita. Kalau kita melayani Tuhan di gereja, maka kita akan memakai media pelayanan untuk ambisi, kepentingan diri dan kelompok kita sendiri.  Selain itu pelayanan gerejawi yang seharusnya terarah untuk kemuliaan Tuhan akan kita alihkan untuk memenuhi kehausan ambisi dan kehendak kita sendiri.

Namun dalam dunia yang telah tercabik-cabik oleh kuasa dosa, kita tidak mungkin mengelak dari keterasingan dan kesepian secara spiritualitas. Mungkin kita memiliki cukup banyak sahabat dan rekan kerja, tetapi tidak berarti kita tidak mengalami alienasi secara rohani. Di tengah-tengah keramaian orang banyak dan keakraban keluarga, kita dapat mengalami kehampaan dan perasaan diri tidak berarti. Para tokoh besar seperti William Shakspeare, Leonardo da Vinci, Benjamin Franklin dan Abraham Lincoln sering mengalami kesepian dan keterasingan. Namun ternyata mereka mampu mengubah keterasingan dan kesepian mereka menjadi suatu kerja yang berkualitas dan membawa berkat bagi sesama. Kesepian dan keterasingan yang dialami justru diubah mereka menjadi suatu kekuatan kreatif yang membawa inspirasi dan kekuatan bagi banyak orang. Pendiri Face-book yaitu Mark Elliot Zuckerberg tidak pernah lulus sebagai sarjana dan sering kesepian di kamarnya, tetapi kini berhasil menjadi orang muda terkaya di dunia. Usia Mark Elliot Zuckerberg waktu merancang Face-Book  baru berusia 24 tahun! Kekayaan Mark Elliot Zuckerberg kini telah mencapai Rp. 13, 5 trilyun dan jumlah anggota Face-Book hampir mencapai 300  juta orang.  Kesepian dan keterasingan berhasil diubah menjadi kekuatan kreatif yang menakjubkan. Tetapi juga harus diakui begitu banyak orang lebih memilih untuk menghancurkan kehidupannya saat mereka merasa terasing dan mengalami kesepian spiritualitas. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau dunia kita saat ini dipenuhi oleh penyebaran HIV, seks bebas, pornografi dan kematian tragis dengan cara bunuh-diri. Pemulihan wajah kehidupan akan terjadi ketika kita mampu menyikapi keterasingan dan kesepian spiritualitas dengan sikap yang kreatif. Namun perlu dipahami dengan serius, bahwa pemulihan dengan sikap kreatif bukanlah solusi yang final. Sikap yang kreatif juga menjadi tidak berarti,  apabila ternyata kita tetap kehilangan dimensi terdalam dengan sang sumber hidup, yaitu Kristus. Kesepian dan keterasingan spiritualitas manusia yang terdalam tidak dapat diganti dengan hasil kerja yang kreatif saja. Untuk itulah Kristus datang menjadi manusia agar Dia dapat menjadi sahabat bagi setiap umat manusia. Pemulihan wajah kehidupan akan terjadi jika setiap umat mengalami kehadiran Kristus sebagai sahabat yang sejati.

Dalam bukunya yang berjudul Reaching Out, The Three Movement of Spiritual Life (Menggapai tiga gerakan hidup rohani), Henri Nouwen menawarkan solusi, yaitu bagaimana kesepian dan keterasingan rohani dapat diubah menjadi keheningan hati. Bagi Henri Nouwen, iman kepada Kristus seharusnya ditandai oleh keheningan hati, bukan lagi didominasi oleh perasaan keterasingan dan kesepian spiritualitas. Saya memahami makna keheningan hati yang ditawarkan oleh Henri Nouwen identik dengan kebeningan atau kejernihan rohani. Kalau rohani kita bening dan jernih seperti air, maka kita tidak akan pernah mengalami kekeruhan walau harus melewati lembah yang terjal dan tinggi. Rohani kita tetap jernih dan bening walau harus menjadi air terjun yang menimpa batu karang yang terjal. Kondisi ini sangat berbeda jikalau kita mengalami kesepian dan keterasingan rohaniah. Sedikit saja kita mengalami benturan dengan sesama, rohani kita telah keruh. Jelasnya, betapa banyak di antara kita mengalami kekeruhan rohani saat terbentur oleh perkara-perkara yang begitu sepele. Menghayati makna Natal berarti kita menghayati peristiwa Allah yang berinkarnasi dari “atas”, dan kemudian menukik ke bawah yaitu kehidupan dunia tanpa harus menjadi keruh. Di dalam Kristus, kekudusan Allah yang maha-tinggi tidak ternoda oleh dosa saat Dia menjelma menjadi manusia. Dengan demikian melalui peristiwa Natal, Allah memanggil kita untuk dimurnikan oleh Kristus sehingga seluruh kekeruhan dan kekotoran rohaniah kita diubah menjadi suatu kebeningan dan keheningan budi.  Itu sebabnya walau kita harus melangkah dan  melewati kekeruhan dunia serta terjun bebas menghantam batu karang yang terjal, rohaniah kita tetap bening dan hening. Kita tetap mampu mempermuliakan Allah di tengah-tengah penderitaan, kegagalan, penolakan dan kepalsuan dunia. Mungkin kuasa dunia berhasil menyebarkan “uang palsu” seperti gambaran dalam film “The Counterfeiters”. Tetapi karena rohaniah kita tetap bening dan hening, maka kita dapat dengan mudah untuk memisahkan apa yang benar dengan yang palsu, antara akal licik dengan kepandaian, antara kesalehan dengan kemunafikan, antara kawan dengan lawan, antara kasih dengan cinta-diri, antara pelayanan dan ambisi, dan antara kerelaan berkorban dengan sikap yang gemar menyakiti diri sendiri.

Dengan demikian, kebeningan budi dan keheningan rohaniah di dalam Kristus akan memampukan kita untuk bercermin dan mencerminkan diri. Kita tidak lagi menggunakan cermin yang buram yang akan menyebabkan kita melihat berbagai titik hitam dalam diri sesama. Kita juga tidak lagi menggunakan cermin yang retak sehingga menyebabkan kita melihat keretakan dalam diri orang lain. Demikian pula kita juga tidak akan menggunakan cermin cembung dan cekung yang menyebabkan kita menemukan hal-hal yang ganjil dalam diri seseorang. Sebaliknya kita secara konsisten menggunakan cermin Kristus yang memampukan kita jeli dan tajam melihat realita hidup yang penuh dengan dosa, namun juga mampu melihat dan mengalami kasih Allah yang penuh anugerah kepada setiap umat manusia. Bila kehidupan kita telah menggunakan cermin Kristus, maka yakinlah kita telah memulihkan wajah dunia. Selama mata rohani kita bening dan hening, maka kita dimampukan oleh Allah sebagai agen-agen  perubahan yang memulihkan wajah kehidupan ini, baik memulihkan wajah kehidupan kita sendiri, maupun wajah kehidupan sesama di sekitar kita.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Mengalami Perjumpaan Yang Mengubahkan (Kis 2:36-41; Mzm. 116:1-3, 10-17; I Petr. 1:17-23; Luk. 24:13-35)

$
0
0

Bagi umat Israel, perenungan terhadap firman Allah yang tertuang dalam hukum Taurat wajib dilakukan di manapun mereka berada. Di Ulangan 6:7 terdapat perintah Allah demikian: “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”.  Itu sebabnya ketika orang-orang Yahudi melakukan perjalanan yang cukup jauh mereka umumnya menggunakan waktu selama perjalanan dengan mendiskusikan isi hukum Taurat. Dalam konteks ini makna mendiskusikan  tentang Taurat bagi umat Israel bukan sekedar untuk membuang waktu agar mereka tidak penat selama di perjalanan; tetapi secara spiritualitas mendiskusikan hukum Taurat bagi mereka dihayati dapat memberi pencerahan dan pemaknaan terhadap kehidupan ini.  Namun apabila pokok bahasan dari hukum Taurat tiba-tiba beralih ke topik lain secara intensif dan serius, pastilah topik tersebut bukan sembarangan materi sehingga layak untuk dijadikan bahan diskusi.  Dua orang dari murid Yesus ternyata tidak mendiskusikan Taurat selama perjalanan mereka dari Yerusalem menuju Emaus. Dalam perjalanan yang jaraknya sekitar 11 km tersebut justru diisi oleh mereka untuk mendiskusikan topik aktual tentang peristiwa penganiayaan dan eksekusi salib yang baru-baru ini dialami oleh Yesus dari Nazaret, guru mereka. Mereka mendiskusikan tentang kehidupan Yesus yang mereka anggap sebagai seorang nabi yang sangat berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan Allah, tetapi nyatanya Dia harus mengalami kematian yang sangat tragis yaitu mati disalibkan. Padahal mereka semula sangat mengharapkan Yesus dapat menjadi seorang Messias yang membebaskan umat Israel dari cengkeraman dan kekuasaan penjajahan kerajaan Romawi. Mungkin selama berjalan kea rah Emaus, mereka mendiskusikan bagaimana mungkin seorang nabi yang berkuasa seperti diri Yesus yang dipenuhi oleh mukjizat Allah dapat mengalami kematian di atas kayu salib. Mengapa Allah membiarkan dan tidak menolong Yesus sebagai MessiasNya? Mengapa Allah tidak menyelamatkan Yesus dari hukuman dan kematian di atas kayu salib?

Pada saat mereka sibuk berdiskusi tentang peristiwa aktual yang baru saja terjadi, muncullah seorang asing yang tiba-tiba mendekati mereka dan ikut serta berdiskusi selama perjalanan ke Emaus. Kedua murid Yesus tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa orang asing yang bersama-sama dengan mereka adalah Tuhan Yesus yang bangkit. Di Luk. 24:16 disebutkan alasan mengapa kedua murid Yesus tersebut tidak mengetahui kehadiran dari Yesus di tengah-tengah mereka, yaitu: “Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia”. Beberapa penafsir mengartikan “sesuatu yang menghalangi mata mereka” adalah karena pandangan mata kedua murid Yesus tersebut terhalang oleh sinar matahari yang akan terbenam. Karena kedua orang tersebut berjalan menuju arah Barat, maka mata mereka menjadi silau oleh sinar matahari sore hari. Ada pula yang mengatakan bahwa kedua murid tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang telah bangkit karena hati mereka saat itu diliputi oleh perasaan dukacita disebabkan kematian Yesus. Sehingga ketika Yesus bertanya kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka Lukas 24:17 memberi gambaran tentang keadaan hati dari kedua murid Yesus itu, yaitu: “Maka berhentilah mereka dengan muka muram”. Jadi karena mereka saat itu sedang muram sebagai cermin dari hati yang sedih dan berdukacita, maka mereka tidak mampu lagi mengenali diri Yesus yang sebelumnya telah mereka kenal. Itu sebabnya mereka bertanya kepada Yesus: “Apakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” (Luk. 24:18). Kemungkinan tersebut di atas memiliki dasar yang faktual sebab mereka saat itu memang berjalan ke arah Barat dan pastilah mata mereka silau terkena oleh sinar matahari senja. Demikian pula mereka saat itu memang sedang berdukacita karena kematian seorang guru yang mereka kasihi dan dianggap berkuasa sebagai nabi Allah, sehingga harapan-harapan mereka kini menjadi pudar. Tetapi semua kemungkinan tersebut tidak dapat dijadikan alasan utama, mengapa para murid Yesus saat dalam perjalanan ke Emaus tidak lagi mengenali kehadiran dari Yesus. Bukankah mereka sebenarnya juga dapat mengenali Yesus dari jenis suaraNya atau caraNya Dia berkata-kata? Bukankah mereka sempat memandang beberapa kali wajah Yesus saat Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka?

Kedua murid Yesus tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang bangkit, karena mereka saat itu  “pangling”. Arti dari “pangling” adalah: “tidak dapat mengenal lagi” atau “mereka lupa dan tak mengenal lagi” (fail to recognize). Selain hati mereka sedang berdukacita, kedua murid Yesus itu tidak lagi mampu mengenali diri Yesus sebelum Dia wafat. Mereka kini melihat diri Yesus dalam bentuk yang sama sekali baru, sehingga mereka “gagal untuk mengenali” identitas Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid tersebut benar-benar tidak mengenali Yesus dengan tubuh kebangkitanNya, sehingga mereka menganggap Yesus yang bangkit sebagai orang asing yang kebetulan hadir di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Emaus. Bahkan mereka juga tetap tidak mengenali Yesus saat Yesus menegur mereka dengan perkataan yang keras, yaitu: “Hai orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga  kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Messias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaanNya?” (Luk. 24:25-26). Bukankah kita akan sedikit tersinggung ketika orang asing yang sedang berbicara dengan kita menegur kita sebagai “orang bodoh” dan “orang yang berhati lamban”?  Bukankah saat perasaan kita terusik dapat mendorong kita untuk mencermati secara lebih mendalam orang yang menjadi lawan bicara kita? Tetapi kedua murid Yesus tersebut tetap tidak menyadari orang asing yang sedang menegur dan berbicara dengan mereka adalah Yesus yang telah bangkit. Selaput yang menghalangi mata mereka sedemikian tebalnya, sehingga kedua murid  tetap buta mata dan kesadarannya pada saat Yesus menerangkan tentang Messias sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab-kitab Musa dan kitab nabi-nabi. Kini selama sisa perjalanan, kedua murid Yesus kembali mendiskusikan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tetapi kini mereka diajar oleh “orang asing” tentang makna dari ayat-ayat Firman Tuhan tersebut dengan perspektif yang baru dan lebih dalam! Makna hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tidak lagi ditempatkan secara terpisah dari karya Tuhan Yesus yang telah wafat dan bangkit. Sebaliknya nubuat yang tercantum hukum Taurat dan kitab nabi-nabi menjadi penuh makna dan aktual saat nubuat Firman Tuhan tersebut ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah yang telah menentukan Yesus sebagai Messias harus menderita tetapi juga Dia akan dibangkitkan dari kematianNya.

Ketika mereka hampir sampai di Emaus, disebutkan Yesus berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalananNya. Tetapi kedua murid Yesus itu sangat mendesak Dia untuk tinggal bersa-sama mereka, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Luk. 24:29). Perkataan kedua murid Yesus yang mengajak Yesus tinggal bersama mereka memberi inspirasi Henry Francis Lyte pada tahun 1847 untuk menggubah suatu syair dengan judul Abide with Me yang kemudian oleh William Henry Monk paa tahun 1861 dijadikan suatu nyanyian. Kini pujian tersebut dapat kita nyanyikan dari Kidung Jemaat nomor 329. Lagu ini terasa sangat menyentuh saat ditempatkan pada detik-detik terakhir kapal “Titanic” yang akan karam dalam film “Titanic”. Ungkapan permohonan dari kedua murid Yesus agar Yesus mau bersama-sama untuk tinggal dengan mereka memberi kesan bahwa mereka waktuitu sangat takjub dan terkesan dengan seluruh sikap dan perkataan Yesus saat Dia menjelaskan makna Kitab Suci selama di perjalanan. Dalam hal ini mereka bukan sekedar ingin memberi pertolongan kepada Yesus sebagai “orang asing”. Karena menurut kebiasaan dan tata-krama Yahudi, tidaklah pantas membiarkan seorang tamu berjalan dalam keadaan gelap di malam hari (bandingkan Kej. 19:1-11). Tetapi justru sebaliknya, mereka merasa memperoleh pertolongan berupa “pencerahan iman” saat Yesus menjelaskan makna Firman Tuhan. Pencerahan iman terhadap kebenaran Firman Tuhan tersebut sedikit banyak telah mengobati perasaan dukacita dan kesedihan hati mereka. Sebab mereka makin dapat melihat bahwa kematian Yesus pada hakikatnya telah ditentukan oleh Allah. Kematian Yesus justru dipakai oleh Allah untuk menyatakan kemuliaanNya. Dalam pengertian ini sedikit demi sedikit mereka mulai memahami berita yang tersebar tentang kemungkinan kebangkitan Yesus dari kuburNya. Tetapi saat itu hati mereka tetap belum mengenal identitas diri Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid Yesus itu masih menganggap Yesus sebagai orang asing.

Mata rohani kedua murid Yesus baru tersingkapkan saat mereka bersama Yesus makan roti. Di Lukas 24:30-31 menyaksikan: “Waktu Ia duduk makan makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka”.  Selama perjalanan yang cukup jauh, mereka tidak mampu mengenal jati-diri Yesus yang berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi saat mereka bertiga makan bersama, yaitu saat Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecah-mecahkan roti dan memberikan roti itu kepada mereka; barulah  terbuka  mata mereka. Apakah kesadaran dan mata rohani mereka baru dapat terbuka karena mereka diingatkan akan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan? Ataukah penyingkapan diri Yesus terjadi karena saat itu mereka tidak lagi menganggap Yesus sebagai orang asing sebab mereka telah menyambut Dia untuk makan bersama? Keberadaan Yesus yang bangkit akan dapat dialami secara eksistensial ketika umat percaya mau membuka hati dengan sikap kasih kepada sesamanya yang asing. Tuhan Yesus yang telah bangkit berjanji akan hadir di tengah-tengah persekutuan yang saling mengasihi dan percaya  dalam namaNya. Di Matius 18:20, Tuhan Yesus berkata: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Selama manusia memiliki sikap tidak percaya dan mengasihi Kristus maka mereka tidak mungkin dapat mengalami kehadiran Kristus yang telah bangkit. Itu sebabnya kita dapat mengerti alasan mengapa Yesus yang bangkit tidak menyatakan diriNya kepada para musuhNya, seperti para pemimpin agama Yahudi. Pada masa kini, tidak setiap orang dapat mengalami kehadiran dan kuasa Kristus yang bangkit jikalau mereka tidak mengalami perjumpaan yang personal dengan Dia. Bukankah kita sering memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai seorang asing? Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak peka dengan keadaan orang asing yang berada di tengah-tengah kita. Mata hati kita sering tertutup rapat, sehingga kita tidak mampu melihat kehadiran Kristus yang tersembunyi dalam berbagai penderitaan dan kesusahan orang-orang asing di sekitar kita.

Setelah kedua murid Yesus tersebut dapat mengenali diri Yesus yang telah bangkit dan tidak lagi sebagai orang asing, maka di Lukas 24:33 menyatakan: “Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka”.  Perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit menghasilkan suatu perubahan sikap dan spiritualitas. Walaupun mereka di Emaus belum sempat beristirahat dan hari telah menjelang malam, mereka berdua  memutuskan pergi untuk kembali ke Yerusalem menemui para murid Yesus lainnya. Mereka ingin memberitakan kabar gembira tentang perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit.  Apabila semula muka mereka berwajah muram penuh kesedihan dan rasa dukacita saat mereka berjalan dari Yerusalem ke Emaus, tetapi kini wajah mereka diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa saat mereka kembali dari Emaus ke Yerusalem. Bagi mereka berdua berita tentang kebangkitan Kristus bukan lagi merupakan kabar “burung” sebab kini mereka telah mengalami secara personal dan langsung perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Kedua murid Yesus di Emaus itu tidak lagi menganggap kebangkitan Kristus hanya sebagai kabar (“news”), tetapi dialami sebagai peristiwa nyata (“events”)  yang mencelikkan atau mentransformasikan seluruh kesadaran dan mata rohani mereka. Itu sebabnya mereka terpanggil untuk bersaksi tentang makna kematian dan kuasa kebangkitan Kristus kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi kesaksian tentang kebangkitan Kristus bukan terjadi karena kasus “cognitive dissonance”, yaitu suatu anggapan bahwa para  murid berubah menjadi pribadi yang agresif bersaksi karena kepercayaan mereka ternyata meleset. Dalam teori “cognitive dissonance” didasari oleh perasaan ragu dan tidak percaya kepada peristiwa kebangkitan Kristus.  Sebab dalam teori ini meleset atau gagalnya kepercayaan yang semula dipegang teguh oleh suatu komunitas keagamaan yaitu para murid Yesus dan jemaat perdana dalam menghadapi kematian Yesus.  Para murid Yesus dan gereja perdana mengalami tekanan psikologis karena mereka harapan utama mereka kandas. Akibat dari tekanan dan dorongan psikologis tersebut mereka justru makin termotivasi untuk lebih bersemangat dan menjadi militan karena sebenarnya mereka ingin mengurangi atau meniadakan kegagalan yang dialami sebelumnya.

Tentunya teori “cognitive dissonance” tersebut tidaklah tepat untuk dikaitkan dengan peristiwa kebangkitan Kristus. Para rasul dan jemaat perdana bersaksi tentang Kristus dengan sepenuh hati bukan didorong oleh perasaan kecewa karena harapan utama mereka menjadi kandas. Sebab inti dari pemberitaan dan kesaksian gereja perdana atau para rasul bukan sekedar memberi penghiburan dan pengharapan kosong. Isi pokok kesaksian dan pemberitaan para rasul dan gereja perdana yang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit adalah: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia ROH KUDUS” (Kis. 2:38). Pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang bangkit senantiasa dikaitkan dengan panggilan untuk bertobat yaitu perubahan arah, nilai dan kualitas hidup. Melalui peristiwa kebangkitan Kristus, para rasul dan jemaat perdana telah mengalami apa artinya dilahirkan kembali. I Petr. 1:23 berkata: “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yaitu firman Allah yang hidup dan yang kekal.” Yang mana panggilan pertobatan dan kelahiran kembali tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi, sebab: “Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakanNya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah” (I Petr. 1:21). Jadi sangatlah jelas bahwa para rasul dan gereja perdana telah mengalami peristiwa kebangkitan Kristus secara faktual  dan eksistensial; sehingga peristiwa kebangkitan Kristus telah mengubah seluruh pola pikir, pandangan, nilai-nilai dan makna serta tujuan hidup mereka.

Jika demikian, apakah kita selaku jemaat juga telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit? Apabila kehidupan kita lebih sering dibelenggu oleh perasaan duka, sedih dan berpikir menurut ukuran-ukuran/nilai-nilai duniawi; maka  kita akan bersikap seperti dua orang murid dari Emaus. Dalam situasi demikian, kita akan memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai “orang asing” yang sebenarnya sedang berjalan di tengah-tengah kehidupan kita. Sebab kita tidak lagi mampu mengenali jati-diri Kristus yang tersembunyi di tengah-tengah kehidupan bersama sesama. Ini terjadi karena hati kita lamban dan secara spiritualitas kita telah menjadi orang-orang yang “bodoh”. Akibatnya arah dan tujuan hidup kita cenderung untuk selalu berkiblat ke masa lampau dan kepada diri sendiri. Tetapi manakala hati dan mata rohani kita dicelikkan oleh Allah, maka kita akan dimampukan untuk lebih mengenal dan berjumpa  secara personal  dengan Kristus yang bangkit. Saat itulah kehidupan kita akan diubahkan secara penuh. Hidup kita mengalami pencerahan iman dan ditransformasi  oleh kuasa kebangkitanNya, sehingga dengan penuh sukacita kita menjadi saksi dari kuasa kebangkitan Kristus.  Tanda pencerahan iman sebagai saksi-saksi kebangkitan Kristus adalah pertobatan dan kelahiran baru. Jadi apakah hidup saudara saat ini  ditandai oleh pertobatan dan hidup yang baru?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Allah, Pelindung Bagi Yang Tertindas (Mzm. 68:1-10; 1Petr. 4:12-14)

$
0
0

Pembukaan kitab Mazmur 68 cukup mengejutkan: “Allah bangkit, maka terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya” (Mzm. 68:2). Yang mana tindakan Allah yang bangkit tersebut ternyata berkaitan dengan “Allah yang berperang” sebagaimana yang diungkapkan di Mazmur 68:8: “Ya Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umatMu, ketika Engkau melangkah di padang belantara.”  Bagi saya cukup  mengejutkan sebab premis dasar dari Mazmur 68 mau menyatakan Allah yang bangkit berperang di depan umat-Nya sehingga kemudian menimbulkan efek “terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya.” Sebab bukankah ungkapan “Allah bangkit berperang” sepanjang sejarah telah digunakan untuk menghalalkan dan membenarkan berbagai perang dengan sebutan yang manis dan rohani, yaitu: “perang Allah,” atau disebut pula dengan “perang suci?” Padahal semua perang dengan atribut “perang Allah” atau “perang suci” tersebut justru dalam praktiknya senantiasa lebih kejam, beringas dan barbar dalam membantai setiap orang yang dianggap sebagai musuh-musuh Allah. Karena itu berbagai peristiwa perang dengan atribut “perang suci” atau “perang Allah” tersebut telah mengakibatkan jutaan anak-anak yang harus kehilangan ayah atau orang-tuanya, para isteri yang harus  kehilangan suami sehingga mereka harus menjanda,  dan para wanita yang kehilangan kehormatannya karena mereka dijadikan tawanan dan diperkosa secara massal. Dengan pemikiran yang demikian, kesaksian Allah yang bangkit berperang (Mzm. 68:2, 8) sangat kontradiktif dengan isi kesaksian di Mzm. 68:6-7. Sebab Mzm. 68:6-7 berkata: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia.”

Kontradiksi yang saya maksudkan adalah: apabila di Mazmur 68:2,8 menyatakan Allah yang bangkit berperang untuk menghancurkan para musuhNya dengan membawa akibat banyak dari anak-anak kehilangan ayahnya, dan para isteri kehilangan suami serta para wanita kehilangan kehormatannya dan menjadi tawanan; maka mengapa di Mazmur 68:6-7 menyatakan bahwa Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada  mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan?  Dengan pemahaman tersebut timbul suatu kesan bahwa kesaksian Mazmur 68:6-7 merupakan pada prinsipnya akibat dari tindakan Allah yang berperang menghancurkan para musuhNya sebagaimana telah dinyatakan dalam Mazmur 68:2,8. Atau dengan perkataan lain para anak yatim, para janda dan mereka yang sebatang kara serta menjadi tawanan sebenarnya merupakan akibat dari tindakan Allah  memerangi dan membinasakan para musuhNya. Orang-orang yang telah menjadi anak yatim, para janda dan para tawanan yang sebatang kara di Mazmur 68:6-7 sesungguhnya merupakan para korban dari suatu peperangan; sebab “ayah, suami dan keluarga mereka telah terbunuh akibat perang yang dilancarkan oleh Allah.” Analisis ini sepertinya mau menyimpulkan bahwa Allah sebagai subyek yang menjadi penyebab penderitaan dari para korban perang. Sebab melalui perang yang dilancarkan oleh Allah tersebut telah menimbulkan para anak kehilangan para ayah sehingga mereka menjadi yatim, para isteri kehilangan suami-suami sehingga mereka menjadi para janda, dan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya karena mereka menjadi tawanan atau menjadi orang-orang yang sebatang kara. Jadi karena Allah dianggap sebagai penyebab penderitaan dari para korban perang, maka kini Dia harus bertanggungjawab untuk menjadi: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia.” Apakah ini berarti “moralitas Allah” sebagai penanggungjawab bagi anak yatim, para janda dan para tawanan” dihayati sebagai suatu kompensasi karena tindakan-Nya yang telah menghancurkan dan membinasakan para musuh-Nya? Jika benar maka moralitas Allah tersebut bukan lahir dari hakikat-Nya yang kudus dan penuh kasih. Bukankah Allah yang kudus dan  penuh kasih tidak akan pernah membangkitkan perang untuk membinasakan manusia yang dianggap sebagai musuh-Nya? Sebab para penguasa dunia sepanjang sejarah umumnya juga akan melakukan hal yang sama terhadap para keluarga musuh yang menjadi korban perang.

Namun apabila kita membaca dengan teliti, maka yang dimaksudkan dengan “Allah yang bangkit berperang” ternyata bukanlah suatu tindakan dalam bentuk “perang suci” atau “perang Allah” dalam pengertian kita saat ini.  Pengertian kita saat ini tentang “perang Allah” atau “perang suci” umumnya telah terbentuk oleh berbagai peristiwa menyedihkan di sekitar kita seperti meletusnya perang atas nama agama, jihad, dan berbagai teror.  Sebab bukankah hampir semua orang kini telah terbentuk suatu pandangan atau persepsi negatif bahwa “perang suci” memiliki konotasi dengan berbagai kekejian terhadap kemanusiaan seperti pemotongan leher, pemerkosaan dan pembantaian masaal atas nama Tuhan? Ternyata makna Allah bangkit berperang yang disaksikan dalam Mazmur 68 sama sekali tidak dinyatakan dalam bentuk suatu peperangan fisik antara suatu umat yang menganggap dirinya sebagai “umat Allah” dengan umat lain yang dianggap sebagai “golongan kafir.”  Perang yang dilancarkan oleh Allah kepada para musuh yang membenci-Nya dinyatakan melalui hukuman alam. Apabila di Mazmur 68:8 menyatakan: “Ya Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umatMu, ketika Engkau melangkah di padang belantara”, maka di ayat 9, pemazmur kemudian menyambungnya dengan pernyataan: “bergoncanglah bumi, bahkan langit mencurahkan hujan di hadapan Allah; Sinai bergoyang di hadapan Allah, Allah Israel.” Jadi Allah yang bangkit berperang dalam pemikiran kitab Mzm. 68 sebenarnya untuk menunjuk hakikat Allah yang berkuasa  dengan tidak menggunakan kekuatan senjata dan militer dari para tentara umatNya. Sebab Allah lebih memilih menggunakan kekuatan alam untuk menyatakan kekudusanNya, yaitu dengan peristiwa gempa bumi dan langit yang mencurahkan hujan deras. Tampaknya pemazmur ingat peristiwa pada zaman Nuh yang mana Allah menghukum umat manusia dengan air bah dan juga kehadiran Allah di gunung Sinai dengan guntur dan halilintar. Tetapi pada saat yang sama “hukuman alam” seperti gempa dan hujan yang deras tidak senantiasa berakibat destruktif. Gempa bumi dan hujan yang deras juga dipakai untuk memulihkan keadaan tanah padang gurun yang gersang sehingga mahluk hidup dan orang-orang yang tertindas dapat kembali memperoleh makanan. Itu sebabnya di Mazmur 68:10-11, pemazmur menyatakan: “Hujan yang melimpah Engkau siramkan, ya Allah; Engkau memulihkan tanah milik-Mu yang gersang, sehingga kawanan hewan-Mu menetap di sana; dalam kebaikan-Mu Engkau memenuhi kebutuhan orang yang tertindas, ya Allah.”  Ini berarti tindakan Allah yang bangkit berperang melawan para musuh-Nya pada hakikatnya tetap ditempatkan dalam koridor karya penyelamatan dan pemulihan Allah bagi umat-Nya.

Makna teologis ini menjadi sangat penting karena Allah yang berkenan menjadi Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada  mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan bukan muncul dari sosok “ilahi” yang bersifat kejam dan menyukai peperangan. Gambaran Allah bernama “Yahweh” (TUHAN) tidak identik dengan “allah” yang memotivasi  dan memberi inspirasi para pelaku teror dalam berbagai “perang suci.” Sebaliknya “peperangan” melalui alam yang diselenggarakan oleh Allah pada hakikatnya untuk menghasilkan karya penyelamatan dan pemulihan bagi setiap umatNya. Allah berkenan menjadi Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta tawanan karena Dia tetap konsisten menyelamatkan kehidupan dan masa depan mereka. Walaupun Dia selalu dilukai oleh para musuh dan umatNya, namun Allah tetap mau menanggung segenap penderitaan dan kesakitan kita. Itu sebabnya di Mazmur 68:20-21, pemazmur menyatakan: “Terpujilah Tuhan! Hari demi hari Ia menanggung bagi kita; Allah adalah keselamatan kita. Allah bagi kita adalah Allah yang menyelamatkan, ALLAH, Tuhanku, memberi keluputan dari maut.”  Dengan demikian predikat “Allah yang bangkit berperang” tetap terkait erat dengan “Allah yang menyelamatkan” atau “Allah yang meluputkan dari maut.” Kalau toh dalam kasus-kasus tertentu Allah “berperang” untuk membinasakan para musuh-Nya adalah karena Dia berperang untuk menjaga dan melindungi setiap umat yang lemah dan tertindas.  Dalam hal ini Allah senantiasa memosisikan diri-Nya sebagai Hakim yang adil sehingga Dia akan membalas setiap perbuatan orang yang jahat, keji dan kejam. Tetapi bagi setiap orang yang tertindas Allah justru berkenan memposisikan diri-Nya sebagai seorang “Bapa” (Father) bagi setiap orang yang “tanpa ayah” (fatherless), pelindung bagi para janda dan orang-orang yang sebatang kara serta yang menjadi tawanan. Jadi dalam konteks ini Allah yang bangkit berperang justru menjadi penyampai kabar baik yang menyelamatkan umat yang tertindas: “Tuhan menyampaikan sabda; orang-orang yang membawa kabar baik itu merupakan tentara yang besar” (Mzm. 68:12).

Karena itu ketika kita menderita dan mengalami penganiayaan, kita harus senantiasa bersedia untuk koreksi diri yaitu apakah penderitaan yang kita alami tersebut karena kita telah berlaku benar, jujur, taat dan setia kepada kehendak Allah serta memberlakukan kasihNya; ataukah penderitaan kita tersebut karena akibat perbuatan dosa kita sendiri. Apabila penderitaan tersebut diakibatkan karena sikap integritas dan kredibilitas iman kita maka Allah akan memposisikan diriNya sebagai seorang Bapa dan pelindung bagi setiap orang yang tertindas. Tetapi apabila penderitaan tersebut disebabkan karena perbuatan dan tingkah-laku kita yang sewenang-wenang, kejam dan jahat kepada sesama maka sesungguhnya Allah akan bangkit berperang melawan diri kita. Itu sebabnya di Surat I Petrus 4:15-16, Firman Tuhan berkata: “Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.”  Sayangnya saat kita mengalami penderitaan, kita sering mengalami kerancuan sehingga kita tidak tahu secara persis apakah penderitaan yang kita alami karena kita menjadi korban (victim) ataukah kita sebagai penyebab orang lain menjadi korban (evildoer). Sehingga apapun penderitaan yang kita alami karena hal yang baik atau buruk, kita sering menjadikan Tuhan sebagai seorang Bapa dan pelindung. Padahal pemikiran semacam ini mengandung bahaya. Apakah ini berarti Tuhan juga kita jadikan sebagai seorang Bapa dan pelindung untuk segala keburukan dan kejahatan kita, sehingga Dia harus membela dan membenarkan segala tindakan kita yang tidak terpuji? Mazmur 68:6-7 jelas menyatakan bahwa Allah akan bangkit berperang untuk melawan setiap musuh-musuhNya yaitu orang-orang yang menindas setiap orang yang lemah dan tertindas. Sebab sebagai Allah yang kudus, Dia akan memposisikan diriNya sebagai pembela dan seorang Bapa yang melindungi setiap umat yang tidak berdaya, kaum marginal, dan minoritas (“sebatang kara”).

Ketika Tuhan Yesus berdoa di taman Getsemani, Injil Yohanes mengungkapkan kepedulian Tuhan Yesus terhadap para murid dan orang percaya ketika Dia tidak lagi bersama dengan mereka, yaitu: “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.” Dalam doaNya tersebut, Tuhan Yesus mohon kepada Allah agar para  murid dan orang-orang yang percaya kepada Dia dipelihara dalam nama Allah. Bagi umat percaya, makna “nama Allah” bukan sekedar untuk menunjuk suatu identitas ilahi yaitu Allah yang bernama “YAHWEH.” Tetapi mereka mengimani bahwa dalam “nama Allah” tersedia perlindungan dan keselamatan. Itu sebabnya di kitab Amsal, Firman Tuhan berkata: “Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia mendapat selamat” (Ams. 18:10).  Jadi “nama Tuhan” digambarkan seperti sebuah menara yang umumnya berhubungan pula dengan benteng yang waktu itu tinggi dan kuat, sehingga setiap orang yang masuk dalam benteng dan menara tersebut dia akan selamat dari bahaya kematian. Umat percaya kepada Kristus dan yang hidup benar namun mereka dianiaya dijanjikan oleh Kristus untuk dilindungi dalam nama Allah. Sebab pada hakikatnya Kristus datang ke dalam dunia ini dalam nama Allah BapaNya. Yohanes 5:43 berkata: “Aku datang dalam nama BapaKu ….” Karena itu setiap umat percaya kepada Kristus dan mengalami perlakuan yang sewenang-wenang dari kuasa dunia ini akan mengalami penyertaan dan perlindungan dari Kristus. Jadi doa Tuhan Yesus tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang Kristen yang hidup benar namun mereka berada di posisi yang lemah dan tertindas. Itu sebabnya dalam doaNya tersebut Tuhan Yesus tidak berdoa untuk dunia tetapi untuk setiap orang yang percaya: “Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu” (Yoh. 17:9).

Jika demikian, tugas panggilan kita sebagai umat percaya kepada Kristus sangat jelas yaitu menjadi kawan sekerja Allah. Sebagai kawan sekerja Allah, kita dipanggil menjadi alat di tangan Allah untuk membela setiap orang yang tertindas dan lemah. Dalam praktik hidup, kelompok orang-orang yang tertindas dan lemah ternyata tidak mengenal batasan agama, suku, etnis, kemampuan finansial, pendidikan, adat-istiadat dan budaya serta kategori usia. Artinya orang-orang yang tertindas tersebut dapat menunjuk kepada orang-orang yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda etnis dan kategori usia atau pendidikan di setiap budaya apapun. Karena itu apapun keadaan dan latar-belakang mereka, Allah akan peduli untuk menjadi seorang Bapa dan pelindung bagi mereka yang tertindas. Ini berarti Allah akan bangkit berperang melawan umatNya sendiri manakala mereka menjadi para penindas dan para pelaku kejahatan.  Dengan demikian musuh-musuh kita secara objektif dan faktual sangatlah jelas yaitu: sebagai kawan sekerja Allah kita menentang setiap kebencian dalam bentuk apapun, kekerasan dalam bentuk apapun, perlakuan kejam dalam bentuk apapun, diskriminasi dalam bentuk apapun, perlakuan tidak adil dalam bentuk apapun, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun. Kita juga menentang semua “klaim” keagamaan atau wahyu ilahi apapun untuk membenarkan penderitaan dan kesengsaraan orang lain.  Itu sebabnya selaku kawan sekerja Allah di dalam Kristus kita menentang semua bentuk ungkapan dan tindakan yang didasari oleh “superioritas” keagamaan, suku, etnis, pendidikan dan posisi sosial untuk menindas kelompok lain atau sesama. Selaku kawan sekerja Allah di dalam Kristus pada hakikatnya kita merindukan dan terus memperjuangkan keadilan,  perlindungan hidup, perdamaian, keutuhan ciptaan dan cinta-kasih yang tidak mengenal batas. Bila demikian, bagaimana sikap dan posisi etis saudara? Apakah saudara berada di posisi orang yang tertindas atau sebagai penindas? Apakah kita berperan sebagai kawan sekerja Allah ataukah sebagai musuh-musuh Allah? Namun apabila kita berada di posisi yang tertindas karena integritas iman dan sikap kasih kita, yakinlah bahwa Allah akan melindungi dan menjaga kita karena Dia adalah Bapa bagi  setiap orang yang lemah dan menjadi pelindung bagi mereka yang tidak berdaya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Kasih Karunia Allah Di Dalam Penderitaan (Kis. 2:41-47; Mzm. 23; 1Petr. 2:18-25; Yoh. 10:1-10)

$
0
0

Realitas penderitaan umat percaya yang dikemukakan di I Petrus 2:18-25 sangatlah khusus dan unik. Sebab penderitaan tersebut dialami oleh orang-orang Kristen yang waktu itu berlatar-belakang dari golongan ekonomi yang sangat miskin; bahkan tepatnya surat I Petrus 2:18-25 ini ditujukan kepada mereka yang telah tidak memiliki apapun. Karena orang-orang Kristen yang dimaksud adalah mereka yang saat itu berstatus sebagai para budak; yang mana hak hidup mereka telah dirampas dan dicabut secara paksa oleh tuan mereka. Itu sebabnya orang-orang Kristen atau siapapun yang menjadi budak pada zaman itu pada prinsipnya telah kehilangan hak untuk hidup dan masa depan mereka. Dari catatan sejarah kita dapat melihat gambaran tentang perlakuan-perlakuan yang sangat tidak manusiawi dan kejam terhadap mereka yang berstatus sebagai budak. Sebab mereka dapat dianiaya, dipukuli, dipaksa bekerja keras yang melampaui  batas-batas normal dan dapat diperjual-belikan  oleh tuan mereka kepada orang lain tanpa ada orang yang dapat membela atau melindungi diri mereka. Karena itu orang-orang yang menjadi budak pada zaman itu sama sekali tidak memiliki lagi hak bagi hidup mereka sendiri, tetapi mereka hidup hanyalah untuk menghidupi dan melayani orang lain yang menjadi majikan mereka. Jadi mereka tidak pernah menerima upah apapun walau mereka telah bekerja keras, membanting tulang dan mengerahkan seluruh tenaga dan waktu sepanjang hidup mereka. Apabila mereka suatu saat bertindak melawan karena tidak tahan terhadap perlakuan para majikan yang kejam itu, maka mereka akan mendapat hukuman siksaan yang sangat keji. Banyak foto-foto dokumentasi sejarah yang memperlihatkan hukuman yang sangat keji terhadap para budak yang berani memberontak, melawan atau mereka yang melarikan diri dari para tuannya tetapi kemudian mereka dapat tertangkap kembali. Para budak ini akan dipaksa untuk memanggul beban yang sangat berat di atas kepalanya, tubuh mereka akan diikat dan digantung pada tiang gantungan, atau mereka akan mendapat cambukan di punggung secara bertubi-tubi sehingga menimbulkan bekas bilur-bilur yang dalam. Saat itu belum ada hukum atau peraturan yang dapat menjerat para tuan/majikan yang berlaku bengis dan kejam terhadap para  budaknya. Sebab hukum yang ada justru melindungi para tuan/majikan untuk memperlakukan para budak sesuka hatinya.

Di tengah-tengah situasi perbudakan yang demikian, rasul Petrus memberi nasihat kepada para budak yang menderita dianiaya oleh para tuannya, demikian: “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis” (I Petr. 2:18).  Rasul Petrus menasihati agar para budak yang menjadi anggota jemaat dan mengikut Kristus mau tetap bersikap hormat, mau tunduk dan tidak melawan kepada tuan mereka baik kepada tuan yang berlaku ramah  atau yang murah hatinya maupun kepada tuan yang berlaku bengis. Bagaimana kesan dan pendapat saudara terhadap perkataan rasul Petrus tersebut? Bukankah nasihat dari rasul Petrus tersebut sepertinya mendukung perbudakan? Apakah gereja Kristen perdana memang secara sengaja mendukung perbudakan, dan tidak mengadakan perlawanan kepada sistem perbudakan yang sangat jelas tidak sesuai dengan berita Injil Yesus Kristus yang membebaskan? Atau dengan perkataan lain, mengapa para rasul dan gereja perdana tidak memberi perlawanan sengit terhadap sistem perbudakan dan membela para  budak yang telah lama hidup menderita? Malahan di I Petrus 2:19, rasul Petrus menyatakan: “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar  akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.”  Nasihat rasul Petrus ini cukup mengejutkan, bukan? Sebab kepada para budak yang telah hidup sangat menderita akibat paksaan untuk bekerja melampaui harapan dan kemampuan serta deraan yang tidak manusiawi dari para tuannya itu justru mereka diminta oleh rasul Petrus untuk menghayati penderitaannya sebagai kasih karunia Allah. Para budak dalam konteks ini diminta oleh rasul Petrus untuk rela menanggung penderitaan mereka sebagai bagian dari kehendak Allah. Apakah ini berarti status sebagai budak  dan sistem perbudakan pada zaman itu dihayati oleh para rasul dan gereja perdana sebagai wujud dari bagian kehendak Allah?

Nasihat rasul Petrus agar umat percaya yang berstatus sebagai budak untuk menghayati penderitaan mereka sebagai bagian dari kehendak Allah dan kasih karuniaNya pada hakikatnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegitimasi  atau membenarkan sistem perbudakan yang berlaku pada zaman itu. Tekanan utama dari I Petrus 2:18-25 adalah bagaimana mereka dalam keadaannya, termasuk dalam status sebagai seorang budak yang menderita, mereka tetap dapat meneladan sikap Tuhan Yesus pada saat Dia diperlakukan secara kejam dan tidak adil. Rasul Petrus berkata: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya” (I Petr. 2:21). Fokus utama dari I Petrus 1:18-19 merupakan panggilan selaku umat percaya, agar para budak yang menderita itu tetap hidup seperti Kristus yang telah menderita dan wafat di atas kayu salib. Umat percaya yang saat itu berstatus sebagai para budak dipanggil untuk memiliki spiritualitas Kristus, yaitu agar mereka sungguh-sungguh mengikuti jejak dan pola kehidupan Kristus (“Imitatio Christi”). Sifat utama dari Kristus saat Dia menderita adalah: “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”(1Petr. 2:33). Di tengah-tengah pergumulan, penderitaan dan kematianNya Kristus tetap menampilkan integritas diriNya yang sempurna. Pada saat Tuhan Yesus diperlakukan secara kejam dan tidak adil, Dia tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, caci-maki yang dilontarkan oleh para musuhNya dengan caci maki, pukulan dari para lawanNya dengan pukulan dan nyawa dengan nyawa. Intinya ciri dari seluruh kehidupan Tuhan Yesus adalah: “Ia tidak berbuat dosa” (1Petr. 2:22), ketika Ia diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah menampilkan sosok diri dari “Hamba Tuhan yang menderita” (Yes. 52) dan yang mampu menghadapi setiap penderitaan dan kematianNya dengan kasih yang sangat sempurna. Bahkan selaku “Hamba Tuhan yang menderita”, Tuhan Yesus bersedia menderita dan wafat agar “oleh bilur-bilurNya kita semua menjadi sembuh” (1Petr. 2:24). Jadi sangat jelas bahwa nasihat surat I Petr. 2:18-25 adalah agar anggota jemaat yang berstatus sebagai para budak dapat hidup secara berkualitas dalam spiritualitas Kristus di tengah-tengah pergumulan dan penderitaannya. Ini berarti tekanan utama dari surat I Petrus 2 :18-25 adalah bagaimana umat percaya tetap mampu menghayati panggilan hidup yang berspiritualitas dan berintegritas dalam iman kepada Tuhan Yesus, walau mereka secara duniawi berstatus sebagai para budak yang direndahkan oleh manusia.

Kecenderungan manusia pada saat dia mengalami penderitaan dan perlakuan tidak adil atau kejam adalah keinginan dan hawa nafsu untuk membalas dan melakukan tindakan yang sama kepada si pelaku. Hukum “gigi ganti gigi” dan “mata ganti mata” telah menjadi dorongan instingtif manusia sepanjang zaman. Dorongan instingtif tersebut kemudian dilegitimasikan oleh berbagai ideologi, budaya, adat-isitiadat, filosofi bahkan sistem pengajaran agama sehingga penyelesaian terhadap kejahatan sepanjang perjalanan sejarah manusia senantiasa diwarnai kekerasan dan balas dendam. Dalam iman Kristen realitas kejahatan, kekejaman, ketidakadilan dan kekerasan diyakini tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sama pula. Itu sebabnya sikap Kristus sepanjang hidupNya tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan; tetapi Dia senantiasa membalas kepada si pelaku kejahatan dengan kasih, kesabaran, dan kesediaan untuk berkorban. Demikian pula anggota jemaat yang pada waktu itu berstatus sebagai para budak yang kerap dianiaya dan diperlakukan secara tidak adil oleh para tuan mereka; mereka dipanggil untuk senantiasa meneladan sikap Tuhan Yesus. Mereka dipanggil untuk kaya dalam kasih dan sabar menderita seperti yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus; tetapi dengan suatu keyakinan yang kokoh, yaitu: “menyerahkan kepada Allah yang akan menghakimi dengan adil” (1Petr. 2:23).  Jadi realitas ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi dalam kehidupan ini tidak pernah diterima oleh umat percaya secara pasif  atau dianggap sebagai nasib buta (sikap pasrah “bongkokan”). Tetapi umat percaya senantiasa mengembalikan segala realitas yang tidak adil dan kejam tersebut kepada keadilan Allah. Dalam sikap iman, mereka percaya bahwa Allah adalah Hakim yang adil, dan yang akan membalas segala kejahatan dan kekejaman yang telah dilakukan manusia kepada sesamanya.  Di Roma 12:19, rasul Paulus berkata: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, Firman Tuhan.”  Dengan pemahaman ini menjadi sangat jelaslah bahwa iman Kristen yaitu para rasul dan jemaat perdana tidak pernah melegitimasi atau menyetujui status dan sistem perbudakan yang berlaku pada zaman itu. Justru sebaliknya umat yang percaya kepada Kristus di tengah-tengah situasi yang buruk tetap tidak mau terjebak pada sikap duniawi yang lebih cenderung membalas kejahatan dengan kejahatan, sikap kejam dengan kekejaman, perlakuan tidak adil dengan ketidakadilan. Iman kepada Kristus menyadarkan umat percaya sepanjang zaman, yaitu bahwa hanya kasih Allah yang rela berkorban akan mampu mengubah setiap sistem dan pola kehidupan yang buruk. Walau kasih Allah tersebut tidak akan segera memperbaiki keadaan, tetapi perlahan-lahan namun pasti suatu saat kasih Allah akan berhasil mentransformasi segala situasi yang jahat dan buruk.

Dari pembahasan di atas kita dapat melihat bahwa kualifikasi penderitaan yang sesuai dengan kasih karunia Allah manakala umat yang menderita itu berada di posisi sebagai korban (victim). Allah akan melimpahkan kasih karuniaNya kepada umat yang diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil. Sebab “mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar dan telingaNya kepada teriak mereka minta tolong; wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat” (Mzm. 34:16).  Jadi Allah tidak pernah berpihak kepada para pelaku kejahatan, yaitu orang-orang yang menimbulkan penderitaan dan kesusahan bagi sesamanya. Sehingga apabila para pelaku kejahatan tersebut menderita, maka penderitaan mereka pada hakikatnya merupakan hukuman dan murka Allah. Namun sayangnya dalam realita hidup kita sering  mengalami kerancuan kualifikasi antara “orang yang menjadi korban” dengan “pelaku kejahatan”. Problem ini terjadi karena para pelaku kejahatan merasa telah berlaku “benar” dan “berkenan di hadapan Allah”. Itu sebabnya para pelaku kejahatan tesebut menghayati penderitaan mereka sebagai “kehendak Allah”. Padahal faktanya di hadapan sesamanya mereka telah berlaku bengis, kejam, berlaku jahat, culas, licik dan gemar menghalalkan segala macam cara. Keburukan dan kejahatan mereka kemudian makin menjadi-jadi sebab mereka tidak pernah jujur terhadap diri sendiri, yaitu tetap merasa diri sebagai “orang benar” dan “berkenan di hadapan Allah.” Karena itu mereka tidak pernah bertobat dan menyesali perbuatannya walaupun akibat kejahatan mereka telah begitu jelas di hadapan mata banyak orang. Tipe orang-orang yang demikian umumnya kaya dengan berbagai dalih dan pembenaran diri. Selain itu mereka juga sangat lihai untuk mengkambinghitamkan orang lain agar seluruh kesalahan dan keburukan mereka tidak pernah terungkap. Orang-orang demikian pada hakikatnya merupakan musuh bagi kebenaran dan kemanusiaan. Sebab untuk pembenaran diri, mereka juga tidak segan untuk memutar-balikkan semua fakta dan bukti. Kita tidak dapat membayangkan jikalau para pelaku kejahatan itu memiliki otoritas yang tinggi dan berpengaruh bagi masyarakat. Pastilah keadaan masyarakat atau orang banyak akan lebih menderita dengan sikap para pemimpin yang memiliki watak yang jahat tetapi selalu merasa diri benar dan saleh. Tetapi sejarah juga mencatat bahwa setiap pelaku kejahatan tidak pernah diberkati oleh Tuhan secara spiritual, yaitu damai-sejahtera. Mereka tidak pernah mengalami makna penyertaan Tuhan yang menentramkan sebagaimana yang diungkapkan oleh pemazmur, yaitu: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku, Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia  menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oeh karena namaNya” (Mzm. 23:1-3). Mereka mungkin mampu menutupi semua kesalahan dan kejahatan mereka di hadapan orang banyak, tetapi mereka tidak dapat menyembunyikannya di hadapan Tuhan. Itu sebabnya mereka selalu hidup dalam kecemasan, perasan takut, dikejar-kejar oleh hukuman Allah dan gelisah. Mereka kehilangan anugerah yang sangat besar yaitu perasaan damai-sejahtera dan keselamatan dari Allah. Sebab mereka telah memposisikan diri sebagai musuh-musuh Allah dan musuh bagi sesamanya.

Sebaliknya anggota jemaat yang sering diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka hidup menderita; anggota jemaat tersebut justru memperoleh kekayaan spiritualitas, berkat dan kasih Allah dalam persekutuan anggota jemaat. Walau jemaat perdana umumnya hidup dalam kesusahan dan penderitaan, tetapi mereka telah saling belajar untuk memberi dan peduli, yaitu: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis. 2:42). Penderitaan yang dialami oleh anggota jemaat dihadapi dengan kesehatian, kepedulian, doa dan kasih yang dilandasi oleh pengajaran rasul-rasul. Mereka tidak pernah membuat perlawanan secara fisik dan kekuatan senjata. Secara jasmaniah mereka dipandang rendah, dilecehkan dan tubuh fisik mereka dapat dilukai oleh kuasa dunia ini; tetapi dalam iman kepada Kristus mereka memperoleh kekayaan rohani yang membuat mereka mampu bersukacita. Itu sebabnya Kis. 2:46 melukiskan suasana “syaloom” kehidupan jemaat perdana: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah”. Inilah rahasia kehidupan iman Kristen, yaitu tetap mampu bersukacita dengan hati yang tulus walaupun mereka sedang dilanda oleh berbagai kesusahan dan penderitaan yang sangat berat. Dari sudut status sosial mereka mungkin adalah para budak yang telah kehilangan kebebasan dan masa depan. Tetapi dari sudut iman, mereka adalah para hamba-hamba Kristus yang telah dibebaskan dari kuasa dunia sehingga mereka diperkenankan oleh Allah untuk menikmati kekayaan kasih dan berkat-berkatNya. Jadi siapakah yang “kaya” dalam arti yang sesungguhnya, yaitu: Para tuan yang telah mendera atau menyiksa para budaknya, ataukah para budak yang telah menemukan kekayaan kasih Allah di dalam Kristus?  Para tuan pemilik budak umumnya orang-orang yang sangat kaya dan dihormati banyak orang; tetapi mereka kehilangan damai-sejahtera dan berada di bawah hukuman Allah. Sedang para budak umumnya hidup serba miskin, dihina, dan selalu hidup menderita tetapi di dalam iman kepada Kristus mereka telah memperoleh anugerah keselamatan dan sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Betapa sering kehidupan kita seperti para tuan pemilik budak itu. Kita mungkin memiliki banyak hal dan sering mengeksploitasi sesama tanpa perasaan kasih. Dalam hal ini kita berhasil menumpuk kekayaan dari penderitaan dan air mata orang lain. Tetapi apakah kita sungguh-sungguh bahagia? Justru fakta juga membuktikan orang-orang yang telah dieksploitasi tadi ternyata sering memiliki kekayaan spiritualitas yang lebih unggul dan bermakna dari pada diri kita, sebab mereka lebih bersandar kepada pertolongan dan keadilan Allah. Jika demikian, di manakah posisi kita saat ini berada? Apakah kita menderita karena menjadi korban, ataukah kita menderita akibat kelakuan kita yang jahat? Ingatlah nasihat dari Firman Tuhan, yaitu: “Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah” (1Petr. 2:20).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono


Memuliakan Kristus Dengan Mata Hati Yang Terang (Kis. 1:1-11; Mzm. 47; Ef. 1:15-23; Luk. 24:44-53)

$
0
0

Seringkali umat Kristen terjebak dalam perdebatan teologis, seperti: apakah Kristus bangkit dengan tubuh atau Roh-Nya. Hasilnya ada sebagian orang yang memilih di antara dua pemahaman tersebut, yaitu mereka yang percaya kebangkitan Kristus dengan tubuhNya, dan ada juga yang percaya Kristus bangkit dengan Roh-Nya saja. Demikian pula dengan masalah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga. Sebagian besar menyatakan Kristus naik ke sorga dengan tubuh-Nya, dan sebagian lainnya percaya Kristus naik ke sorga dengan Roh-Nya. Tentunya semua pemahaman teologis tersebut memiliki dasar dan alasan yang cukup kuat sehingga masing-masing pihak merasa mampu mempertanggungjawabkan dengan penuh keyakinan dan argumentasi yang dianggap alkitabiah. Tetapi apakah semua perdebatan atau percakapan tersebut mampu membawa umat atau setiap orang yang terlibat untuk mengalami “pencerahan” yang makin memperteguh iman dan kasihnya kepada Kristus?

Perdebatan teologis seharusnya ditempatkan dalam kerangka dan upaya agar kehidupan spiritualitas kita terus-menerus diperkaya oleh kekayaan iman dan kasih; sehingga kita mampu mengalami pembaharuan hidup yang telah dikerjakan secara sempurna oleh Kristus dalam kematian-Nya di atas kayu salib, yang kemudian diperteguh oleh kuasa kebangkitan-Nya serta Kristus yang telah dimuliakan Allah dalam kenaikan-Nya ke sorga. Ini berarti yang dimaksudkan dengan “pencerahan” dengan paradigma baru berkaitan dengan proses pembaruan hidup, sehingga setiap orang percaya mampu melihat realitas kehidupan ini dengan lensa iman dan kasih kepada Allah dan sesama. Karena betapa sering kita hanya dapat membaca atau melihat realitas kehidupan ini dengan mata inderawi atau sekedar fisik belaka sehingga kita sering gagal memberikan tafsiran dan kesimpulan yang lahir dari sikap iman dan kasih. Tafsiran atau sudut pandang atas realitas hidup yang tidak didasari oleh iman dan kasih kepada Kristus yang telah wafat dan dimuliakan oleh Allah ke sorga hanyalah akan melahirkan suatu tafsiran yang sangat dangkal dan simplistik, bahkan menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh Firman Tuhan.

Sebelum Tuhan Yesus pergi meninggalkan para murid-Nya, Kristus terlebih dahulu menyatakan diri bahwa Dia sungguh-sungguh hidup: “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Luk. 24:39). Iman para murid dan gereja perdana tidak didasarkan kepada kisah mitos tentang kebangkitan Kristus. Sebab kepercayaan para murid dan gereja perdana pada hakikatnya didasari oleh pengalaman iman yang faktual. Namun perlu diingat bahwa yang menentukan para murid dan gereja perdana yang akhirnya mereka dapat percaya atau mengimani Kristus yang bangkit bukan terjadi karena kekuatan manusiawi atau daya analitis teologis mereka. Sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Dia terlebih dahulu memberi pengajaran kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”

Iman para murid dibentuk oleh pengajaran dari Kristus yang bangkit; sehingga mereka dimampukan untuk mengerti bahwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah sebagaimana telah dinubuatkan oleh Musa, pemazmur dan para nabi. Seandainya peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh kitab-kitab Musa, kitab Mazmur dan kitab para nabi maka segala peristiwa tersebut sebenarnya tidak memiliki makna apapun sebab tidak menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Itu sebabnya di Luk. 24:45 menyaksikan, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka: “Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (NKJV: “And He opened their understanding, that they might comprehend the Scriptures”). Para murid dan gereja perdana dapat percaya karena Kristus yang bangkit telah memberikan pengajaran dan Dia pula telah membuka pikiran serta pengertian mereka sehingga mereka dapat mengerti makna Firman Tuhan yang telah dinubuatkan oleh Kitab Suci.

Selaku umat percaya, pada saat ini kita juga membutuhkan karya Kristus yang “membuka dan menyingkapkan pikiran” sehingga kita dimampukan untuk mengerti makna kebenaran Firman Tuhan. Sebab manakala pikiran dan pengertian kita tertutup oleh kebenaran kita sendiri, maka segala bentuk karya dan penyataan Allah yang paling spektakuler sekalipun tidak akan mampu membuat kita secara otomatis percaya dan mengalami pembaharuan hidup. Jadi tidak dijamin orang-orang yang telah mengalami peristiwa “mukjizat” atau “supernatural” senantiasa dapat lebih dekat dan mengasihi Kristus serta mengalami pembaharuan hidup. Demikian pula peristiwa penampakan Kristus yang bangkit atau kenaikanNya ke sorga tidak secara otomatis membuat orang-orang pada zaman itu menjadi lebih percaya dan hidup dalam pertobatan. Apabila mereka memiliki paradigma teologis bahwa tubuh Kristus saat Dia menjadi manusia sebagai suatu esensi yang kotor atau berdosa (misalnya karena pengaruh filsafat “neo-platonisme”), maka pastilah mereka tidak akan menerima kemungkinan peristiwa kebangkitan dan kenaikan Kristus dengan tubuh jasmaniah-Nya. Karena itu tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah Kekristenan kemudian berkembang pula golongan “Gnostik” yang intinya menolak kebangkitan dan kenaikan Kristus ke sorga dengan tubuh-Nya.

Pemikiran dari golongan Gnostik tersebut kemudian menjadi berbagai sekte Kristen yang berkembang di Mekkah dan Medinah sekitar abad VI-VII M. Sumber-sumber dari kelompok sekte dengan “injil apokrif” inilah yang tampaknya diambil alih tetapi juga beberapa bagian dari pemikiran “injil apokrif” dikritisi dalam pemikiran teologis Islam. Itu sebabnya muncul berbagai versi mengenai peristiwa kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus. Masing-masing versi tersebut menganggap pandangan teologisnya sebagai yang paling benar. Setiap kelompok dengan versinya memiliki alasan atau argumentasi teologisnya. Jadi tanpa dibukakan dan disingkapkan oleh Kristus sendiri sebagai sumber kebenaran, maka kita akan menjadi orang-orang buta yang menganggap dirinya paling benar dengan apa yang kita yakini. Seperti 5 orang buta yang memegang seekor gajah dan memberikan tafsirannya masing-masing: ada yang menganggap gajah sebagai hewan dengan bentuk kipas karena dia memegang telinganya, ada yang menganggap gajah seperti ular besar karena dia memegang belalainya, ada yang menganggap gajah seperti pohon karena dia memegang kakinya, ada yang menganggap gajah seperti pedang yang melengkung karena dia memegang gadingnya, dan ada yang menganggap gajah seperti kemucing (alat pembersih dari bulu) karena dia memegang ekornya.

Apabila di Injil Lukas menyaksikan tindakan Tuhan Yesus yang “membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45), maka rasul Paulus mendoakan jemaat Tuhan demikian dengan gagasan yang hampir serupa, yaitu: “supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Doa rasul Paulus adalah agar setiap jemaat Tuhan dikaruniakan 3 hal yang utama agar mereka dapat mengenal kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga, yaitu:

– Roh hikmat (pneuma sophias): yang menunjuk kepada karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti rahasia dan kehendak Allah tentang jati-diri Kristus sebab rahasia dan kehendak Allah yang dinyatakan di dalam diri Kristus melampaui kemampuan pikiran dan kehendak manusia. Sebab pikiran dan akal budi manusiawi tidaklah mungkin dapat menjangkau rahasia Kristus yang ilahi dan mulia serta yang ditentukan oleh Allah sebagai penguasa hidup umat manusia.

– Wahyu (apokalupsis): dalam pemahaman iman Kristen, kebenaran ilahi bukan ditentukan sebagai upaya dan prestasi rohani manusia; tetapi kebenaran ilahi ditentukan oleh kesediaan Allah menyingkapan diriNya. Sehingga dengan penyingkapan diri Allah tersebut, manusia diperkenankan untuk mengenal rahasia dan kemuliaan Allah berdasarkan kasih-karuniaNya. Jadi tanpa anugerah berupa wahyu Allah, manusia tidak mungkin dapat mengenal Kristus dan percaya kepadaNya.

– Mata hati yang terang (pephotismenous tous ophthalmous tes kardias): suatu ungkapan dengan tekanan makna kepada sikap hati manusia. Sebab makna “hati” dalam pemikiran teologia umat Israel menentukan seluruh orientasi dan tujuan hidup manusia serta menentukan pula keputusan etis sebagai prinsip-prinsip nilai yang menentukan kualitas hidup. Namun manakala hati tersebut belum memperoleh “penerangan” atau “pencerahan” dari Allah, maka “hati” juga dapat membawa manusia kepada sikap yang memberontak dan melawan kehendak Allah. Itu sebabnya muncul ungkapan “hati yang keras” atau mengeraskan hati seperti yang dilakukan oleh Firaun. Walaupun Firaun telah melihat begitu banyak mukjizat Allah namun dia tetap mengeraskan hati (Kel. 8:19), sehingga Allah kemudian menghukumnya.

Ketiga pola tersebut di atas pada prinsipnya saling melengkapi dan mempengaruhi kehidupan umat percaya. Apabila umat percaya diberi karunia berupa roh hikmat dan wahyu dari Tuhan, maka pastilah mereka akan memiliki mata hati yang terang untuk merespon penyataan Allah dalam Kristus. Sebaliknya apabila spiritualitas mereka makin terbuka karena mereka telah memiliki mata hati yang terang, maka pastilah mereka akan mudah menyerap dan memahami secara tepat roh hikmat dan wahyu dari Tuhan. Jadi pola karunia roh hikmat dan wahyu serta mata hati yang terang merupakan kekayaan rohani yang dianugerahkan Allah dan selalu bersifat dinamis, sehingga setiap orang percaya dimampukan untuk mengalami suatu proses pertumbuhan yang semakin dalam terhadap Kristus. Karena itu apabila spiritualitas kita makin dipenuhi oleh roh hikmat dan wahyu serta mata hati yang terang, maka kita akan dimampukan untuk lebih mempermuliakan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.

Dalam realita kehidupan kita sering gagal untuk mempermuliakan Allah di dalam Kristus, sebab ibadah dan spiritualitas kita sering dipenuhi oleh roh duniawi dan kehendak manusiawi serta mata hati yang suram oleh karena berbagai permasalahan atau tekanan kehidupan. Akibatnya kita mudah bersikap pesimistis dengan hati yang suram apabila kita menghadapi berbagai hal yang mengecewakan atau hal-hal yang menyedihkan hati kita. Dalam sikap demikian kita sering jatuh dalam sikap putus-asa dan tidak lagi memiliki pengharapan apapun terhadap pertolongan Tuhan. Itu sebabnya di Efesus 1:18 rasul Paulus berkata: “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Dalam konteks ini secara sengaja rasul Paulus mengkaitkan spiritualitas “mata hati yang terang” dengan sikap pengharapan. Sebab tanpa karunia Tuhan berupa mata hati yang terang sebagai hasil dari roh hikmat dan wahyu, maka pastilah kita akan dikuasai oleh perasaan putus-asa atau tanpa pengharapan. Bandingkan pula pengertian “mata” sebagai cermin “hati” atau spiritulitas dan kepribadian kita, yaitu: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:22-23).

Namun makna dari “melihat dengan mata hati yang terang” saat Kristus dipermuliakan dan naik ke sorga, bukanlah sekedar perasaan kagum dan terpesona. Ketika kita mengagumi atau terpesona dengan sesuatu hal umumnya wajah kita juga berseri-seri atau mata kita berbinar-binar. Pada saat para murid menyaksikan Tuhan Yesus yang terangkat ke sorga dan awan kemudian menutupiNya, mereka terus menatap ke langit. Mereka terpesona menyaksikan Kristus yang dimuliakan oleh Allah dengan mengangkat Dia ke sorga. Sikap para murid Tuhan Yesus tersebut sering menjadi cermin bagi banyak orang Kristen yang hanya terkagum-kagum oleh pengalaman “adikodrati” dan hal-hal yang menakjubkan tetapi mereka melalaikan tugas atau tanggungjawabnya di dunia ini. Mata mereka mungkin berbinar-binar saat mereka melihat berbagai hal yang langka dan menakjubkan tentang kehidupan “sorgawi”; tetapi mata hati mereka segera menjadi redup atau suram saat mereka harus berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan pahit. Kisah Para Rasul 1:10-11 berkata: “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga”. Para malaikat menegur sikap para murid Tuhan Yesus agar mata mereka tidak terus-menerus tertuju untuk menatap langit; tetapi mereka diingatkan untuk kembali ke dunia realitas mereka dan melakukan tugas panggilan sambil menantikan kedatangan Kristus kembali. Jadi makna “mempermuliakan Kristus dengan mata hati yang terang” bukanlah dengan cara melarikan diri (escaping) ke realitas “sorgawi” atau “dunia rohani”; tetapi justru kita harus berani menghadapi realiatas faktual namun dengan perspektif yang baru yaitu pembaharuan hidup oleh kuasa ROH KUDUS. Itu sebabnya sebelum Kristus naik ke sorga, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau ROH KUDUS turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).

Jika para murid Tuhan Yesus dan gereja perdana dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dengan kuasa ROH KUDUS, maka demikian pula kehidupan kita selaku umat percaya pada masa kini. Pembaharuan hidup sebagai buah dari ROH KUDUS haruslah kita wujudkan dalam suatu kesaksian yang nyata kepada orang-orang di sekitar kita. Dalam hal ini kita tidak mempermuliakan Allah dengan cara memberi “kesaksian-kesaksian rohaniah” yang serba menakjubkan atau betapa intimnya kita dengan Kristus sehingga kita dapat berbicara dan berjumpa secara eksklusif dengan Dia. Jenis kesaksian yang demikian patut diragukan kebenarannya, karena “ujung-ujungnya” kesaksian tersebut bertujuan untuk mempermuliakan diri sendiri dan mencari popularitas dengan simbol-simbol pengalaman religius. Sebab dengan kesaksian yang menakjubkan itu, sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa betapa penting dan istimewanya diri mereka sehingga mereka diperkenankan oleh Tuhan untuk melihat realitas “sorga” dan dapat mendengar suara Tuhan secara langsung. Tidaklah demikian sikap kita selaku jemaat Tuhan yang dewasa dan bertanggungjawab. Sebab makna dari tindakan mempermuliakan Allah perlu kita wujudkan dalam pembaharuan hidup, yaitu dengan cara menghadirkan kemuliaan Kristus melalui kejujuran yaitu integritas diri, kerajinan dalam bekerja, kesopanan dalam bertingkah laku, kepedulian dalam kasih kepada mereka yang menderita serta pengampunan kita kepada mereka yang bersalah. Manakala kita mempermuliakan Allah dan Kristus dengan pembaharuan hidup, maka pastilah kita telah mempermuliakan Dia dengan mata hati yang terang. Dengan spiritualitas yang demikian, kita akan terus diperkaya oleh Tuhan dengan roh hikmat dan wahyuNya sehingga mata hati kita akan makin dipertajam dan jeli untuk membedakan kehendak Allah dengan kehendak manusiawi; antara kepentingan Kristus dengan kepentingan diri sendiri sendiri; membedakan kebenaran dengan kebatilan. Jika demikian, bagaimanakah pola kita untuk mempermuliakan Allah dan Kristus dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita lebih cenderung menatap “ke atas” (dunia “rohaniah”) dan tidak peduli dengan tanggungjawab yang riel? Apakah kesaksian kita didasari oleh pembaharuan hidup atau sekedar kita fasih untuk beradu argumentasi yang sifatnya kognitif? Jadi apakah kehidupan kita saat ini telah mencerminkan kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Akar Segala Kejahatan adalah Cinta Uang (Yer. 32:1-3, 6-15; Mzm. 91:1-16; 1Tim. 6:6-19; Luk. 16:19-31)

$
0
0

Penghayatan hidup sebagai orang Kristen sering berada dalam situasi yang paradoksal. Pada satu pihak, prinsip utama dari iman Kristen adalah kita wajib mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi kita (Mat. 22:37-38); tetapi pada pihak lain kita dipanggil untuk bekerja dan mencari nafkah yang kita tahu adalah mencari uang (2Tes. 3:10). Paradoksal yang kedua adalah ucapan Tuhan Yesus di Luk. 16:13, yaitu: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”  Tuhan Yesus tersebut mau menyatakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah ketika kita menjadikan uang sebagai prioritas dalam kehidupan ini. Mungkin atas dasar pemikiran sekilas tersebut muncul suatu anggapan bahwa orang Kristen yang saleh adalah mereka yang hanya berdoa, membaca firman Tuhan dan memuji nama-Nya, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja mencari nafkah/uang. Benarkah ucapan Tuhan Yesus memiliki maksud yang demikian? Bila benar bahwa orang yang saleh atau berkenan di hadapan Allah adalah mereka rajin berdoa dan memuji nama Tuhan, maka dapat dimengerti apabila dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 Allah kemudian lebih membenarkan sikap Lazarus yang hidup miskin, dan menghukum orang kaya tersebut karena dia memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks pemikiran yang demikian, iman Kristen telah disalah-mengerti sebagai agama yang anti orang kaya dan lebih mendukung orang-orang yang hidup miskin. Tetapi apakah Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 memiliki maksud yang demikian?

Inti berita Lukas 16:19 melukiskan tingkah-laku orang kaya tersebut dengan gaya hidup yang ditandai oleh suasana pesta pora dan kemewahan setiap hari. Sementara di pintu gerbang rumahnya duduk seorang pengemis yang sangat miskin dan kelaparan bernama Lazarus. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh borok. Karena suatu keadaan Lazarus tidak mampu melindungi tubuhnya, sehingga borok-boroknya dapat dijilati oleh anjing setiap saat; padahal anjing dalam tradisi Israel dipandang sebagai binatang najis. Selain itu Lazarus hanya makan dari sisa-sisa roti yang dibuang di lantai. Dalam acara pesta di Israel pada zaman itu, tuan rumah sengaja menyediakan roti untuk dipakai sebagai alat pembersih tangan bagi para tamunya yang biasanya dipenuhi lemak makanan sehingga remah-remah roti tersebut berceceran di lantai. Setelah acara pesta selesai, remah-remah roti tersebut disapu untuk dibuang ke luar. Jadi remah-remah roti itulah yang dimakan oleh Lazarus. Tampaknya Lazarus telah lama tinggal di pintu gerbang, tetapi selama dia tinggal di situ hanya remah-remah roti pembersih tangan para tamu itulah yang dapat dia makan. Orang kaya tersebut tidak pernah peduli dengan penderitaan dan kemiskinannya. Mungkin orang kaya itu berpikir bahwa Allah telah menentukan Lazarus tetap miskin. Sebab bukankah Allah yang menentukan seseorang untuk menjadi kaya atau miskin, sehat atau sakit, hidup ataupun mati? Apabila Allah yang menentukan Lazarus tetap miskin, maka orang kaya tersebut berpikir bahwa dia sudah cukup “saleh” dan beramal banyak dengan membiarkan Lazarus tetap tinggal di pintu gerbang rumahnya serta dapat memperoleh makanan secara gratis dari remah-remah roti yang dibuangnya. Pesan utama dari kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sebenarnya bukan menyalahkan seseorang sukses dan menjadi kaya. Sebab bukankah para bapa leluhur Israel juga merupakan profil dari orang-orang yang sukses dan menjadi kaya? Abraham, Ishak dan Yakub tergolong orang-orang yang sukses dan kaya. Tetapi yang menjadi persoalan utama dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaannya; dan bagaimana pula seseorang memperlakukan sesamanya yang sedang menderita.

Ternyata orang kaya dalam perumpamaan tersebut menyikapi kekayaannya begitu intens. Itu sebabnya dia mengisi hidupnya tiada hari tanpa pesta yang serba mewah. Dia begitu lekat dengan kekayaan dan kemewahan. Secara konsisten dia telah mempratikkan untuk mengabdi kepada Mamon. Karena itu mata batinnya menjadi buta untuk merespons secara manusiawi keadaan Lazarus yang selama ini duduk di pintu gerbang rumahnya. Sikap orang kaya yang membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbang rumahnya bisa terjadi bukan karena orang kaya tersebut cukup bermurah hati. Sebab keadaan Lazarus yang hidup begitu miskin di pintu gerbang rumahnya, justru secara kontras dapat membuat rumah orang kaya tersebut tampak menjadi lebih mewah. Bukankah sikap orang kaya tersebut juga seperti kecenderungan beberapa orang yang secara sengaja memasang patung pemotong rumput yang sedang berjongkok membersihkan taman sebagai suatu hiasan belaka? Dengan kata lain, kemiskinan sesama juga dapat dipakai oleh beberapa orang sebagai suatu hiasan untuk memperindah rumah atau properti yang dimiliknya. Dalam konteks tersebut kita beranggapan bahwa Allah telah menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Jadi kalau dia miskin, bukan tanggungjawab kita untuk menolongnya. Bahkan kita merasa telah berbuat baik kepada orang miskin di dekat kita dengan memberikan beberapa potong roti dan tidak pernah mengganggu atau mengusirnya. Ketika kita lekat dengan harta milik atau kekayaan, maka batin dan hati kita menjadi buta untuk memperlakukan sesama secara lebih manusiawi. Sehingga kita merasa pemberian yang sifatnya karitatif sebagai bukti kepedulian dan kasih kita kepada sesama yang miskin dan sedang menderita. Akibatnya kita tidak pernah berupaya untuk memberdayakan sesama yang sedang menderita dan malang agar mereka juga dapat hidup secara pantas dan manusiawi.

Mungkin perumpamaan Tuhan Yesus tersebut dianggap terlalu sulit untuk dilaksanakan dan terlalu ideal bagi orang Kristen untuk memenuhinya. Tetapi sebenarnya perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 bukan suatu ajaran yang jauh dari kemampuan dan realita hidup. Orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu hidup dalam kemewahan yang mengagumkan, tetapi dia sama sekali tidak peduli untuk menolong seorang yang miskin dan sakit-sakitan bernama Lazarus. Orang kaya tersebut tidak menghadapi orang miskin dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sebenarnya orang kaya tersebut mampu menolong Lazarus untuk memberdayakan salah seorang pegawai atau pelayannya sehingga Lazarus dapat memeroleh kehidupan yang layak. Tetapi apa yang sebenarnya dia mampu lakukan, tidak dilakukan oleh orang kaya tersebut. Orang kaya tersebut mencintai uangnya lebih dari apapun juga. Sebagai seorang Yahudi, sebenarnya dia beriman kepada Allah dan firman-Nya; tetapi hatinya telah kawin dengan harta yang dimilikinya. Secara lahiriah orang kaya tersebut adalah seorang yang beragama dan ber-Tuhan, tetapi secara batiniah dia mengabdi kepada Mamon dengan sepenuh hati. Sehingga sangatlah tepat ucapan Tuhan Yesus, yaitu: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon(Luk. 16:13). Dalam praktik hidup orang kaya tersebut, dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan Allah karena hatinya secara total telah condong kepada Mamon. Itu sebabnya dia mencintai kekayaan, uang dan harta miliknya lebih dari segalanya, sehingga dia enggan untuk menolong Lazarus dari penderitaan dan kemiskinannya. Dalam konteks ini suatu tindakan disebut dosa apabila kita sebenarnya mampu melakukan apa yang baik dan benar bagi sesama yang sedang menderita, tetapi ternyata kita lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak melakukan apapun sehingga sesama kita tersebut akhirnya mati secara mengenaskan.

Di Yeremia 32:8, nabi Yeremia diperintahkan oleh Allah untuk membeli ladang milik pamannya bernama Hanameel di Anatot daerah Benyamin. Atas perintah Allah tersebut nabi Yeremia membeli ladang milik Hanameel dengan disaksikan oleh para saksi yang telah ikut menandatangani surat pembelian itu. Setelah itu Allah memerintahkan kepada nabi Yeremia, yaitu: “Ambillah surat-surat ini, baik surat pembelian yang dimeteraikan itu maupun salinan yang terbuka ini, taruhlah semuanya itu dalam bejana tanah, supaya dapat tahan lama” (Yer. 32:14). Ternyata perintah Allah kepada nabi Yeremia untuk membeli tanah ladang tersebut dipakai sebagai simbolisasi teologis bahwa Allah akan membeli tanah Israel untuk diserahkan kepada bangsa Kasdim. Alasan tindakan hukuman Allah terhadap umat Israel tersebut adalah karena umat Israel telah mereka membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain (Yer. 32:29). Dalam hal ini kita tahu bahwa motivasi umat Israel membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain, bahkan mereka tidak segan untuk mempersembahkan anak laki-laki dan perempuan sebagai korban dalam api (Yer. 32:35) dengan tujuan untuk memperoleh kemakmuran. Dengan kata lain demi tujuan kemakmuran secara duniawi, umat Israel tidak segan-segan menjual iman kepada Tuhan, dan membunuh anak laki-laki atau anak perempuannya sebagai korban dalam api. Sikap umat Israel tersebut mengingatkan kita akan kepercayaan untuk memperoleh kekayaan secara “klenik” (perdukunan) di Jawa yang disebut dengan istilah “pesugihan.” Maksud tindakan dari “pesugihan” adalah upaya memperoleh kekayaan secara cepat dan fantastis yang dimohonkan kepada Iblis/kuasa kegelapan dengan cara menyepakati pasangan hidup, lalu anak-anaknya satu demi satu untuk dijadikan tumbal/korban. Sehingga sangatlah tepat apabila I Timotius 6:9 berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.

Mungkin upaya “pesugihan” yang bersifat mistis atau “klenik” ini pada masa kini tentu bukan lagi merupakan pola yang menarik untuk dipilih oleh anggota jemaat modern untuk memperoleh kekayaan. Tetapi tidak berarti upaya untuk mencari uang dan kekayaan secara singkat dan fantastis sampai saat ini tidak menjadi obsesi bagi kebanyakan orang. Untuk itu mereka bersedia bekerja keras sedemikian rupa sehingga mereka rela mengorbankan relasi kasih dengan pasangan hidup dan anak-anaknya. Mereka mungkin berhasil menjadi orang yang sangat sukses dengan kekayaan berlimpah, tetapi mereka mempertaruhkan kehidupan rumah-tangganya; sehingga pada akhirnya keluarga mereka runtuh dan anak-anaknya terlibat dalam berbagai masalah kriminal atau asosial karena rohani mereka miskin dan jauh dari kasih. Sementara beberapa orang mencari kekayaan secara cepat melalui keterlibatan dengan sindikat penjualan obat-obat terlarang atau mereka secara sengaja terlibat dalam perampokan dan pencurian. Jadi pada intinya banyak orang ingin menjadi kaya secara mendadak sehingga akhirnya mereka terjatuh dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan. Jadi hasilnya sungguh mengerikan, sebab kehidupan dan masa depan mereka hancur. Rasul Paulus berkata: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10). Kehausan untuk memburu kekayaan bagaikan seorang yang sedang terdampar kehausan di tengah laut, sehingga dia nekat untuk minum air laut. Akibatnya rasa haus yang luar biasa menyerang dia, dan makin menjadi-jadi rasa hausnya, sehingga akhirnya dia mati dengan keadaan yang sangat menderita.

Iman Kristen pada prinsipnya tidak pernah melarang umat untuk menjadi kaya; dan juga tidak pernah menganjurkan umat untuk hidup miskin. Tetapi yang diingatkan dan dinasihatkan oleh iman Kristen terus-menerus adalah bahaya dari sikap keserakahan untuk memperoleh kekayaan. Sikap serakah bukan bukan sekedar sikap yang ingin memperoleh banyak seperti uang dan harta benda, tetapi sesungguhnyanya sikap serakah merupakan suatu hawa nafsu yang liar dan tidak pernah terpuaskan sehingga orientasi hidup dialihkan secara total kepada keinginan yang duniawi. Sikap seseorang yang serakah dalam kekayaan berarti mereka secara sengaja dan sadar untuk menjadikan Mamon sebagai penentu hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pernah berpikir untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah, tidak mau peduli atau mengabaikan sesama yang miskin dan menderita, menutup pintu hati mereka terhadap kemurahan dan belas-kasihan, lebih cenderung menjadikan sesama hanya sebagai obyek untuk dimanipulasi atau dieksploitasi, menghalalkan segala macam cara untuk meperoleh kekayaan, dan hidup yang memuaskan hawa-nafsu duniawi. Dalam sikap serakah terhadap kekayaaan sebenarnya kita telah menyembah dan mengabdi kepada ilah “harta milik.” Seperti sikap Israel yang pernah menyembah kepada Baal dan illah lain, maka dengan sikap serakah sebenarnya kita juga telah menyembah berhala kepada dewa kekayaan, sehingga mata batin dan iman kita menjadi buta. Akibatnya kehidupan kita berada di bawah hukuman Allah. Kita kehilangan damai-sejahtera Allah dalam kehidupan kita. Sebab kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai macam konflik dengan sesama, sikap antipati dan kebencian orang-orang di sekitar kita terhadap diri kita, perasaan hampa walau kita memiliki banyak hal dan hidup kita juga dipenuhi oleh berbagai macam oleh perasaan gelisah serta ketakutan.

Sangat berbeda dengan orang Kristen yang dengan semangat iman sungguh-sungguh mau bekerja keras, rajin, penuh dedikas, dipercaya, dan terus mengembangkan seluruh talenta yang telah Tuhan percayakan kepada mereka sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang sukses. Mereka sangat giat bekerja, terus mengembangkan karier dan makin profesional karena didasari oleh rasa tanggungjawab dan kasih kepada Allah. Mereka mendapat banyak berkat dari Allah, namun mereka tahu ke mana dan bagaimana mereka harus mengelola dan menyalurkan seluruh berkat Allah tersebut secara tepat dan berkenan di hati Allah. Walaupun mereka mendapat banyak berkat dari Allah, mereka dengan hati yang tulus dan penuh kasih mempersembahkan seluruhnya kepada Allah untuk karya-Nya, yaitu untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Dalam hal ini mereka menjadi kaya secara materi namun juga mereka kaya secara rohani. Jadi makna uang di tangan orang beriman akan menjadi alat dan saluran berkat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya uang di tangan orang fasik akan menjadi akar segala kejahatan. Jika demikian, letak permasalahan yang utama dan prinsipiil adalah apakah kita mencintai uang; ataukah kita mengasihi Allah dan sesama?

Karena itu kita selaku jemaat makin disadarkan makna panggilan kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi sebagai hukum yang pertama dan yang utama. Manakala kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama seperti diri kita sendiri maka kita tidak perlu takut dipercayakan oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah. Sebab kekayaan berlimpah yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut akan kita salurkan secara bertanggungjwab untuk pekerjaan dan kemuliaan nama Tuhan, serta akan kita gunakan untuk memberdayakan dan menolong sesama yang miskin dan menderita. Sebaliknya apabila kita serakah dan mengabdi kepada Mamon, maka seluruh uang dan harta yang kita miliki akan kita gunakan untuk mendukung seluruh program kuasa duniawi, kita manfaatkan untuk menekan orang-orang yang lemah, kita gunakan untuk ketidakadilan dan kejahatan. Jika demikian, bagaimana orientasi hidup kita yang sesungguhnya? Apakah hidup kita kini makin tertuju kepada Allah dan Kristus, ataukah hidup kita tertuju kepada Mamon? Kita perlu menentukan pilihan kita saat ini juga. Tetapi berbahagialah kita yang memilih kesetiaan dan kasih kepada Allah sebagaimana firmanNya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikar yang benar di depan banyak saksi.”

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Kumpulan Renungan I

$
0
0

Philia-Leadershiap
Yohanes 15:9-16

Istilah “philia-leadership” diterjemahkan sebagai: “kepemimpinan sahabat.” Makna kepemimpinan biasanya dipahami sebagai kemampuan yang dilandasi oleh otoritas tertentu dalam mengkoordinasi, menggerakan dan mencapai tujuan bersama. Pada pihak lain otoritas dimaknai sebagai kekuasaan yang lebih tinggi untuk mengatur, mendisiplinkan, dan menjalankan roda pemerintahan. Karena itu kepemimpinan sering dipahami sebagai relasi “atas-bawah” (pemimpin-dipimpin). Namun Tuhan Yesus dalam pelayanan-Nya memberi corak yang khusus, yaitu menempatkan diri-Nya sebagai sahabat. Sebagai seorang sahabat, Tuhan Yesus menjadikan para murid sebagai kawan-sekerja Allah.
Dalam praktik tidaklah mudah untuk mewujudkan kepemimpinan yang setara dalam dimensi persahabatan. Karena dalam diri manusia senantiasa terdapat kecenderungan untuk menguasai-dikuasai. Kecenderungan “menguasai” tidak harus selalu berasal dari atas (pimpinan) tetapi juga dapat berasal dari bawah (yang dipimpin). Relasi “menguasai-dikuasai” bisa terjadi dalam hubungan suami-istri, orang-tua dengan anak, pimpinan-pegawai, penguasa-rakyat, dan sebagainya. Karena itu dalam praktik bisa terjadi yang sebaliknya, yaitu: istri menguasai suami, anak menguasai orang-tua, rakyat menguasai penguasa. Relasi “menguasai-dikuasai” cenderung mengerahkan energi yang ada untuk mengalahkan pihak lain. Akibatnya dalam relasi “menguasai-dikuasai” tidak pernah menghasilkan sesuatu yang produktif. Namun tidaklah demikian relasi dan pola “kepemimpinan-sahabat.” Sebab dalam pola kepemimpinan-sahabat setiap energi digunakan untuk kebaikan, kesejahteraan dan pengembangan setiap pihak.
Di Yohanes 15:14 Yesus menyebut para murid-Nya dengan predikat “sahabat” yaitu: “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” Kata “sahabat” (philos) dipakai dalam Yohanes 15 sebanyak tiga kali dan ditempatkan dalam konteks “mengasihi.” Dengan demikian jelas bahwa kepemimpinan-sahabat terjadi dalam konteks mengasihi. Sebaliknya tindakan “menguasai” apapun bentuknya tidak pernah lahir dari kasih. Tindakan “menguasai” lahir dari kesombongan atau perasaan superior. Seseorang atau sekelompok orang yang merasa diri superior senantiasa memandang diri secara berlebihan. Mereka tidak mampu bersikap realistis dengan keberadaan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian superioritas diri akan terjadi karena seseorang dikuasai oleh kelemahan, sehingga ia cenderung mencari kelemahan orang lain.
Pola “kepemimpinan-sahabat” menjadi suatu kemungkinan karena masing-masing pihak menyadari kelemahan dan keterbatasannya sehingga ia terdorong untuk dilengkapi dengan kelebihan dan kemampuan pihak lain. Amsal 17:17 berkata: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Pola kepemimpinan-sahabat sangatlah cocok untuk dipraktikkan dalam berbagai dimensi kehidupan baik dalam dunia sekuler maupun dalam kehidupan rohani. Dalam kehidupan gereja, kepemimpinan-sahabat digambarkan oleh Rasul Paulus dengan “kesalingtergantungan” organ-organ tubuh manusia. Di 1 Korintus 12:21 Rasul Paulus berkata: “Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: Aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: Aku tidak membutuhkan engkau.” Karena itu sejauhmana kita telah mempraktikkan kesalingtergantungan sebagai organ-organ dalam Tubuh Kristus, yaitu gereja-Nya? Dalam kesalingtergantungan setiap pihak melaksanakan fungsinya masing-masing secara optimal yang bersedia diikat oleh ikatan kasih Kristus.
Ikatan kasih Kristus adalah ikatan iman dan spiritualitas yang paling fundamendal. Karena itu alat ukur yang paling akurat apakah suatu persekutuan disebut “gereja” (Tubuh Kristus), yaitu apabila dilandasi dan dimanifestasikan dalam sikap kasih. Apakah suatu rumah-tangga disebut keluarga umat percaya yaitu apabila dilandasi dan dimanifestasikan dalam kasih. Karena kasih adalah pondasi utama dari pola kepemimpinan-sahabat. Tanpa kasih, maka akan terjadi “kepemimpinan-lawan” sehingga terjadi praktik politis yang menciderai hakikat gereja sebagai Tubuh Kristus, atau rumah-tangga sebagai “keluarga Allah.” Bagaimana dengan Saudara?

————————————————————————————–

Keluarga yang Saling Melayani

Roma 16:1-16

Jemaat adalah persekutuan umat percaya sebagai keluarga Allah. Sebagai keluarga Allah, setiap gereja senantiasa terdiri dari persekutuan keluarga-keluarga. Lalu di dalam keluarga-keluarga tersebut terdiri para pribadi. Karena itu kehidupan gereja senantiasa terdiri dari persekutuan pribadi-pribadi dan keluarga-keluarga yang diikat oleh kasih dan iman kepada Kristus. Makna keluarga yang melayani merupakan persembahan diri dari setiap pribadi dan setiap keluarga sehingga membentuk suatu persekutuan umat percaya yang fungsional, yaitu berperan sesuai dengan tugas panggilannya.

Di Roma 16:1-16 Rasul Paulus menyebut secara detil nama-nama anggota jemaat yang telah melayani bersama dengan dia. Jumlah nama-nama anggota jemaat tersebut terdiri 27 orang. Rasul Paulus bukan hanya menyebut 27 orang tersebut tetapi juga memberikan keterangan singkat tentang peran pelayanan mereka. Keterangan singkat tersebut bersifat positif sebab merupakan ucapan penghargaan yang tulus terhadap jerih-lelah mereka. Misal ungkapan: “Febe, saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea,” “Priskila dan Akwila yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku” (Rm. 16:1, 3-4). Dengan demikian keberhasilan Rasul Paulus dalam melayani jemaat bukan hanya karena faktor karunia, kompetensi, semangat dan pengabdian yang tulus kepada Tuhan tetapi juga karena ia mampu menghargai rekan sepelayanan. Keluarga yang melayani akan terwujud apabila setiap orang mampu memberi penghargaan yang tulus kepada orang-orang yang melayani bersama dia.

Semangat melayani baik di dalam keluarga maupun gereja menjadi kendor apabila setiap anggota bersikap dingin dan tidak memberi apresiasi yang tulus terhadap pekerjaan atau hasil karya anggota yang lain. Lebih buruk lagi apabila mereka lebih cenderung mencari kelemahan dan kesalahan orang lain. Sikap tersebut tidak membangun persekutuan, sebaliknya menimbulkan perasaan terluka. Sebab pada dasarnya setiap orang memiliki tiga kebutuhan mendasar dalam relasi sosial, yaitu: “pengakuan, penghargaan dan penerimaan.” Sebagaimana kita membutuhkan pengakuan, penghargaan dan penerimaan dari orang lain, maka kita juga wajib memiliki komitmen dan tindakan untuk memberi pengakuan, penghargaan dan penerimaan kepada orang lain. Tuhan Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12).

Tujuan keluarga yang melayani adalah memuliakan Allah sebagai tim kerja yang sehati dan sepikir sehingga menghasilkan karya yang lebih bermakna dan optimal. Padahal umat manusia sepanjang zaman cenderung bersikap individualistis dan mengagungkan karya-karya pribadinya. Tentu kita diizinkan untuk berprestasi dan mempermuliakan Tuhan sebagai individu-individu. Namun di lain pihak sejauh mana kita secara seimbang mempermuliakan Tuhan sebagai tim kerja dalam suatu komunitas. Keberadaan orang lain bukanlah sekadar pelengkap dalam kehidupan kita. Kehadiran sesama adalah bagian yang hakiki dari nilai keberadaan kita di dunia ini. Sebab nilai dan makna keberadaan kita ditentukan oleh keberadaan sesama. Allah menghendaki kita mempermuliakan nama-Nya sebagai persekutuan umat. Karena itu sejak awal Allah mendirikan persekutuan “Kahal Yahweh” (Umat Tuhan) dan “ekklesia” (jemaat). Keselamatan Allah senantiasa dinyatakan kepada komunitas umat. Abraham dipanggil keluar untuk membentuk umat dan bangsa. Israel yang berstatus sebagai budak dibebaskan agar menjadi umat Allah.

Bentuk dan pola dari keluarga yang melayani adalah setiap anggota keluarga menggunakan setiap talenta dan karunia yang dimiliki untuk membangun kebersamaan sebagai komunitas umat Allah. Karena itu yang utama adalah apabila setiap keluarga dan jemaat mampu mengelola secara sinergis setiap perbedaan-perbedaan dan kesalahpahaman yang terjadi. Keluarga yang mampu melayani adalah keluarga yang mampu mengelola konflik. Hasil dari kemampuan mengelola konflik adalah rekonsiliasi (pendamaian). Dengan rekonsiliasi setiap anggota keluarga tetap mampu melayani di tengah-tengah perbedaan, kesalahpahaman dan konflik. Dengan demikian semakin jelas bahwa makna keluarga yang melayani bukanlah bebas dari konflik, perselisihan dan kesalahpahaman. Kemampuan untuk mengelola konflik dan perselisihan menunjukkan bahwa kita telah dewasa secara iman. Dengan kedewasaan iman itulah kita dimampukan untuk melayani Tuhan dengan kasih.

Bagaimanakah sikap saudara dalam melayani Tuhan? Apakah mencerminkan sikap sebagai keluarga Allah dan menghargai setiap orang yang melayani di tengah-tengah-tengah kita? Sejauh mana Saudara mampu mengelola konflik? Kegagalan kita mengelola konflik menunjukkan bahwa kita belum berkenan di hadapan Tuhan untuk melayani Dia.

————————————————————————————–

Pertobatan untuk Memberlakukan Keadilan

Yes. 1:10-18; Mzm. 32:1-7; 2 Tes. 1:1-4, 11-12; Luk. 19:1-10

 Profesi sebagai pemungut cukai pada zaman Yesus dibenci oleh banyak orang sekaligus membuat ia kaya-raya. Demikian pula Zakhesus sebagai kepala pemungut cukai. Zakhesus dibenci sebab dianggap sebagai lintah-darat dan kaki-tangan penjajah Romawi, namun di sisi lain ia kaya-raya karena berhasil memeras rakyat. Secara sosial-keagamaan, Zakheus adalah musuh orang banyak. Tetapi dalam Lukas 19:1-10 mengisahkan bagaimana Yesus secara khusus menyapa dan menumpang di rumah Zakheus. Efek kehadiran Yesus di rumah Zakheus adalah ia mengalami pertobatan yang dinyatakan dengan pernyataan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk. 19:8). Pertobatan Zakheus dinyatakan dengan memberi persembahan dari separuh dari kekayaannya dan pemberian kompensasi kepada orang-orang yang pernah ia rampas sebesar 400%.

Pesan Injil dalam kisah Zakheus memberitakan bahwa pertobatan harus dinyatakan dengan memberlakukan keadilan kepada orang-orang yang pernah ia rampas. Pertobatan barulah bermakna apabila dinyatakan dalam pembaruan hidup dalam perilaku. Di hadapan Allah kita tidak dapat dianggap bertobat, apabila masih sebatas penyesalan. Sebab penyesalan masih sebatas ekspresi emosional tetapi belum merupakan wujud dari kehidupan yang dibarui. Padahal makna “pertobatan” (metanoia) adalah perubahan orientasi dan perilaku kehidupan secara radikal, yaitu dari kehidupan yang duniawi berubah menjadi kehidupan yang benar di hadapan Allah. Karena itu pertobatan bukan sekadar ungkapan personal dalam suatu kegiatan ritual-keagamaan tetapi pembaruan cara pandang, tutur-kata dan tindakan sehingga kehidupannya menjadi kehadiran yang mendatangkan berkat bagi sesamanya. Di Yesaya 1:13 Allah menyampaikan teguran, yaitu: “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.”

Konteks berita Yesaya 1:10-18 adalah umat menonjolkan ritualisme keagamaan untuk menyembunyikan kejahatan yang pernah dilakukan. Umat memberikan persembahan dalam jumlah yang fantastis dan perilaku keagamaan yang begitu menonjol tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi penindas sesama. Kehidupan rohani mereka serba mendua sehingga berlaku munafik. Mereka tampak saleh tetapi juga menjadi monster. Mulut, pakaian keagamaan dan persembahan mereka memuliakan Allah tetapi perilaku mereka merendahkan harkat sesama. Firman Tuhan menyatakan: “Jikalau seorang berkata: Aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1Yoh. 4:20). Kata “pendusta” dari Surat 1 Yohanes 4:20 berasal dari kata preustes, yang artinya juga “pembohong, palsu, tidak setia dan jauh dari sikap iman.” Ternyata kata “praustes” dipakai pula oleh Tuhan Yesus di Yohanes 8:44, yaitu untuk menunjuk sifat Iblis. Sifat Iblis adalah: “Sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.”

Zakheus semula hidup dalam “praustes” yaitu sebagai pembohong yang menindas dan memanipulasi orang banyak untuk kepentingannya sendiri. Tetapi perjumpaannya dengan Yesus telah mengubah seluruh orientasi hidupnya. Di dalam Kristus, ia membuang semua kebohongan dan kepalsuannya sehingga Yesus berkata:

“Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham” (Luk. 19:9). Demikian pula setiap diri kita semula adalah “pembohong” dan munafik. Jika demikian apakah di dalam iman kepada Kristus saat ini kita telah membuang semua kepalsuan dan kemunafikan kita?

Kita dapat membungkus kepalsuan dan kemunafikan kita misalnya melalui: dedikasi kita dalam melayani Tuhan, aktif sebagai penggiat di gereja, memberi persembahan, membela orang-orang miskin, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang saleh tersebut dapat kita manipulasi menjadi kemunafikan apabila pertobatan kita tidak dilandasi oleh integritas diri, yaitu hidup baru di dalam Kristus. Karena itu lakukanlah pelayanan Tuhan dengan pertobatan dan integritas diri yang lahir dari hati yang hancur serta jiwa yang remuk. Sebab tanpa pertobatan dan integritas diri, kehidupan kita jauh dari keselamatan Allah.

————————————————————————————–

Jadilah Penurut-penurut Allah

Efesus 5:1-2; Yohanes 6:35, 41-51

Tujuan utama keselamatan Allah adalah umat menjadi penurut-penurut Allah, yaitu hidup menurut gambar dan rupa-Nya. Menurut Kolose 1:15 gambar dan rupa Allah yang sesungguhnya adalah Kristus, yaitu: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Ini berarti kita dipanggil untuk hidup serupa dengan Kristus (imitatio Christi). Makna serupa dengan Kristus adalah hidup tanpa dosa. Ibrani 4:15 berkata: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Tetapi dalam realita tidak seorangpun di antara kita yang hidup tanpa dosa. Kita dikuasai oleh kuasa dosa dalam setiap aspek kehidupan kita. Karena itu hidup benar dan kudus tidak mungkin kita lakukan dengan kekuatan dan kemampuan manusiawi kita. Di tengah-tengah situasi ketidakberdayaan dan keberdosaan kita, Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35).

Roti merupakan simbol kebutuhan manusia yang paling utama. Bagi umat Israel, roti adalah menu utamanya. Untuk orang Indonesia setiap hari kita makan nasi atau sejenisnya. Jika demikian, hidup kudus dan benar hanya diperoleh apabila kita menjadikan Kristus sebagai tujuan dan dasar utama dari setiap kebutuhan kita. Kegagalan kita menjadi penurut-penurut Allah (imitatio Christi) karena tidak menjadikan Kristus sebagai tujuan dan dasar utama dari setiap kebutuhan kita. Perhatian dan keinginan kita mudah dibelokkan kepada “penyelamat-penyelamat” palsu yang menggantikan Kristus. Karena itu kita menjadikan materialisme (hati yang melekat dengan materi), hedonisme (hati yang melekat kepada kenikmatan), kapitalisme (hati yang melekat kepada uang), kedudukan dan kekuasaan sebagai idol (berhala) kita. Setiap diri kita memiliki idol-idol (berhala-berhala) tertentu, yaitu apapun dan siapapun yang membuat kita tergantung dan melekat kepadanya.

Saat kita melekat kepada idol-idol (berhala-berhala) tersebut, kita tidak menerima dan menyambut Kristus dengan segenap hati. Karena itu hidup kita tidak dilandasi oleh iman, namun dikuasai oleh keinginan daging dan nafsu duniawi. Salah satunya adalah kita tidak mudah bersyukur. Kita bersungut-sungut seperti yang dilakukan oleh umat Israel di padang-gurun, dan juga orang-orang Farisi di Yohanes 6:41. Tuhan Yesus menegur mereka: “Jangan kamu bersungut-sungut” (Yoh. 6:43). Efek lain dari sikap yang bersungut-sungut adalah kita mudah bertengkar (Yoh. 6:52). Karena itu siklus hidup kita setiap hari dipenuhi perasaan marah, jengkel, kesal, mudah tersinggung, benci, dendam, iri-hati, sombong, dan amarah. Ciri hidup kita adalah menjadi penurut-penurut kuasa dunia. Namun saat ini dengan rahmat-Nya Allah memanggil kita untuk menjadi penurut-penurut Allah, yaitu bilamana kita bersedia menempatkan Kristus sebagai tujuan dan dasar utama panggilan hidup kita sehingga menyingkirkan dan membuang semua idol-idol yang menguasai kehidupan kita. Apakah kita bersedia membuka hati untuk menerima Kristus sebagai Roti Hidup yang menguasai dan mengendalikan hidup kita?

————————————————————————————–

Saat Berada dalam Pencobaan

Kidung Agung 1:1-17; Yakobus 1:1-8

Makna pencobaan beda dengan ujian. Sebab makna pencobaan adalah suatu kejadian derita yang sangat pahit dan tidak terduga. Tapi makna ujian adalah proses yang sudah kita persiapkan dengan baik dan tujuan tertentu yang hendak dicapai, misal: ujian masuk perguruan tinggi, ujian sebagai syarat untuk melamar pekerjaan. Karena itu tidak semua orang siap dengan pencobaan. Pencobaan selalu mendera di saat kita siap atau tidak siap, kuat atau lemah. Misalnya di saat kita gagal dalam usaha, ternyata salah seorang anggota keluarga kecelakaan. Namun pada sisi lain pencobaan merupakan realita kehidupan yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun. Sebab tidak ada seorangpun yang bebas dan kebal dari penderitaan hidup. Faktor pembedanya adalah sikap iman dan perspektif setiap orang dalam menyikapinya.

Bagi orang yang tidak beriman, perspektif hidupnya dipenuhi oleh kemarahan dan penolakan. Namun bagi orang beriman akan memiliki perspektif hidup yang tidak demikian. Bagi orang percaya akan memahami setiap pencobaan sebagai media penyataan Allah. Surat Yakobus memberikan penghiburan agar setiap umat percaya menganggap setiap pencobaan sebagai suatu kebahagiaan. Sebab pencobaan merupakan ujian yang mematangkan dan membawa pertumbuhan kualitas hidup. Dalam konteks ini kita dapat melihat hubungan yang erat antara sikap iman dengan perspektif hidup. Iman yang hidup kepada Allah membawa perspektif hidup yang membebaskan dan membarui. Makna iman bukan sekedar kumpulan doktrin keyakinan. Namun iman adalah sikap rohani yang memahami realita kehidupan dari sudut pandang Allah dalam rencana dan maksud-Nya. Jika demikian apakah Saudara telah menempatkan seluruh persoalan dalam cara pandang dan maksud Allah?

————————————————————————————–

Tahan Uji dalam Pencobaan

Kidung Agung 2:1-7; Yakobus 1:9-16

 Saat didera oleh penderitaan dan kesusahan, kita tergelitik untuk mengajukan pertanyaan: “Apakah penderitaan dan kesusahan ini datang dari Allah?” Setelah itu kita mulai memikirkan perjalanan hidup kita ke belakang. Muncul beberapa penilaian, yaitu sebagian menganggap bahwa penderitaan ini terjadi sebagai hukuman Allah sebab kita banyak bersalah, sebagian menganggap sebagai suatu kekeliruan sebab kita merasa hidup kita serba baik dan benar, sebagian lagi sebagai suatu ketidakadilan, sebagian lagi menganggap sebagai karma dari orang-tua, dan sebagainya. Surat Yakobus menegaskan bahwa Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun (Yak. 1:13). Lebih tepat kita dicobai oleh oleh keinginan kita sendiri. Keinginan yang dimaksudkan di sini adalah hawa-nafsu daging atau duniawi. Rasul Paulus menguraikan hawa-nafsu daging dalam Galatia 5:20-21. Uraian yang detil tersebut biasanya diringkas menjadi “tujuh dosa maut,” yaitu: kesombongan, kemarahan, keserakahan, iri-hati, nafsu cabul, sikap rakus, dan kemalasan.

Pencobaan-pencobaan yang kita alami utamanya disebabkan oleh tujuh dosa maut tersebut. Namun pada pihak lain kita merasa diri telah hidup benar dan saleh. Justru di sinilah letak masalah utamanya. Kita tidak merendahkan diri, menyesal dan bertobat namun malahan membenarkan diri, sebaliknya kita mengeraskan diri. Akibatnya hasil dari salah satu atau sebagian dari tujuh dosa maut tersebut tidak semakin membawa kita dekat kepada Allah. Di tengah-tengah pencobaan tersebut kita tidak mengalami pembaruan diri. Di tengah situasi tersebut Rasul Yakobus berkata: “Jangan sesat!” (Yak. 1:16). Allah tidak membutuhkan sikap kita yang marah dan menghukum diri. Allah menghendaki setiap kita untuk rendah hati untuk mengaku dan menginsafi agar Dia berbelas-kasihan dan mengaruniakan kerahiman-Nya.

————————————————————————————–

Perasaan Tidak Aman

Hosea 3:1-5; Yohanes 18:28-32

Perasaan aman (ego-security) adalah kematangan pribadi seseorang yang tidak mudah merasa terancam dan mampu berpikir jernih dalam menghadapi situasi yang menekan atau membahayakan dirinya. Sebaliknya perasaan tidak aman diri (ego-insecurity) adalah sikap yang mudah terancam, terlalu sensitif terhadap sikap dan ucapan orang lain sehingga mudah labil serta tidak mampu berpikir dengan jernih. Di Yohanes 18:25-27 mengisahkan bagaimana Petrus menyangkal Yesus karena pertanyaan dari seorang hamba Imam Besar. Menurut kesaksian Injil Matius, Petrus menyangkal karena pertanyaan dari seorang hamba perempuan (Mat. 26:69). Perhatikan Petrus mengalami kecemasan yang luar-biasa karena pertanyaan dari orang-orang yang sebenarnya tidak membahayakan dirinya. Petrus menyangkal Yesus karena kuatir akan keselamatan dirinya. Dia tidak ingin dianggap terlibat, lalu ditangkap dan kemudian diadili serta dihukum.

Perasaan aman dan tidak aman biasanya bersumber pada bagaimanakah kita memiliki gambar diri (self-image). Kalau kita memiliki gambar diri yang positif, utuh, menerima diri apa adanya dengan ucapan syukur dan percaya kepada penyertaan Tuhan, pastilah kita merasa aman. Sebaliknya apabila kita memiliki gambar diri yang buruk, retak, suka menghakimi/menyalahkan diri, dan selalu bersungut-sungut sudah pasti kita tidak pernah positif memandang diri sendiri. Gambar diri umat percaya seharusnya berpedoman pada Tuhan Yesus yang adalah Gambar dan Rupa Allah yang sempurna (Kol. 1:15). Kristus tidak gentar menghadapi fitnahan, serangan kebencian, permusuhan yang menyakitkan, dan kematian yang keji. Dia tenang dengan sikap iman dan cinta-kasih yang tidak terus berkobar-kobar. Jika demikian, sejauh mana kita menjadikan Kristus sebagai dasar, sumber kehidupan, dan tempat kita bersandar serta tujuan hidup kita?

————————————————————————————–

Hidup Bergairah dalam Sukacita dan Kegembiraan Tuhan

Kidung Agung 2:8-13; Mazmur 45:210; Yakobus 1:17-27; Markus 7:1-23

Gairah hidup dan sukacita merupakan realitas hidup yang bermakna sebagai pemberian dari atas, yaitu Tuhan. Surat Yakobus menyebutnya sebagai anugerah yang sempurna (Yak. 1:17). Namun hidup yang bermakna dan berlimpah sukacita tersebut akan bertahan abadi apabila kita senantiasa merawat dengan spiritualitas iman. Surat Yakobus memanggil setiap umat percaya mengalami proses pertumbuhan yang semakin matang, sehingga pada tingkat tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya (Yak. 1:18). Proses pertumbuhan rohani (spiritualitas) dimulai dari dalam keluar, bukan sebaliknya. Karena itu aspek internal yaitu hati manusia sangat vital. Tuhan Yesus berkata: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mark. 7:20-23). Senada dengan itu nasihat yang bijak dari Kitab Amsal menyatakan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23). Bila hati kita dijaga dengan sikap iman, maka akan menghasilkan gairah hidup dan sukacita dari Tuhan.

Namun kita tahu bahwa menjaga hati adalah merawat bagian inti kepribadian yaitu kedirian kita. Padahal kedirian kita dibentuk oleh berbagai nilai yang tidak senantiasa membangun. Lebih dalam lagi hidup kita berada di bawah kuasa dosa. Karena itu kita sering gagal untuk melakukan yang baik dan benar. Hati kita dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi. Itu sebabnya kita sering merespons dengan cara duniawi. Kita cepat bereaksi sebelum mendengarkan dengan utuh dan lengkap. Hasilnya hidup kita penuh dengan kemarahan. Di Yakbus 1:29, firman Tuhan berkata: “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” Amarah bukan hanya menghasilkan sesuatu destruktif dalam jangka panjang yang merusak relasi antar sesama, namun juga dengan menghancurkan integritas dan kesehatan. Dengan amarah, kita tidak akan pernah mengalami hidup yang penuh gairah dan sukacita dari Tuhan. Dengan kemarahan hidup kita seakan-akan diselimuti oleh awan gelap, akar pahit, kebencian, tidak ada yang bernilai, dan memandang sesama dari sudut kekurangannya.

Jika demikian, kita harus memilih makna dan tujuan hidup kita. Apakah hati kita sekarang mau dikendalikan oleh anugerah Allah yang melimpahi kita dengan sukacita dan hidup yang berlimpah? Ingatlah firman Tuhan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya” (Yak. 1:26).

————————————————————————————–

Latihan Rohani dalam Ibadah

Kidung Agung 3:6-11; 1Timotius 4:6-16

Ibadah sering dipahami sebagai media perjumpaan iman Allah dengan umat-Nya. Allah menyapa dan berkarya dalam hidup umat-Nya yang dinyatakan melalui persekutuan ibadah. Namun ibadah bukan sekedar perjumpaan biasa, namun perjumpaan personal yang menginspirasi, memberi motivasi, arah, bimbingan, peneguhan, dan proses pembentukan diri berdasarkan anugerah Allah. Dengan demikian ibadah lebih luas daripada latihan rohaniah. Ibadah adalah media penyataan Allah yang membarui seluruh totalitas hidup kita. Tentunya cara kerjanya bukan secara mekanis dan otomatis. Seakan-akan setiap beribadah langsung menjanjikan terjadinya perubahan dan pembaruan. Penyataan Allah menjadi karya keselamatan manakala direspons dengan sikap iman yang diwujudkan dalam kasih dan berpedoman dalam pengharapan. Respons iman tersebut perlu dilakukan tahap demi tahap dan sistematis agar umat semakin terdidik dalam ajaran sehat (1Tim. 4:6). Ibadah yang benar senantiasa membawa pembaruan dan pembebasan dari cara berpikir yang dangkal dan picik.

            Hasil konkret dalam ibadah adalah keteladanan. Arti menjadi teladan adalah memiliki integritas diri dan dapat dipercaya dalam segala hal, sehingga kebenaran dinyatakan secara utuh dan membebaskan. Firman Tuhan berkata: “Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1Tim. 4:12b). Karena itu seseorang yang menghayati ibadah sebagai dasar kerohaniannya akan memperlihatkan kesetiaan kepada jemaat di mana ia menjadi anggotanya. Ia mengasihi jemaat dengan segala keberadaannya, dan mempersembahkan setiap talenta dan karunia untuk pembangunan jemaatnya. Jadi ia tidak lalai mempergunakan karunia Allah untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama (1Tim. 4:14). Sejauh manakah kita bersedia menghayati ibadah untuk pertumbuhan rohani dan perkembangan jemaat?

————————————————————————————–

Menderita karena Kebenaran

Kidung Agung 5:2-6:3; 1 Petrus 2:19-25

 Kita sering mendengar ungkapan, “doakan ya agar aku dapat tabah memikul salib Kristus dalam menghadapi kesusahan ini.” Tentu dengan semangat kasih yang ikhlas kita akan mendoakan pergumulan Saudara kita tersebut. Namun doa kita sering menjadi tidak jelas, sebab pergumulan tersebut masih samar. Menurut Surat 1 Petrus ada dua jenis penderitaan, yaitu penderitaan karena berbuat dosa dan penderitaan karena kasih-karunia Allah. Karena itu Rasul Petrus mengajukan pertanyaan, dapatkah disebut pujian, jika umat menderita pukulan karena berbuat dosa? (1Petr. 2:20). Kesusahan karena berbuat dosa harus disikapi kerendahan hati untuk mengaku dosa dan membarui diri. Penderitaan yang dialami dalam konteks ini tidak layak disebut sebagai tugas memikul salib Kristus. Makna memikul salib Kristus berupa penderitaan adalah apabila kita memang menderita karena hidup benar dan kudus. Dalam konteks inilah seseorang layak minta didukung dalam doa agar tabah memikul salib Kristus berupa penderitaan dan kesusahan.

Untuk mengenali jenis penderitaan yang kita alami apakah karena kita telah hidup benar ataukah sebagai buah atas kesalahan dan dosa berkaitan erat dengan pengenalan diri kita di hadapan Allah. Bagaimanakah kita hidup di hadapan Allah? Spiritualitas yang bagaimanakah kita terapkan dalam menghadapi pergumulan dan persoalan hidup ini? Apakah kita setia akan firman-Nya? Sejauh kita telah dipulihkan oleh bilur-bilur Kristus seharusnya hidup kita akan terarah kepada kehendak Allah. Bilur-bilur Kristus yang memulihkan itu akan memampukan kita untuk menderita karena setia melakukan kehendak dan firman Allah. Karena itu dukungan doa dari Saudara-saudara seiman tidak boleh dipakai untuk mencari pembenaran atas penderitaan yang disebabkan oleh dosa yang sedang kita perbuat. Dukungan doa baru bermakna apabila kita menderita karena hidup benar dan kudus di hadapan Allah serta sesama kita.

————————————————————————————–

Taat pada Perintah Allah atau Adat-istiadat

Kidung Agung 8:5-7; Markus 7:9-23

 Tuhan Yesus berkata: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia” (Mark. 7:8). Dalam konteks ini Tuhan Yesus sepertinya mempertentangkan adat-istiadat dengan perintah Allah. Apakah dimungkinkan perintah Allah diwujudkan dalam adat-istiadat, sehingga tidak selalu harus bertentangan? Hakikat perintah Allah adalah pondasi internal yang paling mendasar dan menentukan kualitas karakter dan kodrat manusia, sedang adat-istiadat adalah bagian eksternal yang dibutuhkan dalam hubungan sosial sehingga tercipta suasana dan relasi yang harmonis. Manusia membutuhkan dimensi internal yaitu firman Allah dan dimensi eksternal yaitu adat-istiadat yang saling integral dan melengkapi. Namun apabila kedua dimensi ini dipertentangkan atau tidak saling mengisi dan melengkapi, pasti terjadi kepincangan. Seharusnya setiap adat-istiadat yang membangun akan menempatkan perintah atau firman Allah sebagai pedoman yang paling berwibawa, sehingga menghasilkan adat-istiadat yang membarui dan membebaskan.

Namun beberapa orang Farisi dan ahli Taurat menjadikan adat-istiadat terlepas dari perintah Allah. Mereka menjadikan peraturan adat-istiadat yang sifatnya lahiriah sebagai yang paling utama. Karena itu mereka menghakimi para murid Yesus yang makan tanpa membasuh tangan. Dengan perkataan lain mereka cenderung menghakimi siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan adat-istiadat yang ada. Menurut Tuhan Yesus tindakan mereka telah menajiskan diri. Sebab makna najis bukan sesuatu yang dari luar masuk ke dalam hati, tetapi sebaliknya apa yang keluar dari hati dengan mencemarkan diri dan orang-orang di sekitar. Kesalahan dalam adat-istiadat yang sifatnya lahirah tidak menajiskan hati seseorang, sebaliknya melanggar perintah Allah yang bersemayam dalam hati itulah yang menajiskan manusia.

————————————————————————————–

Menghakimi, Dihakimi

Amsal 1:1-19; Roma 2:1-11

 Sikap menghakimi adalah membuat penilaian yang menyudutkan dan menyalahkan seseorang dengan sikap yang merendahkan, tanpa kasih. Tuhan Yesus berkata: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui” (Mat. 7:3). Seseorang yang menghakimi orang lain sangat jeli melihat berbagai kesalahan dan kelemahan tertentu yang dibuat sesamanya, namun ia tidak peka melihat berbagai kesalahan dan kelemahan yang begitu besar dalam dirinya. Sikap menghakimi berarti pula seseorang yang takabur. Ia menganggap dirinya lebih baik namun sesungguhnya penuh dengan kekurangan dan kesalahan yang tidak ia kenali. Karena itu seseorang yang menghakimi adalah bermasalah bagi orang lain dan tidak mampu mendatangkan damai-sejahtera. Rasul Paulus berkata: “Hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab dalam menghakimi orang lain engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama” (Rm. 2:1).

Allah adalah Hakim yang adil dan benar, namun Ia tidak bersikap menghakimi. Sebaliknya Allah Sang Hakim senantiasa memperlihatkan kemurahan-Nya untuk menuntun setiap orang dalam pertobatan. Kemurahan dan belas-kasihan-Nya menjadi landasan bagi Allah untuk mengadili setiap umat manusia, sehingga menghasilkan penghakiman yang adil. Bagi umat yang hidup dalam mengutamakan kepentingan dirinya sendiri dan secara sengaja melanggar firman-Nya, Allah akan menyatakan murka-Nya. Dalam konteks ini pula orang-orang yang gemar menghakimi sesamanya akan dihakimi. Sebaliknya Allah akan mengaruniakan kemuliaan dan kehormatan serta damai-sejahtera bagi umat yang hidup dalam keadilan dan kebenaran. Di manakah Saudara menempatkan diri dalam relasi dengan sesama? Apakah Saudara berada dalam posisi yang gemar menghakimi orang lain? Bila ya, Saudara kelak akan diadili dengan murka Allah.

————————————————————————————–

Seperti Emas Murni

Ibrani 10:19-25

 “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibr. 10:22).

 Setiap wanita menyukai perhiasan emas. Semakin tinggi karat suatu emas, semakin mahal nilainya. Nilai karat merupakan sistem pengukuran tingkat kemurnian emas yaitu berdasarkan jumlah persentase emas murni yang terkandung di dalamnya. Jadi semakin rendah jumlah karat emas dalam suatu perhiasan, semakin rendah nilainya. Karena itu kita menjumpai berbagai perhiasan yang tampaknya seperti emas padahal hanya sepuhan di bagian luarnya saja. Perhiasan dengan jenis seperti ini tidak memiliki logam emas yang mulia di bagian dalamnya. Secara rohani ukuran karat emas tersebut dapat dikenakan dalam menilai mutu kehidupan kita. Semakin tinggi karat rohani yaitu kemurnian hidup, semakin tinggi pula kualitas kepribadian kita di hadapan Allah dan sesama. Pada pihak lain kita diingatkan bahwa bukan tampilan luar yang indah dan saleh sebagai penentu kualitas hidup manusia. Penentu kualitas hidup manusia yang utama adalah kemurnian yang terkandung di dalamnya. Arti “murni” (pure) adalah tidak tercampur oleh sesuatu, dan bersih dari noda. Secara rohani, kemurnian hidup dinyatakan dalam kekudusan yaitu hidup yang tidak bercela di hadapan Allah dan sesama.

Namun pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat hidup murni dan kudus di tengah-tengah keberdosaan manusiawi dan realitas kehidupan yang dikuasai oleh ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan, keserakahan, dan hawa-nafsu dunia? Pada pihak lain kuasa dosa juga telah melumpuhkan diri kita untuk berbuat baik dan melakukan kebenaran. Kita tahu yang baik, namun gagal berbuat baik. Kita memahami kebenaran, namun cenderung menindas kebenaran demi kepentingan diri sendiri. Saat beribadah kita mengamini panggilan Tuhan untuk memberlakukan keadilan, namun dalam kehidupan sehari-hari kita lebih suka mempraktikkan ketidakadilan. Kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai sepuhan-sepuhan emas yang dari luar tampak indah namun sesungguhnya palsu dan munafik. Kita enggan melepaskan topeng-topeng kepalsuan yang kita kenakan setiap hari karena kuatir orang lain melihat berbagai keburukan dan cacat-cela dalam kepribadian kita. Penyebabnya karena kita tidak mau memilih kemurnian rohani sebagai kualitas hidup yang paling bernilai. Padahal hidup dengan topeng-topeng kepalsuan dan kemunafikan membuat hati kita tidak menjadi tenang. Tanpa kemurnian hati-nurani kita hidup dalam kegelisahan, kecemasan, dan jauh dari damai-sejahtera Allah. Penyebabnya adalah perasaan bersalah karena melawan kehendak Allah. Perasaan bersalah membuat hidup kita tertekan sebab dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat senantiasa menghantui diri kita.

Memulihkan rasa bersalah tidak dapat ditempuh dengan perbuatan baik atau amal-ibadah. Sebab perbuatan baik dan amal-ibadah tersebut hanya menyentuh di bagian luar atau permukaan kepribadian kita, tetapi dosa dalam batin kita masih berkuasa. Batin atau roh kita belum dimurnikan oleh Allah sebab belum dikuduskan dan diperdamaikan oleh Allah. Hidup yang murni membutuhkan karya pendamaian Allah. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, Allah telah mendamaikan kehidupan kita. Surat Ibrani 10:19-20 menyatakan: “Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri.” Penegasan firman Tuhan di Ibrani 10:19-20 tersebut dilatarbelakangi oleh ibadah dan iman umat Israel di Perjanjian Lama, yaitu peristiwa pendamaian umat dengan Allah dilaksanakan melalui ibadah kurban penebus dosa. Karena itu di Surat Ibrani 9:22 menyatakan: “Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” Di antara kita mungkin bertanya, yaitu jikalau pengampunan dosa hanya dipulihkan melalui penumpahan darah, bagaimana mungkin darah hewan kurban dapat menebus dosa manusia? Masakan kehidupan hewan dapat memberi daya hidup kepada manusia? Penebusan dosa yang sempurna di hadapan Allah hanya akan terjadi melalui pengorbanan seorang manusia yang sempurna, yang tanpa cacat, dan kudus. Manusia tersebut adalah Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu kematian Kristus mampu membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi umat yang percaya.

Kematian Kristus adalah manifestasi belarasa Allah kepada umat manusia, sehingga seluruh dimensi kehidupan manusia dilimpahi oleh kemurahan dan kerahiman Allah. Bila demikian iman kepada Kristus pada hakikatnya suatu sikap hidup yang berserah penuh kepada kerahiman Allah sehingga setiap aspek kepribadian atau mental kita diperbarui dengan kuasa Roh Kudus. Karena itu dampak iman kepada Kristus bersifat transformatif. Sikap iman kepada Kristus ditandai oleh pembaruan hidup. Penulis surat Ibrani menyatakan bahwa melalui karya penebusan-Nya Kristus membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri (Ibr. 10:20). Jalan hidup kita yang lama dan yang binasa telah menjadi masa lampau belaka. Sebaliknya di dalam Kristus, kita memiliki jalan hidup yang baru dan yang hidup di masa kini. Di dalam Kristus, Allah menciptakan kita menjadi manusia baru. Karena itu di masa kini kita dimampukan untuk menjalani kehidupan yang dilimpahi oleh kemurahan dan kerahiman Allah, yaitu suatu kehidupan yang ditandai oleh pengampunan dan kepedulian kepada sesama di sekitar kita.

Kematian Kristus selain melimpahi kita dengan kemurahan dan kerahiman Allah juga menguduskan hati-nurani kita dari yang jahat. Di Ibrani 10:22, firman Tuhan berkata: “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.” Kita akan gagal di jalan yang baru dan yang hidup bersama Kristus apabila hati-nurani kita masih dikuasai oleh luka-luka akibat dosa. Perbuatan dosa senantiasa menghasilkan trauma dalam batin kita. Sebab hati-nurani adalah pusat kesadaran kita sebagai manusia untuk membedakan apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan jahat, apa yang kudus dan cemar. Fungsi hati-nurani terlihat di Roma 2:15, Rasul Paulus berkata: “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” Kita mengetahui bahwa saat kita akan melakukan suatu pelanggaran, hati-nurani kita mengingatkan atau mencegah kita. Namun saat hawa-nafsu atau keinginan kita lebih kuat, sehingga akhirnya kita melakukan pelanggaran tersebut, maka hati-nurani itu akan menuduh kita. Karena itu tidak ada suatu kesalahan atau dosa yang membuat hati kita menjadi tenang. Kita akan terus dikejar oleh perasaan bersalah. Namun di dalam iman kepada Tuhan Yesus, Allah berkenan memulihkan hati-nurani kita. Allah mengampuni kita dengan anugerah-Nya sehingga damai-sejahtera Kristus menguasai seluruh hati kita. Hidup kita di dalam Tuhan Yesus bagaikan emas murni, bukan lagi emas sepuhan.

Karena itu marilah kita hidup dalam pengampunan dan pembaruan Roh Kudus sehingga kepribadian kita memancarkan karya penebusan Kristus. Kita tidak lagi hidup dalam kepalsuan. Topeng-topeng kemunafikan telah kita lepaskan, sebab hidup kita kini dikuasai oleh anugerah Allah. Hati kita diliputi oleh damai-sejahtera Kristus, sehingga kita lebih tegar dan tenang menghadapi berbagai permasalahan yang menerpa kita. Karena kita sadar akan jati-diri kita yang berharga seperti emas murni, yaitu telah dibasuh oleh darah Kristus. Sebaliknya tanpa damai-sejahtera Kristus, kita akan gelisah, gampang tersinggung dan emosional dalam menghadapi orang-orang yang kurang berkenan di hati kita. Jadi saat kita mudah gelisah, tersinggung dan emosional dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari adalah karena hidup kita masih memiliki kadar emas sepuhan, bukan emas murni. Apakah hidup rohani Saudara-saudara kini dengan kadar emas murni ataukah kadar emas tiruan dan sepuhan? Tuhan memanggil setiap kita untuk hidup murni dalam anugerah kasih-Nya. Karena itu marilah kita memiliki hati emas Tuhan, sehingga kita menjadi para pribadi yang pemaaf, dan pemurah kepada sesama di sekitar kita. Amin.

————————————————————————————–

Tambahkanlah Iman Kami

Hab. 1:1-4, 2:1-4; Mzm. 37:1-9; 2Tim. 1:1-14; Luk. 17:5-10

Para murid Yesus berkata kepada Yesus: “Tambahkanlah iman kami” (Luk. 17:5). Pernyataan para murid Yesus menegaskan prinsip yang mendasar yaitu “iman adalah anugerah Allah.” Terhadap permintaan para murid-Nya Yesus berkata: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja….” (Luk. 17:6a). Dengan demikian hakikat iman mengandung dua dimensi, yaitu: 1). Iman dikaruniakan oleh Allah, 2). Dan akan bermakna apabila direspons dengan sikap tertentu. Apabila iman sebagai karunia Allah direspons dengan perilaku, maka: “Kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu” (Luk. 17:6b). Makna ucapan Yesus tersebut adalah sikap iman akan menghasilkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi nyata. Yang mustahil akan menjadi realita. Itulah kekuatan iman kepada Tuhan, sebab iman bersandar kepada Allah dan kuasa-Nya. Mazmur 37:5 berkata: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak.”

Kata “iman” berasal dari kata Ibrani “emunah.” Makna kata “emunah” adalah berserah diri kepada Allah. Iman sebagai anugerah Allah harus direspons oleh manusia. Di Kejadian 15:6 menyatakan: “Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Kata “percaya” di Kejadian 15:6 adalah “emunah.” Abraham “emunah” kepada Allah walau dia belum mempunyai anak tetapi percaya akan janji Allah. Allah berjanji bahwa keturunan Abraham akan sebanyak bintang-bintang di langit. Dengan demikian makna “iman” adalah percaya dan berserah diri kepada Allah walau janji-Nya belum dinyatakan. Karena itu dalam sikap “emunah” umat merespons dengan kata “amin.” Yang mana kata “amin” berasal dari kata “amen” (Ibrani) yang berarti: benar, sungguh, ya, pasti. Perhatikanlah kata “iman,” “emunah” dan “amen” mengandung konsonan huruf “mn” yang dalam bahasa Ibrani artinya: berpegang teguh. Jadi jelas makna iman berarti sikap umat yang berpegang teguh kepada Allah walau belum melihat secara inderawi. Yesus berkata: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yoh. 20:29).

Kegagalan kita untuk berpegang teguh kepada Allah dengan sikap iman karena kecenderungan diri kita untuk mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan. Sikap tersebut bukan sekadar sikap percaya diri (self-confidence) tetapi utamanya dilandasi oleh sikap sombong. Kita menganggap tidak membutuhkan Allah sejauh kita bisa mengatasinya. Padahal seharusnya iman meresapi dan menjiwai setiap aspek kehidupan kita. Di Roma 14:23 Rasul Paulus berkata: “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa.” Hakikat iman (emunah) bukan hanya bidang rohaniah saja tetapi seluruh aspek kehidupan umat manusia. Sebab apabila kita melakukan sesuatu tanpa sikap iman, maka tindakan kita tersebut tidak memuliakan Allah walau tujuannya baik dan mulia. Misalkan kita memberi persembahan untuk orang-orang yang kekurangan/miskin. Tentu tindakan kita tersebut baik dan mulia, tetapi apabila kita melakukan untuk mencari kehormatan diri, Allah akan menolak. Sikap iman (emunah) selalu berkaitan dengan kesetiaan yang tulus. Karena itu hakikat iman (emunah) selalu berkaitan dengan ne’eman yang artinya: setia. Bandingkan kata iman yaitu “faith” (Inggris) berhubungan erat dengan “faithfulness” yang artinya: setia. Iman dan kesetiaan yang tanpa pamrih adalah emunah kepada Allah (berserah dan mempercayakan hidup secara total kepada Dia).

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sikap iman menjadi satu dengan kesetiaan kepada Allah, karena itu orientasi hidup umat percaya dinyatakan dalam sikap kasih yang taat kepada-Nya. Untuk itu umat percaya tidak akan mengutamakan zona aman yaitu situasi yang selama ini menyenangkan secara duniawi. Umat percaya bersedia meninggalkan zona aman asalkan melakukan kehendak Allah dengan kasih dan taat kepada-Nya. Abraham bersedia meninggalkan Ur-Kasdim menuju negeri yang tidak ia ketahui (Kej. 12:1). Sikap iman (emunah) umat yang dilandasi oleh ne’eman yaitu kesetiaan kepada Allah akan berani melakukan “lompatan.” Beriman kepada Allah berarti kita bersedia tunduk dan taat kepada firman-Nya sehingga kita berani melakukan “lompatan iman” meninggalkan zona aman yang ada. Dalam bacaan Lukas 17:5, konteksnya adalah perintah Yesus agar kita mampu mengampuni seorang saudara yang telah bersalah 7x sehari. Tanpa “lompatan iman” kita tidak akan mampu mengampuni seorang saudara kita yang telah menyakiti hati kita sebanyak 7x sehari. Tanpa “lompatan iman” kita akan lebih memilih untuk menyimpan kemarahan, kebencian, dan ingin membalas dendam atas perbuatannya.

Para murid Yesus mohon kepada Yesus: “Tambahkanlah iman kami” (Luk. 17:5) dengan tujuan agar setiap aspek hidup mereka diresapi oleh sikap berserah diri dan memuliakan Allah, tetapi juga agar mereka mampu membuat “lompatan iman.” Tanpa iman yang diberi anugerah tambahan/ekstra, kita tidak dapat melompat ke tempat yang tepat. Kita membutuhkan anugerah Allah yang meneguhkan iman (emunah) sehingga hidup kita setia (ne’eman) kepada Allah.

Untuk didiskusikan:

  1. Apakah perbedaan antara sikap iman dan percaya diri? Bukankah sikap percaya diri adalah hal yang baik dan positif? Ataukah sikap percaya diri akan membangun dan berkenan kepada Allah apabila dilandasi oleh sikap iman?
  2. Mengapa setiap aspek dalam kehidupan kita harus dilandasi oleh iman? Bandingkan dengan Roma 14:23. Berikanlah 1 contoh perbuatan baik/saleh tetapi tidak dilandasi oleh sikap iman.
  3. Abraham berani meninggalkan tempat kelahiran dan lingkungan yang aman di Ur-Kasdim. Dia berani melakukan lompatan iman pergi ke tempat yang tidak ia ketahui karena taat kepada Allah. Berikan 1 contoh tindakan “lompatan iman” yang pernah Saudara alami.

————————————————————————————–

Keluarga yang Mempersembahkan Diri

1 Samuel 1:19-28

Keluarga Elkana dan Hana mempersembahkan Samuel, anaknya kepada Tuhan. Sebagai seorang wanita, Hana sangat menderita sebab dia mandul dan diejek oleh madunya yaitu Penina. Dalam budaya Israel, seorang wanita yang tidak mampu melahirkan adalah suatu aib. Karena itu Hana bernazar agar dikaruniai anak. Nazar Hana adalah: “TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya” (1Sam. 1:11). Apabila Tuhan mengaruniakan anak kepadanya, maka Hana akan mempersembahkan anak tersebut kepada Tuhan untuk seumur hidupnya. Ternyata Tuhan mengabulkan permohonan Hana. Anak tersebut kemudian diberi nama Samuel. Arti nama “Samuel” adalah: “Aku telah memintanya dari pada TUHAN.”

Hana bergumul dalam doa dan tangisan yang sangat panjang untuk mendapat seorang anak. Namun setelah ia memperoleh seorang anak, ia mempersembahkan dengan ikhlas kepada Tuhan. Apa yang Hana peroleh dengan susah-payah dan air-mata, ia lepaskan kembali untuk pekerjaan Allah. Bukankah kecenderungan dan sikap manusia pada umumnya tidaklah demikian? Kita cenderung mempertahankan erat-erat sesuatu yang kita peroleh dengan perjuangan yang berat. Sebaliknya kita umumnya mudah melepaskan sesuatu yang diperoleh dengan tanpa perjuangan. Sikap Hana tersebut meniru model sikap iman Abraham. Abraham memperoleh Ishak anaknya dengan penantian yang panjang sampai usia lanjut, namun ia bersedia mengorbankan Ishak kepada Allah. Perbedaannya: dalam kasus Abraham, Allah yang meminta agar Ishak dikurbankan sedangkan dalam kasus Hana, ia sendiri yang berinisiatif untuk menyerahkan Samuel kepada Allah. Sikap iman yang murni adalah kesediaan diri untuk melepaskan kembali. Iman kepada Allah adalah menghayati kehidupannya sebagai milik Allah sehingga ia bersedia menyerahkan dengan ikhlas apapun yang diminta oleh Allah atau apa pun yang telah dinazarkan kepada-Nya.

Makna keluarga yang mempersembahkan diri dalam konteks ini adalah persembahan yang lahir dari sikap iman kepada Allah. Karena itu makna persembahan diri dalam keluarga tersebut merupakan penyerahan anggota keluarga agar dipakai Allah dalam karya-Nya. Dalam tradisi iman Kristen, penyerahan anggota keluarga tersebut terjadi melalui sakramen Baptisan Anak. Melalui sakramen Baptisan Anak, Allah berkenan mengikat anak-anak dalam perjanjian kasih-karunia-Nya. Menurut tradisi iman Yudaisme, setiap anak Israel yang berumur 8 hari wajib disunat sebagai wujud perjanjian dengan Allah (Im. 12:3). Melalui sakramen Baptisan Anak, Allah menguduskan mereka sebagai milik-Nya sehingga setiap karya dan profesi anak-anak tersebut kelak akan dipakai untuk kemuliaan-Nya. Setiap karya dan profesi adalah kudus. Karena itu para orang-tua tidak perlu memaksakan kehendak agar anak-anak mereka mengambil bidang studi dan profesi yang tidak diminati. Sebaliknya orang-tua dipanggil untuk memberi motivasi dan mendukung anak-anak mereka untuk mengembangkan setiap talenta/bakatnya secara optimal.

Salah satu panggilan yang perlu didoakan dan didukung setiap keluarga adalah panggilan melayani Tuhan secara penuh waktu menjadi seorang Pendeta. Gereja-gereja Tuhan di masa mendatang membutuhkan anggota jemaat yang terpanggil, memiliki kemampuan, berdedikasi tinggi dan integritas diri untuk melayani Tuhan di tengah jemaat-Nya. Kita menyadari permasalahan umat manusia pada masa kini sangatlah kompleks sehingga gereja Tuhan membutuhkan tenaga pelayan yang semakin terlatih dan bersedia belajar tanpa henti, serta kesediaan untuk menjalin kerjasama dengan semua pihak. Karena itu persembahan keluarga agar salah seorang anaknya menjadi tenaga pelayan Tuhan penuh waktu adalah sangatlah wajar apabila mempertimbangkan aspek-aspek di atas.

Dalam arti yang lebih luas, makna persembahan diri dalam keluarga adalah setiap anggota keluarga terpanggil untuk melayani Tuhan dalam salah satu bidang atau tugas dalam kehidupan jemaat. Kita bersyukur apabila makna kebersamaan dalam keluarga bukan hanya terjadi saat kita berjalan-jalan di mall atau tempat pariwisata tetapi juga dalam kebaktian dan pelayanan gerejawi. Jika demikian, sejauh mana kita telah terlibat beribadah dan melayani Tuhan bersama dengan anggota keluarga kita? Marilah kita mempersembahkan hidup dan keluarga kita sebagai persembahan yang terbaik untuk Allah dan karya-Nya.

————————————————————————————–

Mengokohkan Relasi Kasih dalam Keluarga

1 Korintus 13:1-13

Siapakah pelaku kekerasan secara verbal dan fisik yang sering terjadi? Ternyata anggota keluarga yang terbanyak melakukan kekerasan kepada anggota keluarga yang lain. Padahal setiap anggota keluarga umumnya dibangun di atas tiga pilar yaitu: 1). Kasih, 2). Komitmen, 3). Cita-cita yang mulia. Namun yang paling sulit diwujudkan dalam membangun keluarga adalah kesediaan merawat cinta-kasih, komitmen dan cita-cita mulia tersebut. Dalam perjalanannya sebagai keluarga kita menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai. Kerusakan relasi tersebut bisa disebabkan salah satu atau dua belah pihak mengingkari janji pernikahan mereka sehingga terjadi pertikaian dan perceraian.

Janji pernikahan yang diikrarkan yaitu: “Aku berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu, akan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, pada waktu susah maupun senang sampai kematian memisahkan kita” — seolah menguap tanpa makna. Jikalau demikian, kesulitan terbesar setiap umat untuk mengokohkan relasi kasih dalam keluarga adalah mewujudkan ikrar pernikahan mereka. Dari percakapan gerejawi umumnya setiap mempelai menyatakan bahwa mereka mengasihi pasangannya. Karena itu janji/ikrar mereka merupakan wujud dari kasih. Tetapi mengapa mereka gagal mewujudkan ikrar tersebut dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka? Bukankah mereka telah memupuk cinta-kasih, komitmen dan cita-cita yang mulia sepanjang masa berpacaran?

Umumnya pada awal berpacaran, dua orang yang saling mencinta disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: perhatian, kesamaan minat, intensitas pertemuan, perasaan tertarik yang sifatnya fisik, dan sebagainya. Tetapi saat mereka membangun rumah-tangga aspek-aspek yang penting tersebut justru sering diabaikan. Dorongan hati yang mengasihi berubah menjadi suam-suam kuku. Secara hormonal, mereka tidak lagi dipengaruhi oleh hormon oksitosin. Hormon oksitosin akan berpengaruh saat mereka berdua digerakkan oleh cinta-kasih. Karena itu kasih adalah penggerak daya kehidupan yang vital. Tanpa kasih, kita akan kehilangan persepsi sehingga segala sesuatu yang dilakukan pasangan kita tidak menarik bahkan dianggap menyebalkan. Namun tidaklah demikian halnya dengan kasih. Sebab kasih akan menghasilkan sikap sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain (1Kor. 13:4-5).

Kasih sejati bersumber pada diri Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Karena itu kekeringan kasih dalam relasi suami-istri, orang-tua dan anak, serta sesama saudara disebabkan kekeringan kasih dalam relasi dengan Allah. Dengan pemahaman teologis demikian, bukankah seharusnya setiap umat percaya tidak mengalami masalah dalam relasinya dengan anggota keluarga sebab kita hidup dalam iman dan kasih kepada Allah. Tetapi faktanya sebagai jemaat Tuhan cukup banyak orang yang bermasalah dengan anggota keluarganya. Tidak setiap keluarga Kristen adalah keluarga yang bahagia. Apa yang menjadi sumber masalahnya? Jawabannya adalah karena sebagai jemaat kita tidak senantiasa menghidupi kasih Allah secara utuh, yaitu kasih yang meresapi setiap aspek kehidupan yang rohani dan sekuler. Karena tanpa kasih yang utuh, maka kehidupan kita terpecah-pecah. Pribadi kita tidak lagi utuh dalam kasih dan pengampunan Allah, sebaliknya pribadi kita mengalami “keretakan.” Itu sebabnya relasi kita dengan anggota keluarga dan sesama mengalami keretakan dan perpecahan.

Panggilan Allah agar kita mengokohkan kembali relasi dalam keluarga apabila kita bersedia dipulihkan Kristus dalam kuasa kasih-Nya. Keretakan dalam kepribadian kita perlu direkatkan oleh kuasa darah Kristus. Surat 1 Petrus 2:24 menyatakan: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” Karya penebusan Kristus menjadi sumber pemulihan untuk mengokohkan kembali relasi dalam keluarga yang retak. Sebab melalui karya penebusan Kristus, kita dimampukan untuk memiliki dan memberlakukan kasih Allah yang terus membarui dan memberi makna yang baru.

Apakah bangunan keluarga kita telah dibangun di atas dasar karya penebusan Kristus ataukah karya buatan sendiri sehingga kita bermegah? Ingatlah keluarga kita hanya bertahan apabila menempatkan Kristus sebagai pusat dan dasar kehidupan kita. Jadi mari kita bangun keluarga kita di atas dasar kasih Kristus yang bersedia memberikan dan mengorbankan hidup-Nya bagi kita.

————————————————————————————–

Berdoa dalam Kerendahan-hati

Kej. 18:20-32; Mzm. 138; Kol. 2:6-15; Luk. 11:1-13

 Doa adalah relasi personal dengan Allah. Namun kita memahami bahwa dalam setiap relasi personal terbuka kemungkinan tindakan manipulatif. Demikian pula dalam kehidupan doa. Tidak setiap doa bernilai benar di hadapan Allah karena di dalamnya mengandung motif yang tidak murni. Doa sering dipanjatkan dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan yang egoistis dan duniawi. Makna ucapan Yesus yaitu:

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk. 11:9) dipahami umat sebagai janji dan jaminan Yesus bahwa apapun yang kita minta dikabulkan Allah. Tentunya Allah akan memberikan jawaban atas doa-doa kita sejauh doa-doa tersebut benar di hadapan-Nya. Sangat menarik jawaban Yesus di Lukas 11:13 yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan jawaban atas sebuah doa berupa Roh Kudus.

Umat seringkali tidak menyadari bahwa jawaban doa yang terbaik dari Allah adalah anugerah Roh Kudus. Di Lukas 11:13 Yesus berkata: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” Roh Kudus adalah jawaban doa yang terbaik karena melalui karya Roh Kudus kita mampu melihat setiap persoalan, masalah, beban, pergumulan, penderitaan, dan kegagalan dalam terang-Nya. Sebab tanpa terang Roh Kudus, mata hati dan nurani kita akan digelapkan oleh setiap persoalan sehingga kita mudah menjadi putus-asa dan mengalami kebingungan. Tanpa pertolongan Roh Kudus, kita tidak berdaya dan tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa. Pengajaran Yesus tersebut juga dikemukakan oleh Rasul Paulus, yaitu Roh Kudus membantu kita dalam kelemahan kita sehingga Ia sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Rm. 8:26). Karena itu kekeringan rohani dan perasaan hampa yang sering menggerogoti umat dalam kehidupan sehari-hari apabila setiap doa kita belum dilimpahi oleh Roh Kudus.

Apabila kita memahami makna narasi Kejadian 18:20-32, maka kita dapat melihat bahwa Abraham menaikkan doa secara intensif dan tidak mudah menyerah karena ia mendoakan keselamatan orang-orang yang tidak bersalah di kota Sodom dan Gomora. Inti dan motif doa syafaat Abraham adalah: “Apakah Allah akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” (Kej. 18:23). Karena itu Abraham mengajukan syafaat seandainya terdapat 50 orang yang hidup benar. Doa syafaat Abraham tidak mengenal lelah. Ia akhirnya mengajukan permohonan yaitu apabila terdapat 10 orang yang hidup benar. Ternyata kota Sodom dan Gomora begitu rusak secara struktural sehingga hampir secara keseluruhan mereka berdosa di hadapan Allah. Doa syafaat Abraham adalah doa yang dilimpahi oleh Roh Kudus. Sebab di dalam doa syafaat Abraham sama sekali tidak terdapat motif untuk memeroleh keuntungan pribadi atau memuaskan kecenderungan yang duniawi. Abraham benar-benar peduli dengan keselamatan orang-orang yang hidup benar.

Landasan doa yang dilimpahi oleh Roh Kudus adalah sebagaimana Allah senantiasa memberikan atau mengabulkan doa untuk kebaikan, maka seharusnya umat juga memohon secara baik pula. Di Lukas 11:13 Yesus berkata: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!” Konsekuensi etis-moralnya adalah setiap umat dipanggil untuk menaikkan permohonan dengan motif dan spiritualitas yang benar di hadapan Allah sebagaimana Allah sebagai Bapa senantiasa memberikan yang baik bagi umat-Nya. Karena itu doa kita adalah cermin kualitas etis-moral dan spiritualitas kita. Doa yang kita panjatkan kepada Allah merupakan ciri identitias diri kita yang sesungguhnya. Setiap doa yang kita panjatkan mencerminkan realitas keberadaan diri kita di hadapan Allah dan sesama. Doa yang kita panjatkan tersebut bukan hanya yang terlihat di depan sesama, tetapi utamanya adalah doa yang kita naikkan secara pribadi di hadapan Allah.

Doa yang dilimpahi oleh Roh Kudus pada prinsipnya mengandung lima elemen, yaitu: 1). Pengajaran iman yang benar, 2). Perenungan/refleksi yang jujur, 3). Karakter yang diubahkan, 4). Permohonan sesuai kebutuhan riil, 5). Kesungguhan hati. Isi dan hakikat doa seharusnya dijiwai oleh pengajaran iman yang direnungkan di hadapan Allah secara jujur, sehingga Roh Kudus memproses pembaruan karakter kita untuk membedakan kebutuhan riil dengan keinginan. Doa-doa tersebut akan dinaikkan umat percaya dengan sungguh-sungguh dan dalam ketekunan iman. Melalui doa-doa yang demikian kita memuliakan Allah dengan menyangkal diri. Jika demikian bagaimanakah doa-doa Saudara?

————————————————————————————–

Hidup yang Tidak Sia-sia

Pkb. 1:1-14, 2:18-23; Mzm. 49; Kol. 3:1-11; Luk. 12:13-21

Sukses dan kaya berbeda dengan orang yang mencintai uang. Sukses dan kaya adalah hasil usaha dan ketekunan yang konstruktif dan cerdas. Sebaliknya tipe orang yang mencintai uang belum tentu dia sukses dan kaya. Sebab orang yang hidup dalam kekurangan atau kemiskinan juga bisa mencintai uang. Inti pengajaran Yesus dalam Lukas 12:13-21 bukanlah anti terhadap kekayaan. Yesus mengingatkan bahaya dari sikap serakah atau ketamakan. Di Lukas 12:15 Yesus berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” Kata “tamak” berasal dari kata pleonexia, yang artinya: “keinginan tak terpuaskan untuk memiliki apa yang seharusnya menjadi hak orang lain.” William Barclay mendefinisikan sebagai sikap yang mengejar kepentingan pribadi dengan mengabaikan hak-hak orang lain tanpa pertimbangan kemanusiaan.

Problem etis yang utama bukan karena tokoh dalam kisah Injil Lukas 12:13-21 mampu merombak lumbung-lumbungnya untuk membangun usaha yang lebih besar, tetapi bagaimanakah ia mengumpulkan uang untuk melakukan semua pengembangan bisnis dan rumahnya. Sejauh ia mampu mengumpulkan uang dengan cara yang benar dan jujur, Allah akan memberkati. Tetapi karena ia bersikap serakah, maka ia berhasil memeroleh kekayaan dengan cara merampas hak orang lain dan berlaku kejam. Kekayaan yang diperoleh bukan dilandasi oleh nilai-nilai etis-moral dan spiritualitas iman. Itu sebabnya Yesus menyebut ia tidak kaya di hadapan Allah. Makna “tidak kaya” di hadapan Allah memakai kata plousios, artinya seseorang yang melekat kepada kekayaannya daripada kepada Allah Sang Sumber Kehidupan. Kata plousios dapat kita lihat pula di Lukas 18:23, yaitu: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.” Konteksnya adalah ia sedih sebab Yesus menyuruh orang kaya tersebut menjual hartanya. Ia sedih karena melekat dengan kekayaannya. Karena itu keserakahan atau ketamakan adalah sikap rohaniah yang melekat dengan sesuatu sehingga ia menghalalkan segala cara dan berlaku kejam kepada sesamanya.

Menurut ukuran iman, keserakahan atau ketamakan bukan hanya buruk secara etis-moral tetapi juga dikategorikan dengan penyembahan berhala. Di Kolose 3:5 Rasul Paulus berkata: “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” Dengan demikian ketamakan merupakan tindakan yang secara rohaniah memberhalakan materi dan uang sebagai ilah. Orang-orang yang tamak adalah para penyembah berhala walau secara formal mereka berstatus sebagai orang Kristen/beragama. Sesungguhnya mereka tidak menyembah dan mempermuliakan Allah tetapi harta atau uangnya. Di Lukas 12:34 Yesus berkata:

“Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Jika demikian yang perlu diwaspadai bukanlah kekayaan tetapi bagaimanakah sikap hati kita. Sebab sikap hati kita yang akan menentukan bagaimanakah kita harus menempatkan setiap harta milik secara tepat dan benar di hadapan Allah. Karena itu ketamakan bisa dilakukan oleh siapapun juga apakah dia seorang yang kaya ataukah miskin, berpendidikan tinggi atau biasa, beragama atau kurang beragama.

Urgensi hidup umat manusia adalah bagaimanakah dia hidup di hadapan Allah? Inilah dimensi terdalam dari spiritualitas. Pada sisi yang lain kualitas dari spiritualitas kita ditentukan oleh sikap iman yaitu relasi personal dengan Allah. Seharusnya relasi personal dengan Allah yang dihayati sebagai iman memurnikan spiritualitas umat sehingga umat mampu jujur di hadapan Allah. Karena itu kunci untuk menghancurkan setiap keserakahan atau ketamakan adalah jujur di hadapan Allah (coram Deo). Kita akan mampu jujur di hadapan Allah, jikalau kita mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal-budi kita. Spiritualitas jujur di hadapan Allah akan memampukan umat untuk mengambil jarak terhadap segala yang dimiliki, sehingga “orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor. 7:31). Sebab spiritualitas “jarak” dalam sikap iman memampukan kita untuk tidak melekat kepada semua harta milik. Sebab kita hanya mau melekat kepada Allah, dan bukan kepada ilah-ilah dunia ini.

Jikalau demikian, apakah Saudara masih melekat dengan milik yaitu harta, uang, properti, kedudukan dan kekuasaan? Jika ya, berarti kita masih menyembah berhala. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau kita dalam hidup sehari-hari mempraktikkan keserakahan dan manipulasi.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Kumpulan Renungan II

$
0
0

Persembahan Hana dan Elkana

1 Samuel 1:9-28

Semakin sulit kita mendapatkan sesuatu, semakin sulit kita melepaskan pergi. Namun prinsip ini tidak berlaku bagi Hana dan Elkana. Sebelumnya hati Hana sedih karena ia tidak mendapatkan anak dari perkawinannya dengan Elkana, apalagi dia sering dilukai dan dihina oleh madunya yaitu Penina. Hana disebut mandul. Namun akhirnya Tuhan berkenan mendengarkan doa Hana, sehingga ia dapat mengandung dan melahirkan seorang anak bernama Samuel. Apa yang dilakukan Hana setelah ia memeroleh Samuel? Hana kemudian mempersembahkan Samuel sejak kecil untuk melayani Tuhan di Bait-Nya dalam asuhan Imam Eli. Sikap Hana tersebut mengingatkan kita akan sikap Abraham yang ikhlas mempersembahkan Ishak sebagai korban kepada Tuhan, walaupun Abraham dan Sara memeroleh Ishak setelah puluhan tahun berupaya dan berdoa. Mereka sangat sulit memeroleh anak, namun mereka ikhlas menyerahkan anaknya kepada Tuhan. Lebih daripada itu mereka memberikan anak-anak yang terbaik kepada Tuhan.

Dalam perjalanan sejarah umat Israel dapat dicatat bahwa Samuel kelak menjadi seorang Hakim yang terbesar. Dialah yang menobatkan Saul menjadi raja Israel yang pertama dan Daud sebagai pengganti Saul. Samuel bukan hanya memiliki kemampuan, kepandaian dan kharisma seorang pemimpin, tetapi juga pengabdian yang total kepada Tuhan sehingga melayani Tuhan sampai pada akhirnya. Bila kita menghendaki gereja Tuhan semakin bertumbuh, maka kita membutuhkan anak-anak yang terbaik untuk dipersiapkan menjadi para calon pendeta. Jangan sampai kita mengirim anak-anak yang tidak memiliki komitmen, tidak memiliki karakter untuk melayani Tuhan dan tidak diterima di berbagai perguruan tinggi, lalu terpikir untuk menyuruh mereka mengikuti pendidikan teologi. Sebab pendidikan teologi adalah pendidikan akademis dan spiritualitas yang bersifat khusus sehingga para calon mahasiswa teologi harus memenuhi berbagai persyaratan sebelum ia diterima.

Ke depan kita perlu menyiapkan para calon pendeta secara terencana dan dipersiapkan dengan baik, sebab kebutuhan para calon pendeta semakin tinggi namun dengan tuntutan yang semakin sulit. Sebab tidak setiap orang yang menempuh pendidikan teologi dapat lulus. Seandainya ia lulus belum tentu ia dapat melewati proses bina kader calon pendeta. Kemudian seandainya ia lulus sebagai calon pendeta, belum tentu ia dapat ditahbiskan sebagai pendeta. Situasi dan pergumulan umat manusia semakin kompleks, sehingga pendidikan teologi dan proses bina kader calon pendeta membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang semakin berkualitas tinggi. Kebutuhan SDM ini hanya dapat terwujud apabila setiap anggota jemaat mendidik anak-anaknya dengan disiplin, spiritualitas yang sehat dan lingkungan keluarga yang baik, lalu mendoakan agar salah seorang dari anak-anak mereka dapat menjadi seorang pendeta yang dipakai oleh Tuhan.

Di bulan Keluarga ini kita diajak menghayati peran sebagai anggota Keluarga Allah di dalam Yesus Kristus, dan secara khusus sebagai Keluarga jemaat GKI. Karena itu kecintaan kepada gereja perlu kita pupuk sejak anak-anak kita masih kecil sampai dewasa, sehingga mereka dapat mempersembahkan hidupnya bagi gereja-Nya. Amin.

————————————————————————————

Lebih dari Mukjizat

Yes. 40:21-31; Mzm. 147:1-11; 1Kor. 9:16-23; Mark. 1:29-39

Mukjizat dipahami sebagai kejadian yang tidak dapat dijelaskan oleh hukum-hukum alam. Suatu peristiwa supernatural yang terjadi di tengah-tengah situasi natural. Tuhan Yesus dalam hidup-Nya ditandai oleh kemampuan mengadakan mukjizat, yaitu menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, meredakan angin badai di danau, menggandakan roti, mengubah air menjadi anggur, membangkitkan orang mati, dan sebagainya. Di Markus 1:30-31, Yesus menyembuhkan mama mertua Petrus yang sakit demam. Sesudah matahari terbenam Injil Markus mempersaksikan “dibawalah kepada Yesus semua orang yang menderita sakit dan kerasukan setan” (Mark. 1:32-34). Mukjizat terjadi karena kuasa ilahi berada dalam Dia, sehingga: “ada kuasa yang keluar daripada-Nya dan semua orang itu disembuhkan-Nya” (Luk. 6:19).

Demonstrasi Yesus melakukan mukjizat adalah untuk menyatakan bahwa Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya dan karena itu Yesus adalah Sang Mesias, Anak Allah. Umat disembuhkan Yesus adalah agar mereka mengalami pemulihan dan percaya bahwa Dialah Juru-selamat. Mukjizat yang dilakukan oleh Yesus bukan sekedar untuk membuat banyak orang kagum dan memuja Dia, namun agar mereka percaya bahwa Allah telah melawat dalam kehidupan manusia. Karena itu setiap orang dipanggil untuk merespons dengan pola hidup yang benar di hadapan Allah. Setelah ibu mertua Petrus disembuhkan, ia segera melayani Yesus. Jadi penyembuhan yang dilakukan Yesus bukan sekedar orang tersebut dapat pulih dari sakitnya, tetapi memulihkan kembali martabatnya sebagai gambar dan rupa Allah. Yesus hadir bukan sekedar tabib (dokter), tetapi sebagai Juru-selamat. Namun ternyata motif banyak orang hendak menjadikan dia sekedar tabib.

Di Markus 1:37 menyatakan: “semua orang mencari Engkau.” Kata “mencari” dari kata zeteo, yang berarti: “mendapatkan kembali sesuatu yang pernah mereka miliki.” Pernyataan Markus 1:37 menyimpulkan bahwa orang-orang Kapernaum menganggap Yesus sebagai milik mereka pribadi. Mereka hendak menahan Yesus di kota mereka sendiri agar semakin banyak menyembuhkan orang-orang Kapernaum saja. Respons Yesus adalah menolak upaya orang-orang Kapernaum untuk menguasai dan memonopoli diri-Nya. Yesus menegaskan bahwa Dia datang untuk mengabarkan Injil ke seluruh wilayah (Mark. 1:38). Tuhan Yesus bukan hanya milik salah satu denominasi gereja, namun bagi semua gereja, bahkan bagi seluruh umat manusia. Tuhan Yesus adalah Juru-selamat bagi seluruh umat manusia, agama-agama, dan golongan. Karena itu selaku umat percaya kita tidak boleh terjebak hanya berfokus pada pelayanan intern umat, kita juga dipanggil untuk menjadi berkat bagi banyak orang, yaitu masyarakat di sekitar kita.

————————————————————————————

Mempengaruhi, bukan Dipengaruhi

(1Tesalonika 2:1-12)

Tidak setiap tindakan “mempengaruhi” lebih baik dari pada “dipengaruhi” oleh orang lain. Kita akan lebih memilih dipengaruhi oleh hal-hal yang baik, dan membangun daripada mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal yang buruk dan merusak. Karena itu makna tema “mempengaruhi, bukan dipengaruhi” dalam konteks ini harus dilihat dari perspektif nilai-nilai Injil Kerajaan Allah. Kita dipanggil untuk mempengaruhi dunia dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh firman Tuhan, dan sebaliknya kita harus mampu menolak pengaruh dunia untuk berpaling dari kebenaran Kristus. Tindakan mempengaruhi dengan nilai-nilai Injil Kerajaan Allah, dan kemampuan menolak pengaruh dunia tidaklah mudah. Ini merupakan jalan yang panjang, sulit, dan berliku. Kita harus mengakui bahwa tidak setiap langkah dan keputusan kita senantiasa dapat dipertanggungjawabkan secara etis-iman. Kita sering membiarkan diri dipengaruhi oleh dunia, dan mengikuti kehendak daging. Tanpa memiliki integritas, dan kesetiaan kepada Kristus, kita akan mudah berpaling dari kebenaran-Nya dan mengikuti jalan dunia.

Di Surat 1Tesalonika 2:2 Rasul Paulus mempersaksikan sikap imannya untuk berani memberitakan Injil Allah dalam perjuangan yang berat. Rasul Paulus berkata: “Tetapi sungguhpun kami sebelumnya, seperti kamu tahu, telah dianiaya dan dihina di Filipi, namun dengan pertolongan Allah kita, kami beroleh keberanian untuk memberitakan Injil Allah kepada kamu dalam perjuangan yang berat.” Keberanian Rasul Paulus tersebut dilandasi oleh integritas dan kesetiaan imannya kepada Kristus. Karena itu penderitaan, aniaya, dan penghinaan yang ia alami di Filipi tidak menyurutkan semangatnya untuk memberitakan Injil. Makna tugas pemberitaan Injil dihayati oleh Rasul Paulus bukan sekedar suatu “profesi” namun suatu panggilan. Secara etimologis, makna profesi sebenarnya suatu panggilan (vocation). Artinya hanya orang-orang yang terpanggil untuk menekuni suatu bidang dan berhasil menguasai bidang tersebut dan mengembangkan dengan segenap hatinya saja yang layak disebut sebagai kaum profesional. Perhatikan pernyataan Rasul Paulus di 1Tesalonika 2:4, yaitu: “Sebaliknya, karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita.” Dalam ayat ini Rasul Paulus menyatakan: “Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil.” Ini berarti pemberitaan Injil bukan sekedar suatu “profesi” dalam pengertian sekedar suatu pekerjaan, namun suatu panggilan mulia yang harus dilakukan baik dalam situasi yang kondusif, maupun kurang kondusif.

Secara khusus makna “mempengaruhi” sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul Paulus adalah “bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita” (1Tes. 2:4). Pemberitaan Injil yang dilakukan sekedar suatu pekerjaan atau kewajiban belaka akan cenderung untuk menyukakan hati manusia, dan tidak mampu menyukakan hati Allah. Kita akan dimampukan mempengaruhi dunia akan kebenaran Allah yang membebaskan jikalau kita lebih menyukakan hati Allah daripada menyukakan hati manusia. Sikap hidup tersebut membawa konsekuensi yang tidak senantiasa menyenangkan. Kemungkinan yang terjadi adalah kita akan mendapat perlawanan dan tidak memperoleh dukungan. Dengan demikian tindakan kita yang menyukakan hati Allah berarti kita harus bersedia untuk keluar dari zona aman kita. Di Surat 1Tesalonika 2:5 Rasul Paulus berkata: “Karena kami tidak pernah bermulut manis–hal itu kamu ketahui–dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi–Allah adalah saksi.” Jadi makna mempengaruhi nilai-nilai Kerajaan Allah bukan mengutamakan ucapan yang lahir dari mulut manis, tetapi fokus kepada kehendak Allah dan misi-Nya.

Fokus kepada kehendak Allah dan misi-Nya berarti kita memberlakukan karakter kasih Allah dalam hubungan kita dengan sesama. Makna melakukan kehendak Allah dan misi-Nya tidak berarti kita harus menjadi para pribadi yang “fanatik” dan kaku. Setiap orang yang menghargai martabat manusia akan menolak sikap orang-orang yang fanatik, arogan, dan memaksakan kebenaran tertentu. Karena itu sikap yang “fanatik” dan kaku justru akan menjauhkan kita dari kebenaran. Sebaliknya untuk melakukan kehendak Allah dan misi Allah, kita dipanggil untuk serupa dengan Allah yang berlaku seperti ibu yang mengasuh dan merawati anaknya. Semakin kita mampu bersikap seperti Kristus, kita akan dimampukan untuk mempengaruhi dunia dengan kuasa kasih-Nya. Kasih yang tulus dan lahir dari hati-nurani yang murni akan menghasilkan transformasi bagi sesama di sekitarnya. Karena itu marilah kita mempengaruhi dunia dengan nilai-nilai kasih Allah yang berlaku seperti ibu yang merawat anak-anaknya, dan seperti seorang bapa (1Tes. 2:7, 11).

————————————————————————————

Bersyukur dan Berterima-kasih

2Raj. 5:1-3, 7-15c; Mzm. 111; 2Tim. 2:8-15; Luk. 17:11-19

 Pengantar

Hakikat ungkapan terima kasih bersifat universal. Setiap budaya, adat, filsafat, agama dan teologi selalu mengajar kepada setiap orang untuk berterima-kasih saat mereka memperoleh sesuatu. Dengan demikian seharusnya ucapan terima-kasih telah mendarah-daging dalam kehidupan umat manusia. Itu sebabnya ucapan terima kasih seharusnya selalu muncul secara spontan dan tulus saat seseorang memperoleh sesuatu atau pertolongan. Namun dalam praktek hidup ternyata tidaklah demikian. Kita sering menghadapi kendala untuk menyampaikan terima kasih dengan tulus kepada seseorang yang telah membantu dan memberikan sesuatu. Kendala tersebut disebabkan karena kita menganggap bahwa apa yang dilakukan atau diberikan seseorang kepada kita sebagai sesuatu yang seharusnya. Kita sering merasa bahwa kita layak untuk memperoleh sesuatu atau bantuan tertentu dari orang lain. Persepsi tersebut terbentuk karena mungkin kita sejak masih anak-anak sampai dewasa selalu dilayani dan memperoleh apa yang kita inginkan. Sangat berbeda dengan seseorang yang sejak masih kanak-kanak sampai dewasa mengalami hal yang sebaliknya. Dalam perjuangan hidup yang sangat berat, dia beberapa kali telah mengalami bantuan dan pertolongan dari sesama di luar dugaannya. Dia juga mengingat bagaimana di saat yang sulit dan kritis, tiba-tiba dia memperoleh bantuan sehingga mampu keluar dengan selamat. Pengalaman hidup yang demikian telah mengajar dia untuk selalu mampu menghargai dan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang di sekelilingnya. Tipe orang yang pertama adalah menghayati hidup secara konsumtif, dan tipe orang yang kedua adalah menghayati hidup secara produktif. Tipe konsumtif adalah sikap yang menghayati bahwa realitas kehidupan sebagai sesuatu yang ditujukan untuk melayani kepentingan dirinya. Sedang tipe produktif adalah sikap yang menghayati bahwa realitas kehidupan harus diolah dan diperjuangkan bersama dengan sesama. Karena itu dalam tipe produktif, seseorang selalu menghargai setiap hal yang dialami sebagai suatu berkat atau karunia. Sikap penghargaan tersebut dinyatakan dalam ungkapan terima kasih dan ucapan syukur.

Kesepuluh Orang Kusta

Injil Lukas menyaksikan bagaimana saat Tuhan Yesus dalam perjalananNya ke Yerusalem, Dia didatangi oleh sepuluh orang kusta yang berseru: “Yesus, Guru, kasihanilah kami” (Luk. 17:13). Sebagai orang-orang yang berpenyakit kusta pada zaman itu, maka kesepuluh orang kusta tersebut tidak diperkenankan untuk mendekat kepada orang-orang yang sehat. Hukum Taurat menyatakan bahwa seseorang yang terkena penyakit kusta akan dinyatakan sebagai najis: “Imam haruslah memeriksa penyakit pada kulit itu, dan kalau bulu di tempat penyakit itu sudah berubah menjadi putih, dan penyakit itu kelihatan lebih dalam dari kulit, maka itu penyakit kusta; kalau imam melihat hal itu, haruslah ia menyatakan orang itu najis” (Im. 13:3). Padahal kondisi najis dianggap dapat menular kepada orang lain yang menyentuhnya. Itu sebabnya Im. 5:3 menyatakan: “Atau apabila ia kena kepada kenajisan berasal dari manusia, dengan kenajisan apapun juga ia menjadi najis, tanpa menyadari hal itu, tetapi kemudian ia mengetahuinya, maka ia bersalah”. Untuk memenuhi hukum Musa itu, orang-orang kusta pada zaman itu harus memberi tanda saat mereka lewat dengan perkataan: “Najis, najis”. Tujuannya adalah agar orang-orang di sekitar dapat segera menghindar dari kemungkinan untuk tersentuh anggota tubuh dari orang yang berpenyakit kusta. Dengan demikian kesepuluh orang kusta tersebut harus berdiri cukup jauh dari Yesus dan para muridNya.

Bukankah sangat menarik, kebiasaan orang-orang yang berpenyakit kusta harus mengucapkan yang memberi tanda, yaitu: “Najis, najis” tiba-tiba berubah saat mereka berjumpa dengan Tuhan Yesus. Kesepuluh orang kusta tersebut tidak lagi mengucapkan kata-kata “Najis-najis” kepada Tuhan Yesus, tetapi mereka mengucapkan permohonan: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Makna ungkapan “najis, najis” yang diucapkan oleh orang-orang kusta selain memberi tanda kepada orang-orang di sekitarnya untuk menjauh, juga merupakan ungkapan yang menyakiti diri mereka sendiri. Sebab ungkapan “najis” tersebut menunjuk kepada keadaan tubuhnya yang sedang mengidap penyakit kusta. Keadaan tubuhnya dianggap mereka sebagai sumber atau asal dari kenajisan yang dapat membahayakan dan menajiskan orang-orang di sekitarnya. Para penderita penyakit kusta selalu menderita secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial. Secara fisik, penyakit kusta menyebabkan kulit dan beberapa dari organ-organ tubuh dapat terlepas. Secara emosional, mereka menderita dengan kondisi tubuh yang cacat dan tampak mengerikan. Secara sosial, orang-orang berpenyakit kusta selalu dijauhi dan disingkirkan dalam pergaulan. Bahkan mereka juga harus dipisahkan dari keluarga dan tempat tinggalnya. Karena itu tidak mengherankan jikalau para penderita kusta selalu menganggap penyakit tersebut sebagai suatu hukuman dari Allah (bdk. Bil. 12:10). Karena dianggap sebagai bentuk dari hukuman Allah, maka kesembuhan dari penyakit kusta harus melalui proses ritual pentahiran: “Inilah yang harus menjadi hukum tentang orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya: ia harus dibawa kepada imam” (Im. 14:2).

Firman Yang Memulihkan

Respon Tuhan Yesus terhadap permohonan kesepuluh orang kusta tersebut adalah: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam” (Luk. 17:14). Ternyata saat mereka di perjalanan menuju ke tempat imam, kesepuluh orang kusta tersebut menyadari bahwa mereka telah sembuh. Tampaknya kesepuluh orang kusta tersebut mengalami kesembuhan saat Tuhan Yesus berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam”. Mereka baru menyadari pemulihan dari penyakit kusta setelah mereka berjalan beberapa saat. Perkataan Tuhan Yesus memiliki daya penyembuh saat kesepuluh orang kusta tersebut percaya dengan pergi ke rumah imam. Dengan demikian, kita dapat melihat kuasa firman dari Kristus dan sikap iman dari kesepuluh orang kusta tersebut. Walaupun Tuhan Yesus tidak menyentuh tubuh kesepuluh orang kusta tersebut, firmanNya mampu memulihkan. Kini kita mengetahui bahwa penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri lepra ini termasuk dalam tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit. Karena itu penyembuhan kesepuluh orang kusta tersebut memperlihatkan kuasa mukjizat dari Kristus. SabdaNya berkuasa dan mampu menjadikan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Bacaan leksionari memperlihatkan bagaimana terdapat perbedaan pola kerja Tuhan Yesus dengan pola kerja yang dilakukan oleh nabi Elisa. Naaman, panglima dari kerajaan Aram sakit kusta. Namun karena Naaman seorang abdi kerajaan yang setia dan mampu melakukan tugasnya dengan baik, dia sangat disayang oleh raja Aram. Itu sebabnya raja Aram mengabulkan permintaan Naaman untuk pergi ke Israel karena dia mendengar dari abdi di rumahnya seorang gadis Israel, bahwa di Israel terdapat seorang nabi yang akan mampu menyembuhkan penyakit kusta. Saat Naaman pergi ke rumah nabi Elisa, ternyata Elisa tidak menemui dia. Melalui pembantunya, nabi Elisa berpesan: “Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan, maka tubuhmu akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir” (II Raj. 5:10). Semula Naaman ragu dan kecewa dengan sikap nabi Elisa. Namun akhirnya Naaman melaksanakan perintah nabi Elisa, yaitu dengan mandi 7 kali di sungai Yordan. Setelah Naaman mandi, dia melihat seluruh penyakit kustanya telah sembuh. Pemulihan penyakit kusta dari Naaman yang dinyatakan Allah melalui nabi Elisa membutuhkan media, yaitu mandi 7 kali di sungai Yordan. Tetapi pemulihan kesepuluh orang kusta yang dinyatakan Allah melalui Kristus terjadi melalui sabdaNya. Bahkan sangat menarik, karena ternyata Tuhan Yesus tidak pernah mengucapkan perkataan “sembuh atau tahir”. Tetapi Dia menyuruh kesepuluh orang kusta tersebut menghadap imam. Padahal orang kusta yang berani menghadap seorang imam umumnya sangat yakin bahwa dia telah sembuh. Keyakinan seseorang bahwa dia telah sembuh dari sakit kusta itu harus diuji dan dibuktikan kebenarannya oleh seorang imam.   Jadi inti pesan dari Injil Lukas dalam kisah penyembuhan Kristus terhadap sepuluh orang kusta sangat jelas, yaitu Kristus adalah Tuhan dan Anak Allah Yang Maha-tinggi (bdk. Luk. 2:11; 1:32). Konkretnya, melalui kehidupan dan karya Kristus, Allah berkenan menyatakan keselamatanNya secara penuh dalam sejarah kehidupan umat manusia (bdk. Luk. 2:30-32).

Ucapan Syukur Terhadap Karya Keselamatan Allah

Kesepuluh orang kusta tersebut tidak jadi meneruskan perjalanan ke rumah imam untuk membuktikan bahwa mereka telah tahir dari sakit kusta. Mereka mengetahui dengan persis bahwa mereka kini telah sembuh setelah berjumpa dan percaya kepada perkataan Tuhan Yesus. Namun salah seorang dari kesepuluh orang kusta tersebut segera kembali menemui Tuhan Yesus untuk mengucap syukur atas pertolonganNya. Luk. 17:15-16 menyaksikan: “Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria”. Salah seorang dari kesepuluh orang sakit kusta tersebut mengungkapkan rasa syukur dan mempermuliakan Allah dengan tersungkur di dkepan kaki Tuhan Yesus. Orang kusta tersebut bukan hanya sekedar berterima-kasih. Dia mempermuliakan Allah yang telah berkarya di dalam diri Kristus. Tindakan orang kusta yang tersungkur di depan kaki Tuhan Yesus hendak menyatakan bahwa dia mengakui dengan iman ke-Tuhan-an Yesus. Penyembuhannya dari penyakit kusta juga menjadi momen yang membukakan mata-rohaninya terhadap identitas Kristus sebagai Tuhan dan Anak Allah yang maha-tinggi.

Namun sikap iman tersebut tidak dinyatakan oleh sembilan orang kusta lainnya yang telah disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Mereka pergi begitu saja, tanpa sikap bersyukur dan mempermuliakan Allah. Padahal kesembilan orang kusta tersebut adalah umat Israel. Sebab orang kusta yang datang menemui Tuhan Yesus dengan bersyukur dan mempermuliakan Allah dengan sangat jelas disebut: “Orang itu adalah seorang Samaria” (Luk. 17:16). Kita mengetahui bahwa orang-orang Samaria sering dianggap sebagai bangsa yang najis sebab kepercayaan mereka telah bercampur dengan kekafiran bangsa Asyria. Pada pihak lain umat Israel di bagian selatan yakni Yudea menganggap diri mereka sebagai umat kepunyaan Allah dan hidup berdasarkan kemurnian hukum Taurat. Tetapi kini kesembilan orang kusta yang adalah umat Israel di Yudea itu tidak menampakkan rasa syukur dan memuliakan Allah dengan menjumpai Kristus. Sebaliknya orang Samaria yang dianggap kafir dan najis itu justru peka dengan panggilan imannya untuk mempermuliakan Allah di dalam diri Kristus.

————————————————————————————

Memilih Kehidupan

Ul. 30:15-20; Mzm. 119:1-8; 1Kor. 3:1-9; Mat. 5:21-37

Dalam pengajaran Yesus di Matius 5:21-37 kita menjumpai dua pola, yaitu: 1). “Kamu telah mendengar firman,” 2). “Tetapi Aku berkata kepadamu.” Dalam pola pertama menunjuk pada warisan firman yang telah dikaruniakan Allah kepada Musa dalam bentuk Hukum Taurat. Sedang dalam pola kedua menunjuk pada diri dan ucapan Yesus yang melampaui hukum Taurat. Dalam pola pertama Allah memberi 613 hukum Taurat Musa, dan dalam pola kedua Yesus menyempurnakan makna hukum Taurat tersebut. Karena itu makna pengajaran Yesus di Matius 5:21-37 merupakan penyempurnaan (penggenapan) untuk melaksanakan hukum Allah dalam kehidupan ini. Umat akan mengalami keselamatan apabila memilih hukum Allah yang disempurnakan oleh Kristus.

Dalam hukum yang disempurnakan oleh Yesus, Yesus membongkar akar dari semua dosa dan kejahatan. Apabila hukum Taurat berkata: “Jangan membunuh,” maka Yesus menunjuk akar pembunuhan adalah dari hati yang membenci (Mat. 5:21-22). Hukum Taurat menyatakan: “Jangan berzinah,” tetapi Yesus menunjukkan akar perzinahan adalah nafsu birahi yang liar (Mat. 5:27-28). Hukum Taurat menyatakan: “Jangan bersumpah palsu,” tetapi Yesus menunjukkan penyebab dusta adalah hati yang tidak jujur (Mat. 5:33-37). Hukum Kristus menukik ke dalam batin dan sanubari manusia. Akar dosa bukan berasal dari faktor eksternal, tetapi utamanya dari hati manusia. Di Markus 7:21-22 Yesus berkata: “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri-hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” Karena itu Amsal 4:23 menegaskan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Jadi apabila hati tidak kita jaga dengan kewaspadaan, kita akan menuai kematian.

Dari pengalaman kita sadar bahwa tidaklah mudah menjaga hati. Lebih mudah kita menjaga harta milik, uang, dan properti daripada menjaga hati. Akal-budi dan kesadaran kita mengetahui apa yang baik dan benar tentang firman Tuhan, tetapi hati kita menolak untuk melakukannya. Kita terbelenggu oleh kuasa dosa. Karena itu tidak seorangpun yang mampu melaksanakan Hukum Kristus. Kita hidup dalam anugerah pengampunan dan kerahiman Allah seraya bersandar pada pertolongan Roh Kudus.        Bagaimanakah sikap etis kita dalam memberlakukan Hukum Kristus? Ada tiga jalan untuk melakukan keputusan etis dalam iman Kristen, yaitu:

  1. Etika Kewajiban (deontologis): Hukum-hukum Allah dihayati sebagai kewajiban/ keharusan. Umat melaksanakan hukum Allah sebagai perintah tetapi bukan didorong oleh kesadaran dan pertobatannya. Kelemahan: umat menjadi orang-orang yang legalistis (sikap picik dan dangkal mentaati Allah).
  2. Etika Akibat (teleologis): Hukum-hukum Allah untuk suatu tujuan (menghasilkan sesuatu yang dianggap baik). Apabila ketaatan kepada hukum Allah tersebut membawa akibat yang tidak baik, maka dianggap bukan kehendak Allah. Kelemahan: hukum Allah menjadi relatif, disesuaikan dengan kebutuhan/persepsi seseorang.
  3. Etika Tanggungjawab: hukum-hukum Allah ditempatkan dalam peristiwa atau realitas kehidupan, sehingga mengutamakan bagaimanakah respons iman umat. Untuk itu umat membuat refleksi teologis, sebab hukum-hukum Allah selain harus ditaati juga perlu direnungkan dalam situasi nyata. Kelemahan: butuh waktu dan proses dalam membuat refleksi padahal umat sedang berada dalam situasi yang urgen.

Ketiga jalan etika iman Kristen tersebut sebaiknya dilakukan sebagai satu-kesatuan yang utuh. Kita memilih untuk memberlakukan Hukum Kristus dengan Etika Kewajiban, Etika Akibat/Tujuan dan Etika Tanggungjawab. Dengan ketiga jalan etika iman Kristen tersebut kita membuka diri terhadap anugerah penebusan Kristus dan bersedia dibimbing oleh Roh Kudus.

Esensi ketiga jalan etika iman Kristen tersebut harus berakar pada relasi personal dengan Kristus dan kerendahan hati diterangi oleh Roh Kudus. Sebab ketiga jalan etika iman Kristen tersebut hanyalah alat, tetapi subjek yang utama adalah iman kepada Allah Trinitaris: “Bapa-Anak-Roh Kudus.” Dalam iman kepada Allah Trinitaris itulah kita dimampukan memilih kehidupan, yaitu kehidupan yang dikaruniakan Allah di dalam Kristus.

Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan Saudara? Waspadalah terhadap sikap yang legalistis dan merelatifkan firman Tuhan. Sebab kita harus mengutamakan tanggungjawab etis yang dilandasi oleh kasih dan anugerah keselamatan Allah.

————————————————————————————

Mengusahakan Kesejahteraan Kota

Yer. 29:1-7, Mzm. 66:1-12, II Tim. 2:8-15, Luk. 17:11-19

 Peristiwa eksodus merupakan peristiwa yang begitu bersejarah sebab melalui peristiwa itu umat Israel keluar dari perbudakan di tanah Mesir. Dengan eksodus dari Mesir, berarti pula Israel mengalami pembebasan dan menjadi mereka menjadi umat Allah. Tetapi dalam serangan Babel oleh raja Nebukadnezar tahun 597 s.M dan 586 s.M menyebabkan umat Israel juga mengalami eksodus. Bedanya umat Israel harus eksodus dari kota Yerusalem menuju tanah Babel. Apabila eksodus dari Mesir merupakan karya pembebasan, maka “eksodus” dari Yerusalem ke tanah Babel merupakan peristiwa kekalahan dan pembuangan. Eksodus dari Mesir menuju tanah Kanaan merupakan wujud berkat Allah, sedangkan “eksodus” dari Yerusalem ke Babel merupakan wujud dari hukuman Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuat oleh umat Israel. Eksodus dari Mesir disambut dengan sorak-sorai kemenangan; tetapi “eksodus” dari Yerusalem ke Babel ditandai oleh dukacita yang mendalam, kesedihan, rasa putus-asa, depresi massal dan lenyapnya masa depan. Seluruh kebanggaan sebagai bangsa dan umat Allah kini telah lenyap. Bait Allah diruntuhkan dan dibakar. Kini mereka harus berada tinggal di tanah asing dalam jangka waktu yang tidak menentu. Dalam situasi yang demikian, beberapa orang yang menyebut nabi, di antaranya Ahab bin Kolaya dan Zedekia bin Maaseya menubuatkan bahwa umat Israel akan segera kembali ke Yerusalem. Nubuat tersebut tentunya akan membangkitkan pengharapan semu, sebab berulang-kali Allah telah menyatakan bahwa mereka akan berada di pembuangan Babel dalam kurun waktu yang cukup lama. Sehingga dengan nubuat palsu tersebut dapat membuat umat Israel tidak mampu bersikap realistis. Misalnya mereka dapat terdorong untuk memberontak kepada raja Nebukadnezar dengan akibat yang lebih fatal, melalaikan pekerjaan dan mengabaikan upaya-upaya yang konstruktif seperti menata kembali keluarga yang tercerai-berai, serta upaya membangun masa depan yang lebih baik.

Itu sebabnya nabi Yeremia segera mengirim surat kepada tua-tua, imam-imam, nabi-nabi dan kepada seluruh rakyat yang telah diangkut ke dalam pembuangan di Babel. Surat nabi Yeremia tersebut dikirim dengan perantaraan Elasa bin Safan dan Gemarya bin Hilkia yang diutus oleh raja Zedekia. Isi surat nabi Yeremia tersebut (Yer. 29:5-7) pada prinsipnya merupakan himbauan dan nasihat kepada seluruh umat Israel yang kini tinggal di pembuangan Babel, yaitu:

  1. Agar seluruh umat mendirikan rumah untuk mereka diami.
  2. Membuat dan mengelola kebun untuk dinikmati hasilnya.
  3. Mengambil isteri untuk anak-anak laki-laki dan mencarikan suami untuk anak perempuan mereka agar mereka melahirkan anak-anak sehingga mereka bertambah banyak.
  4. Mengusahakan kesejahteraan kota di mana mereka tinggal dan mendoakan kota tersebut agar kesejahteraan kota tersebut menjadi kesejahteraan umat Israel.

Keunikan isi surat nabi Yeremia tersebut adalah mampu memberikan solusi yang lebih kongkrit, lebih realistis dan lebih positif dibandingkan dengan nubuat palsu yang menyatakan bahwa Allah segera membawa umat Israel kembali ke Yerusalem. Sebab nubuat palsu tersebut hanya akan membangkitkan harapan-harapan semu yang tidak mungkin dapat terwujud. Sebab pada waktu itu raja Nebukadnezar sedang mencapai puncak kejayaannya. Umat Israel telah dikalahkan secara telak. Sehingga apabila umat Israel terpancing untuk melawan atau memberontak, maka pastilah raja Nebukadnezar akan segera membinasakan seluruh umat Israel. Sebaliknya surat nabi Yeremia tersebut mengajak umat Israel untuk segera belajar menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Umat Israel diajak untuk memaknai kehidupan mereka di negeri asing dengan mendirikan rumah untuk didiami, menanam dan mengelola kebun, membangun keluarga yang baru, dan mengusahakan kesejahteraan kota serta mendoakan kota tersebut. Di tengah-tengah situasi umat Israel yang waktu itu sedang putus-asa dan depresi, nabi Yeremia berhasil membangun harapan yang baru agar umat Israel tidak makin terpuruk dan hancur. Sebaliknya umat Israel dapat menata kembali masa depan yang telah disediakan oleh Allah. Di Yer. 29:11, Allah berfirman: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai-sejahera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”.

Ketika kita sedang mengalami kegagalan total seperti bisnis yang bangkrut, kehilangan pekerjaan, dan orang-orang yang kita kasihi telah pergi secara tiba-tiba; maka kita segera terperangkap dalam situasi yang depresif. Kita merasa tidak mampu lagi melangkah sedikitpun ke masa depan. Seluruh tenaga atau kekuatan kita menjadi sirna. Masa depan yang semula cerah, kini berubah menjadi gelap. Dalam kondisi yang demikian kita sebenarnya sangat rentan dengan berbagai ajakan atau godaan untuk membangun suatu masa depan yang semu misalnya ajakan untuk cepat kaya dengan mencoba berjudi, menjual obat-obat terlarang, bisnis ilegal, melakukan kejahatan, dan sebagainya. Namun kenyataan membuktikan sebaliknya. Segala upaya tersebut akan senantiasa berakibat fatal dan destruktif. Para pelaku yang terkecoh untuk membangun masa depan yang palsu itu justru akan membuat mereka makin terpuruk. Jadi dalam hal ini kita tidak mungkin membangun masa depan yang lebih baik dengan cara yang salah dan tidak berkenan kepada Tuhan. Kehendak Tuhan justru mengajak kita untuk bersikap lebih realistis dan bijaksana agar keadaan kita yang telah terpuruk tersebut sedikit demi sedikit dapat berubah menjadi masa depan yang penuh harapan. Kita diajak untuk kembali bekerja mulai dari nol. Sebenarnya lebih tepat bukan mulai dari nol, sebab kita mulai kembali berusaha dan bekerja dengan pelajaran yang sangat berharga dari kegagalan di masa yang lampau. Jadi kita diajak untuk kembali bekerja/berkarya dengan roh yang berhikmat, menjadi lebih sabar, lebih terampil dan lebih waspada serta lebih komunikatif. Manakala kita pernah mengalami tragedi karena kehilangan orang-orang yang kita sayangi, kita diajak kembali memaknai hidup ini lebih positif. Kita dapat terlibat secara intensif dalam pelayanan gerejawi untuk menolong orang-orang yang menderita dan kekurangan. Artinya di tengah-tengah situasi yang paling buruk sekalipun, kita selaku umat percaya dipanggil oleh Tuhan untuk ambil bagian secara bersengaja mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bagi orang-orang di sekitar kita.

Dalam suratnya kepada Timotius, yaitu di II Tim. 2:8-15 kita dapat melihat keadaan dari rasul Paulus yang saat itu sedang berada dalam penjara di Roma sekitar tahun 65. Saat itu dia sangat menderita, sebab selain di penjara; rasul Paulus juga sedang dibelenggu seperti seorang penjahat ke manapun dia pergi. Tetapi sangat menarik di II Tim. 2:9-10, rasul Paulus dapat mengungkapkan kesaksikan imannya, yaitu: “Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu. Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal”. Di tengah-tengah penderitaannya rasul Paulus tetap mampu memiliki iman yang kokoh kepada Kristus bahwa firman Allah tidak dapat terbelenggu, meskipun saat itu kaki dan tangannya sedang terbelenggu oleh rantai. Dia menghayati penderitaannya tetap bermakna bahkan dia berdoa agar orang-orang yang sudah ditentukan oleh Allah dapat memperoleh keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal. Di tengah-tengah situasi yang sulit dan kritis, ternyata rasul Paulus tetap mampu mengusahakan kesejahteraan dan keselamatan Allah bagi orang-orang yang berada di luar penjara. Lebih dari pada itu rasul Paulus dengan kesaksian imannya mampu mewariskan dari satu generasi ke generasi yang lain selama berabad-abad suatu kesaksikan firman Tuhan yang menyelamatkan banyak orang kepada Kristus. Belenggu dan penderitaan yang ia alami dalam penjara, justru menjadi media dari karya pembebasan Allah yang mampu menyelamatkan banyak umat manusia kepada kuasa kasih Kristus.

Spiritualitas yang disebarkan oleh nabi Yeremia dan rasul Paulus adalah tetap mampu menjadi berkat di tengah-tengah himpitan dan krisis. Padahal pola berpikir kita justru sebaliknya yaitu mau menjadi berkat bagi banyak orang manakala kita diberkati oleh Tuhan dan sukses. Sehingga manakala kita sedang mengalami himpitan dan krisis, kita kehilangan vitalitas dan enersi untuk membangun masa depan bagi diri kita dan berkat bagi banyak orang. Pada saat itu kita cenderung mengharapkan belas-kasihan dan pengertian dari sesama. Apabila ternyata sesama tidak terlalu peduli dengan situasi kita, maka kita membuat tuntutan agar mereka mau peduli, mengerti, berbelas-kasihan dan mendukung kita. Dalam hal ini kita tidak belajar dari “filosofi” kerang mutiara. Kerang tersebut mengeluarkan serat-serat mutiara yang indah karena sebenarnya dia sangat menderita karena sebutir batu yang masuk di dalam tubuhnya. Untuk itu dia mengeluarkan cairan pembungkus agar butiran batu tersebut tidak terus-menerus melukai dirinya, sehingga terbentuklah sebutir mutiara. Demikian pula dengan spiritualitas iman Kristen, seharusnya kehidupan kita seperti kerang mutiara. Ketika kita dilukai dan disakiti, seharusnya kehidupan kita menghasilkan butir-butir mutiara yang indah dan bernilai tinggi; bukan menghasilkan luka-luka batin dalam bentuk rasa putus-asa, kecil-hati dan kehilangan daya hidup. Orang yang fasik bukan hanya ditandai oleh ketidakpercayaan kepada Allah; tetapi juga hidupnya ditandai oleh kebencian, kemarahan dan dendam karena dia merasa Allah telah berlaku tidak adil, memberi nasib malang sehingga dia sering mengalami kegagalan dan penderitaan. Itu sebabnya orang fasik tidak mungkin mampu bersyukur kepada Tuhan atas segala karunia dan berkat yang telah diterimanya.

Di Luk. 17:11-19 menyaksikan karya Kristus yang menyembuhkan sepuluh orang yang menderita sakit kusta. Ketika mereka melihat kehadiran Tuhan Yesus, mereka semua segera berseru: “Yesus, guru, kasihanilah kami!” Selama ini tidak ada orang yang mau berbelas-kasihan terhadap mereka. Sebaliknya semua orang selalu menghindar dan tidak ingin berpapasan apalagi bersentuhan dengan orang yang sakit kusta. Seorang yang berpenyakit kusta dianggap najis dan dihukum oleh Allah. Namun Tuhan Yesus mau peduli dan mengasihani mereka. Untuk itu Tuhan Yesus menyuruh kesepuluh orang kusta tersebut pergi menghadap imam, sebab hanya imam-imam saja yang berhak menentukan apakah seseorang yang sakit kusta telah menjadi tahir dan sembuh. Kesepuluh orang yang sakit kusta tersebut percaya akan perkataan Tuhan Yesus dan terbukti mereka menjadi sembuh dalam perjalanan ke rumah imam. Setelah mereka mengetahui bahwa mereka telah sembuh dari sakit kustanya, maka sembilan orang yang telah sembuh itu segera pergi dengan urusannya masing-masing; dan hanya seorang saja mau pergi kembali kepada Tuhan Yesus untuk mengucapkan terima-kasih. Sembilan orang yang sembuh dari sakit kustanya itu adalah orang-orang Israel, dan yang seorang yang mau kembali mengucapkan terima-kasih kepada Tuhan adalah seorang Samaria. Bukankah keadaan tersebut sungguh mengherankan? Sebab seharusnya sembilan orang yang telah sembuh dari sakit kustanya lebih mengerti makna mengucap syukur kepada Allah karena mereka adalah umat Allah yang beriman; tetapi justru orang Samaria yang dianggap kafir yang lebih tanggap untuk kembali datang mengucapkan terima-kasih atas pertolongan Tuhan Yesus. Dalam hal ini orang Samaria tersebut tetap mampu menghasilkan mutiara kasih setelah lama dia menderita, putus-asa dan dihina oleh banyak orang. Dia memperoleh belas-kasihan dan kemurahan hati dari Tuhan Yesus, sehingga kini dia dapat sembuh dan pulih kembali dari penyakitnya.

Melalui Kristus, Allah menyatakan diriNya dan karyaNya yang menyelamatkan. Sehingga ke manapun Kristus hadir, di situlah karya pemulihan Allah terjadi. Karya Kristus senantiasa menciptakan keselamatan dan kesejahteraan bagi umat manusia, walaupun mungkin para pemimpin agama Yahudi sering menolak, mengecam dan memusuhiNya. Seharusnya kita selaku gereja atau umat Allah hidup seperti Kristus. Ke manapun kita pergi dan hadir, seharusnya kita menciptakan keselamatan dan kesejahteraan bagi banyak orang. Ketika kita hadir, seharusnya orang-orang di sekitar kita merasa tenang, teduh dan sejahtera. Pada sisi yang lain ketika mereka mendengar ucapan, pemikiran dan nasihat-nasihat kita, seharusnya menimbulkan pengharapan dan inspirasi baru yang membuat sesama kita makin bertumbuh dan berkualitas. Tetapi dalam realita hidup kita ternyata tidak demikian. Di mana kita hadir justru sering menimbulkan persoalan bagi orang-orang di sekitar kita. Ketika kita hadir, mereka menjadi ketakutan dan gelisah. Ketika kita berbicara, mereka merasa diri tidak berharga sebab perkataan kita sering mengandung sikap yang sinis dan jauh dari kasih. Ketika kita melayani, mereka melihat bahwa kehidupan kita tidak ditandai oleh sikap pertobatan dan kasih yang tulus. Dengan perkataan lain, kehidupan kita sering menjadi batu sandungan bagi sesama dan tidak dapat menjadi berkat. Itu sebabnya kita gagal melakukan panggilan Tuhan sebagaimana yang telah dibuktikan oleh nabi Yeremia dan rasul Paulus, yaitu mengusahakan keselamatan Allah dan kesejahteraan di manapun kita tinggal dan hidup.

Kegagalan kita untuk mengusahakan keselamatan Allah dan kesejahteraan bagi banyak orang oleh karena hidup kita lebih terarah kepada diri sendiri (sikap egosentrisme). Kita sering lebih mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri, serta mencoba membangun berbagai harapan semu menurut pola pemikiran dunia ini. Harapan-harapan semu dari dunia ini umumnya mempesona, memikat, dan tampaknya mudah dicapai. Tetapi pada akhirnya, hasil dari harapan semu senantiasa mengecewakan dan kegagalan yang kita alami lebih parah. Sebaliknya Allah menghendaki kita mengenali kehendak dan firmanNya. Kehendak dan firman Allah senantiasa bersikap realistis dan nyata walau tidak mudah dilakukan, tetapi hasilnya selalu membangun dan memberikan keselamatan serta kesejahteraan bagi setiap orang yang melakukannya. Untuk itu kita dipanggil untuk tidak mencari atau minta pertolongan lain seperti paranormal/dukun dan berbagai kuasa dunia yang memberi janji atau jaminan keselamatan, selain bersandar kepada Allah sendiri. Khususnya ketika kita sedang mengalami kesulitan, krisis, kebingungan dan gelisah maka kita akan sangat rentan, dan mudah tergoda untuk mencari pertolongan di luar Allah. Padahal kuasa-kuasa dunia ini hanya akan memberikan pengharapan palsu dan kesejahteraan yang semu. Jadi marilah kita seperti sepuluh orang kusta yang berseru dan meminta pertolongan hanya kepada Tuhan Yesus. Tetapi lebih dari pada itu marilah kita teladani sikap orang Samaria yang telah disembuhkan dari sakit kustanya dengan datang mengucap syukur kepada Tuhan Yesus atas pertolonganNya. Saat itu kita juga mendengar gema perkataan Tuhan Yesus: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Luk. 17:19). Bagaimana sikap saudara sekarang? Allah telah memulihkan kita, karena itu marilah kita kini terus-menerus mengusahakan kesejahteraan dan keselamatan Allah di setiap tempat di mana kita hadir dan berkarya. Amin.

————————————————————————————

Melayani Tuhan, Melayani Sesama

(Matius 25:31-46)

Terlalu sering kita mendengar panggilan untuk melayani Tuhan dan melayani sesama. Materi tersebut tidak pernah habis-habisnya untuk dibahas, dikemukakan, dan dimaknai secara baru. Karena memang melayani Tuhan dan melayani sesama merupakan panggilan yang begitu esensial dalam kehidupan umat percaya. Bukan hanya dalam kehidupan jemaat, namun dalam kehidupan sehari-hari istilah “melayani” telah menjadi ukuran mutu dan profesionalisme suatu bidang pekerjaan. Semakin seseorang atau lembaga apapun yang mampu melaksanakan pelayanan, maka semakin berkualitas, terpercaya, dan dihargai oleh banyak orang. Karena itu di setiap bank, kantor-kantor pemerintah/swasta, perusahaan-perusahaan, dan industri berlomba-lomba mengedepankan mutu suatu pelayanan kepada masyarakat. Namun ironisnya, dalam kehidupan gereja justru semakin jarang umat mau berlomba-lomba meningkatkan mutu pelayanan. Sebab setiap orang berpikir dan mengharap, “kapan saya mendapat pelayanan.” Namun jarang di antara umat yang berpikir dan memiliki komitmen, “kapan saya memberi pelayanan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama.” Kita tidak dapat membayangkan seandainya setiap umat memiliki beban dan tanggungjawab untuk saling melayani, dan mengembangkan pelayanan tersebut kepada masyarakat dalam lingkup yang lebih luas, pastilah dampak kehadiran gereja akan menjadi signifikan sebagai garam dan terang dunia.

Urgensi pentingnya pelayanan kepada sesama dalam perikop Injil Matius 25:31-46 ditempatkan dalam konteks pengadilan zaman akhir. Pentingnya pelayanan bukan karena mampu menghasilkan keuntungan/profit, namun pelayanan kepada sesama menentukan keselamatan dan hidup kekal. Dalam hal ini kita dapat melihat pentingnya pelayanan kepada sesama dalam konteks pengadilan zaman akhir, yaitu di Matius 25:40, dan Matius 25:31. Di Matius 25:40, setiap umat akan diadili Kristus berdasarkan segala sesuatu yang kamu lakukan kepada sesama, dan di Matius 25:31, mempersaksikan Kristus selaku Raja akan datang dalam kemuliaan bersama para malaikat-Nya untuk mengadili setiap orang seperti gembala yang memisahkan domba dari kambing. Dengan perkataan lain, selaku Raja, Kristus akan menjadi Hakim yang memisahkan manusia dalam kelompok “kambing” atau “domba” berdasarkan perilaku mereka terhadap sesama khususnya sesama yang lemah dan tertindas.

Pada umumnya dunia mengembangkan profesionalisme pelayanan kepada masyarakat dalam rangka bisnis dan sikap humanisme. Namun dalam kesaksian Injil Matius 25:31-46, makna dan hakikat pelayanan kepada sesama ditempatkan lebih mendalam. Sebab perlakuan kita kepada sesama pada hakikatnya kita lakukan kepada Kristus. Apabila kita mengasihi, mempedulikan, menghargai, dan menolong setiap orang pada hakikatnya kita melakukannya kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya bila kita berbuat jahat, berlaku sewenang-wenang, mempraktikkan ketidakadilan, menindas, merusak nama baik seseorang, dan mengeksploitasi sesama untuk keuntungan diri sendiri pada hakikatnya kita memperlakukan kepada Tuhan Yesus. Sesama manusia bukan sekedar “orang-orang di sekitar” kita, namun sesama adalah manifestasi dari wajah Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu tidaklah mengherankan jika filsuf Emmanuel Levinas memahami sesama sebagai peristiwa epifani (penampakan Tuhan). Dalam bukunya yang berjudul Totality and Infinity (1979), Levinas menggunakan istilah “wajah” (visage). Makna “wajah” yang dimaksud oleh Levinas bukanlah secara harafiah seperti seseorang yang memiliki kepala yang terdiri dari mata, hidung, mulut, dagu, pipi, dan sebagainya. Makna “wajah” dalam filsafat Levinas dipakai untuk menunjuk pada situasi orang lain muncul di hadapan kita. Kita berhadapan muka dengan muka dengan orang lain. Orang lain dengan wajahnya itu menyapa kita baik dengan ataupun tanpa kata. Wajah orang lain tersebut dipahami Levinas sebagai suatu “epifani” (penampakan), yaitu peristiwa penampakan wajah melalui peristiwa munculnya ‘orang lain’ di hadapan ‘aku’ (fenomena), serta penglihatan sebagai sarana untuk menangkap ‘orang lain’ yang muncul di hadapan ‘aku’ (Levinas 1979, 194-195). Karena itu tanggungjawab setiap orang adalah menghormati dan saling membagi ruang.

Memberitakan Injil berarti kita menghormati, peduli, dan mengasihi sesama dalam konteks hidupnya. Injil Kristus sebagai kabar baik harus menjadi suatu kabar yang meneguhkan harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itu kita selaku gereja menolak dengan tegas setiap sikap/tindakan yang melecehkan orang lain, penindasan dalam bentuk apapun, kekerasan fisik atau mental, sikap pengabaian kepada orang yang menderita, dan eksploitasi manusia dalam berbagai sistem. Tugas memberitakan Injil berarti kita membuka setiap sekat dan belenggu, sehingga tercipta suatu ruang kasih yang berbela-rasa. Karena itu kita wajib memperlakukan setiap orang sebagai sahabat-sahabat Kristus. Misi jemaat GKI Perniagaan telah dirumuskan ulang menjadi: “ “Meneladan Kristus yang Menjadi Sahabat bagi Sesama dengan Menabur Kasih Allah dan Memberitakan Injil Kristus kepada Dunia.” Jika demikian, apakah kita telah meneladan Kristus yang menjadi sahabat bagi sesama, sehingga kita terpanggil menabur kasih Allah, dan memberitakan Injil Kristus kepada dunia?

————————————————————————————

Desire and Delighting God

Mzm. 73:25-26; 43:4

Secara harafiah, arti desire (keinginan) menunjuk pada perasaan atau maksud sesorang yang kuat sehingga ingin mencapainya. Arti desire menunjuk sikap seseorang sedang mendambakan sesuatu yang positif atau negatif. Karena itu dalam Alkitab kata desire juga dipakai untuk menyatakan nafsu dan keserakahan. Mazmur 73 yang ditulis oleh Asaf menggambarkan orang-orang fasik memiliki desire kecongkakan, kekerasan dan mengatai-ngatai dengan jahat (Mzm. 73:6-8). Bahkan orang-orang fasik berani membuka mulut melawan langit dan membual di bumi (Mzm. 73:9). Secara harafiah orang-orang fasik bisa menikmati kemakmuran dan kemujuran (Mzm. 73:3-5). Karena itu Asaf hampir tergelincir secara rohani, sebab ia sempat iri (qana) terhadap kehidupan orang-orang fasik itu yang tampak mujur dan makmur (Mzm. 73:2-3). Asaf sempat berkata: “Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih” (Mzm. 73:13a).

Keinginan seseorang (desire) yang insani menghasilkan buah iri-hati, sehingga meragukan pola hidup yang saleh dan takut akan Allah. Dalam konteks ini arti desire sinonim dengan “keinginan daging.” Di Roma 8:7 Rasul Paulus berkata: “Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya.” Karena itu desire harus ditundukkan dalam sikap taat kepada kehendak Allah sehingga berubah menjadi desire yang mempermuliakan nama Allah. Di Mazmur 73:25 terjadi perubahan desire pada diri Asaf. Semula Asaf memiliki desire yang duniawi dengan bersikap iri-hati, tetapi sekarang di Mazmur 73:25 ia berkata: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Sekilas ayat ini agak sulit dipahami. Tetapi maksudnya jelas, yaitu: tidak ada seorangpun termasuk mahluk sorgawi di sorga yang dapat menggantikan kedudukan Allah yang bisa memuaskan manusia. Jadi hanya Allah saja yang mampu memuaskan “dahaga” atau “kerinduan” manusia yang terdalam. Bagi Asaf, sorga bukanlah sorga yang sesungguhnya apabila Allah tidak hadir di dalam-Nya. Dengan demikian Asaf telah menemukan desire yang sejati dan abadi, yaitu kerinduan akan Allah yang menyala-nyala.

Selain arti desire, kita bisa juga menjumpai makna delighting di Mazmur 43:4, yaitu: “Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi, ya Allah, ya Allahku!” Di sini kita menjumpai kata “sukacita” yang diterjemahkan dari kata simchah. NIV (New International Version) menterjemahkan kata “simchah” dengan kata “delight.” Pemazmur menghadap Allah sebagai sumber sukacita dan kegembiraan dengan memberi persembahan kurban di atas mezbah di Bait Allah. Sikap yang sama dikemukakan oleh penulis Kitab Ibrani, yaitu: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibr. 13:15). Dengan demikian makna “delighting” dalam konteks ini merupakan respons iman umat percaya terhadap kebaikan dan kesetiaan Allah. Respons iman tersebut dinyatakan umat dengan mempersembahkan korban dan memuji Allah dengan nyanyian.

Spiritualitas umat beriman ditandai oleh dua aspek yang tidak terpisahkan, yaitu desire (keinginan) yang telah dikuduskan dan delighting (respons iman berupa sukacita dengan persembahan syukur). Melalui keinginan yang telah dikuduskan umat akan memprioritaskan Allah sebagai yang paling utama dalam hidupnya. Lalu dengan sikap sukacita umat mengucap syukur kepada Allah dengan persembahan kepada-Nya. Dengan perkataan lain, apabila umat telah menemukan yang paling utama dalam kehidupan ini yaitu Allah, maka mereka akan mengalami sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Namun dalam realitanya banyak orang yang tertutup mata hatinya terhadap diri Allah. Mereka disilaukan oleh daya tarik dunia sehingga keinginan (desire) mereka dipenuhi oleh hawa-nafsu. Mereka memilih hidup dalam keinginan daging. Memang melalui keinginan daging mereka bisa mengalami “sukacita” tetapi hanya sesaat. Sebab sukacita itu hanya sebatas nafsu yang dilampiaskan, tetapi secara rohaniah batin mereka hampa dan jauh dari damai-sejahtera Allah. Penyebabnya adalah keinginan (desire) kita tidak tunduk kepada kedaulatan Allah dan kehendak-Nya. Bukankah kita cenderung menonjolkan kehendak dan keinginan insani?

Di hadapan Kristus, kita dipanggil untuk menguduskan desire (keinginan) kita agar menjadi “keinginan Roh” yaitu keinginan yang kudus. Dengan keinginan yang kudus, kita akan menemukan yang utama yaitu Allah sehingga menikmati sukacita dengan sukacita ilahi. Bagaimanakah kondisi spiritualitas Saudara?

————————————————————————————

Komunitas yang Melayani

(Efesus 4:1-16)

Salah satu keluhan yang disampaikan beberapa ibu rumah-tangga kepada penulis adalah mereka sering harus mengerjakan pekerjaan rumah-tangga seorang diri. Sebab suami, dan anak-anak tidak mau membantu pekerjaan mereka misalnya untuk membersihkan rumah (menyapu dan mengepel), mencuci piring dan mencuci pakaian dengan alasan lelah. Padahal mereka tidak memiliki pembantu. Walau berulangkali si ibu rumah-tangga tersebut menyampaikan himbauan dan teguran, tetap saja para anggota keluarga tidak mau memahami dan membantu beban berat yang sedang dipikulnya. Para anggota keluarga tersebut hanya minta dilayani dan bergantung pada jasa pembantu. Berbeda dengan pengalaman penulis yang pernah tinggal dengan suatu keluarga warga-negara Amerika Serikat. Setiap anggota keluarga memiliki tugas dan perannya masing-masing, sehingga semua pekerjaan rumah dapat diatasi dengan baik. Walau masing-masing anggota keluarga tersebut memiliki pekerjaan dan karier yang sangat sibuk, namun mereka konsisten untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah mereka dengan sukacita. Bukankah kondisi tersebut dapat dipakai untuk menggambarkan kehidupan jemaat? Ada beberapa gereja yang sangat tergantung pada jasa “para profesional” atau “sukarelawan” untuk melayani mereka, sehingga mereka tidak bersedia ambil bagian “membereskan” pekerjaan rumah/gerejanya. Ada pula beberapa gereja yang benar-benar berperan sebagai komunitas yang saling melayani.

Gereja Tuhan bukan sekedar suatu komunitas, sebab gereja Tuhan adalah Tubuh Kristus. Di Surat Efesus 4:16 Rasul Paulus berkata: “Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota–menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.” Persekutuan umat dimaknai sebagai susunan seluruh tubuh yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota. Kita mengetahui bahwa saat satu bagian tubuh kita sakit, maka seluruh tubuh yang lain juga sakit. Demikian pula saat satu bagian tubuh tertentu tidak berfungsi, maka seluruh tubuh yang lain juga menghadapi problem. Karena itu apabila suatu jemaat hanya sebagian kecil yang berperan dan melayani, maka dapat kita pastikan gereja tersebut kehilangan kemampuan fungsinya yang optimal. Penyebab utama kehilangan fungsi tersebut adalah setiap bagian dari tubuh tersebut tidak bersedia dikendalikan oleh Kristus sebagai Kepala Tubuh (Ef. 4:15). Masing-masing anggota tubuh cenderung melakukan kehendak dan keinginannya masing-masing. Dalam konteks ini setiap umat memiliki “misinya” masing-masing namun tidak bersedia untuk mewujudkan misi bersama sebagai gereja Tuhan di tengah-tengah dunia ini.

Kegagalan kita untuk saling melayani karena kita memiliki “mental dilayani” sebagai suatu filosofi. Kita menganggap tindakan dilayani sebagai wujud perhatian orang lain kepada kita. Saat kita dilayani orang lain, kita juga menganggap diri kita menjadi penting. Tanpa disadari, kita memiliki konsep bahwa diri kita begitu “penting” sehingga orang lain harus memerhatikan kita, atau sebaliknya kita sering merasa “kurang penting” sehingga kita bangga ada orang lain yang memerhatikan dan memedulikan kita. Kita telah terjebak dalam perasaan “penting” dan “tidak penting” di hadapan sesama. Namun kita melupakan satu hakikat yang utama dalam menghayati diri sebagai persekutuan umat Tuhan, yaitu kita masing-masing memiliki panggilan. Perhatikanlah nasihat Rasul Paulus di Surat Efesus 4:1, yaitu: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.” Hakikat kita sebagai umat percaya adalah menghayati peran dan tugas kita sebagai panggilan, dan senantiasa hidup berpadanan dengan panggilan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Nilai-nilai panggilan hidup itu adalah: kerendahan hati, lemah-lembut, sabar, dan kasih yang saling membantu, serta memelihara kesatuan roh oleh ikatan damai-sejahtera (Ef. 4:2-3).

Saat ini kita sebagai gereja telah bertekad memiliki wacana iman yang baru, yaitu pelayanan gerejawi wajib dilakukan oleh setiap anggota jemaat. Tata Gereja yang tertuang dalam Tata Laksana GKI menyatakan: “Pemberdayaan seluruh anggota GKI dan kelompok-kelompok pelayanan dalam Jemaag sebagai pelaku-pelaku pembangunan jemaat, dengan mendayagunakan talenta-talenta yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka serta memanfaatkan potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam Jemaat itu” (Tata Laksana GKI pasal 63). Dengan demikian setiap anggota jemaat tanpa terkecuali wajib saling melayani sesuai dengan panggilan dan talenta-talenta yang telah dikaruniakan Tuhan. Tujuannya adalah melalui pelayanan setiap anggota jemaat tersebut, kita dapat mewujudkan proses Pembangunan Jemaat, yaitu Tubuh Kristus dalam realitas kehidupan ini. Dalam konteks ini setiap umat dipanggil untuk menghayati visi-misi GKI Perniagaan. Visi GKI Perniagaan adalah: “Menjadi Jemaat yang Misioner.” Lalu untuk mewujudkan visi tersebut, Majelis Jemaat telah merumuskan misi GKI Perniagaan, yaitu: “Meneladan Kristus yang Menjadi Sahabat bagi Sesama dengan Menabur Kasih Allahdan Memberitakan Injil Kristus kepada Dunia.” Minggu depan pada 29 September 2013 akan diuraikan secara khusus “Visi-Misi” GKI Perniagaan. Untuk itu diharapkan setiap umat memerhatikan ulasan visi-misi yang telah ditetapkan oleh Majelis Jemaat GKI Perniagaan agar kita dapat menjadi komunitas yang saling melayani.

————————————————————————————

Bergumul Bersama Tuhan, Menemukan Identitas Baru

Kejadian 32:22-31

Setiap Lebaran di Jakarta dan kota-kota besar lainnya terjadi tradisi mudik ke kampung halaman. Mereka rindu menjumpai orang-tua, keluarga, dan handai-taulan setelah setahun bekerja di luar kota. Mudik dirayakan dengan suasana gembira dan sukacita. Konteks Kejadian 32:22-31 mempersaksikan Yakub juga hendak mudik menjumpai ayah dan ibunya setelah ia tinggal di Haran selama 20 tahun lebih. Namun sebaliknya suasana hati yang dirasakan oleh Yakub adalah kuatir, perasaan bersalah, dan gelisah. Yakub rindu pulang ke kampung halamannya namun ia takut dan gelisah menghadapi Esau kakaknya. Sebab hak kesulungan kakaknya telah ia rampas dengan tipu-daya. Yakub juga merasa malu sebab ia menipu ayahnya yang buta dengan menyamar sebagai Esau. Berkat Allah yang diperoleh Yakub dengan penipuan dan cara yang licik ternyata tidak membuat dia bahagia.

Walaupun Yakub sudah menyandang “hak kesulungan” yang berarti dia berhak mendapat warisan sebanyak 2/3 bagian (Ul. 21:17) dan pemimpin suku ternyata ia menerima balasannya saat bekerja di rumah Laban. Yakub ditipu Laban untuk memeroleh Rahel sehingga harus bekerja selama 14 tahun, dan perolehan ternak dengan cara yang curang. Yakub akhirnya dapat mengatasi semua penipuan dan kecurangan tersebut. Sejarah kehidupan Yakub sejak keluar dari rumah ayahnya senantiasa diikuti dengan pelarian. Ia lari karena dikejar Esau untuk dibunuh. Yakub juga lari meninggalkan rumah Laban. Namun perubahan hidup yang total terjadi saat Yakub menyeberangi Sungai Yabok. Yakub diserang oleh seorang pria yang kuat. Pria tersebut adalah manifestasi Allah. Hasil pergumulannya adalah Yakub dapat menang dalam pergumulan itu, namun kekuatannya dipatahkan. Pangkal pahanya dipukul Allah sehingga terpelecok. Ia kini tidak bisa lari lagi. Di situlah identitas dirinya berubah dari nama “Yakub” menjadi “Israel.”

Identitas diri kita yang lama dari luar sering tampak penuh dengan keperkasaan, yaitu: pandai, cakap, kaya, dan memiliki pengaruh sosial yang luas. Namun batin terdalam kita dikuasai oleh kekuatiran, rasa bersalah, dan gelisah. Allah mengubah identitas diri kita justru saat Ia memukul kita sehingga kekuatan dan keperkasaan kita patah, namun batin kita dipenuhi oleh rahmat dan karunia sukacita yang melampaui akal. Allah berfirman: “Cukuplah kasih-karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9). Jadi luka-luka, kesulitan, kegagalan, dan hambatan justru menjadi media Allah untuk membentuk dan memproses identitas diri kita semakin sempurna.

————————————————————————————

Ambil Bagian dalam Karya Keselamatan Kristus

Ayb. 1:1, 2:1-10; Mzm. 26; Ibr. 1:1-4, 2:5-12; Mark. 10:2-16

Fokus karya keselamatan Kristus pada Minggu 4 Oktober 2015 yang dipilih oleh jemaat-jemaat di bawah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) adalah merayakan Perjamuan Tuhan se-Dunia dan hari Pekabaran Injil di Indonesia. Melalui Perjamuan Tuhan se-Dunia kita merayakan panggilan sebagai gereja yang Am (universal), dan hari Pekabaran Injil di Indonesia untuk mengingatkan kita melaksanakan pemberitaan Injil dalam berbagai aspek kehidupan. Gereja yang Am adalah gereja yang melaksanakan pemberitaan Injil di wilayah lokalnya masing-masing. Di samping itu setiap bulan Oktober umumnya gereja merayakan pula masa Bulan Keluarga. Karena itu pertanyaan penting untuk direnungkan adalah apakah kita yang melaksanakan memberitakan Injil dalam berbagai aspek kehidupan juga telah menyampaikan kabar baik kepada anggota keluarga kita sendiri?

Melaksanakan pemberitaan Injil ke berbagai wilayah dan aspek kehidupan sangat penting. Tetapi apakah para anggota keluarga kita telah mengenal dan bertumbuh di dalam Kristus? Apa artinya kita dipakai oleh Tuhan memberitakan Injil kepada banyak orang tetapi anak-anak kita terhilang dan tidak hidup dalam kuasa Kristus? Ketika para murid menghalangi anak-anak datang kepada-Nya, Tuhan Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mark. 10:14). Lalu di Markus 10:16 mempersaksikan Tuhan Yesus memeluk anak-anak itu dan memberkati mereka. Namun praktiknya kita sering membiarkan anak-anak kita dididik oleh kuasa dunia ini dengan menyerahkan mereka menggunakan gadget tanpa pengawasan. Kita juga sering tidak memiliki waktu yang cukup dan relasi yang sehat dengan anak-anak kita, sehingga mereka menjalin relasi yang tidak sehat dengan pergaulan yang buruk. Akibatnya jiwa anak-anak kita rusak dengan pola pikir yang ketagihan akan seks, narkoba, sikap yang konsumtivisme, dan materialistik.

Karya keselamatan Kristus adalah memulihkan kodrat manusia yang dirusak oleh dosa, sehingga kita kehilangan secara utuh hakikat kemanusiaan kita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu dalam Surat Ibrani menyatakan bahwa Kristus yang adalah Cahaya Kemuliaan Allah dan Gambar Wujud Allah (Ibr. 1:3) berkenan merendahkan diri-Nya menjadi manusia (Ibr. 2:9), agar manusia dipulihkan secara utuh. Pemulihan dan pembaruan hidup secara utuh akan kita terima sebagai anugerah Allah apabila kita bersedia bersekutu dengan Kristus. Karena itulah kita saat ini diundang dalam Perjamuan Tuhan. Melalui Tubuh dan Darah-Nya kita dipulihkan dan dibarui dalam karya penebusan-Nya. Pemulihan dan pembaruan hidup melalui persekutuan dengan Tubuh dan Darah-Nya yang dinyatakan dalam Sakramen Perjamuan Tuhan akan memampukan kita untuk menyampaikan kabar baik, yaitu pemberitaan Injil dengan kuasa-Nya. Jadi kita bersekutu dengan Kristus dalam Sakramen Perjamuan Tuhan agar kita mampu berpartisipasi dalam karya keselamatan Kristus, yaitu memberitakan Injil dan membangun kehidupan keluarga Kristen yang dipulihkan oleh karya penebusan-Nya.

Di tengah-tengah dunia yang saat ini sedang mengalami krisis dan kekacauan, kita dipanggil untuk semakin bersekutu dengan Kristus melalui Firman dan Sakramen Perjamuan Tuhan, sehingga kita mampu berpartisipasi dalam karya keselamatan-Nya. Mengapa kita sering tidak mampu berpartisipasi dalam karya keselamatan Kristus? Karena itu kita kurang bersekutu dengan Kristus dalam kehidupan sehari-hari.

————————————————————————————

Dilema Komunikasi Orang-tua dengan Generasi Remaja

Amsal 22:6

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Ams. 22:6).

Anak-anak muda atau remaja kita adalah generasi yang dianugerahkan Tuhan di tengah keluarga kita. Kehadiran mereka membawa sukacita, semangat dan pengharapan. Namun tidaklah mudah menjalin komunikasi dengan anak-anak muda atau remaja kita. Perubahan zaman juga membawa perubahan pola pikir, sikap, dan tingkah-laku. Karena itu terjadilah jarak komunikasi yang disebut dengan “gap-generation.” Para orang-tua merasa tidak dihormati dan dimengerti oleh anak remaja. Sebaliknya para remaja merasa tidak dipahami oleh orang-tua mereka. Kesalahpahaman dan konflik tidak terelakkan. Padahal anak-anak muda, yaitu remaja kita dipanggil untuk mengenal kasih Allah, keselamatan-Nya, dan hidup baru di dalam Kristus. Jika demikian bagaimanakah kita harus menyampaikan pesan-pesan luhur firman Tuhan kepada para remaja kita? Sementara kita sering kesulitan menjalin komunikasi dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari?

Penghalang komunikasi orang-tua dengan remaja tentu melibatkan berbagai faktor, misalnya: kematangan rohani, kualitas kearifan, pola asuh, suasana keluarga, hubungan para anak remaja dengan teman-teman sepergaulan, dan pandangan hidup. Namun juga disebabkan faktor perbedaan generasi dalam menafsirkan realitas. Ada beberapa klasifikasi tipe generasi yang perlu dikenali, yaitu: (1). Generasi Baby-Boomers (1946-1964) dengan ciri-ciri: mengutamakan proses daripada hasil, work-alkoholic (pekerja keras), suka berkomunikasi langsung dan menjalin relasi. (2). Generasi X (1965-1979) dengan ciri-ciri: relasi dengan orang-tua yang baik, mendapatkan pendidikan yang cukup baik, mulai mengenal komputer dan kecanggihan teknologi. (3). Generasi Y (1980-1995) dengan ciri-ciri: teknologi dan internet yang semakin berkembang, sehingga mereka sangat terampil dalam mengoperasikan, lebih optimis dan percaya diri, kurang menghargai peran/otoritas orang tua, dan kreatif-ambisius. (4). Generasi Z (1996-2010) dengan ciri-ciri:

mereka mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik, lebih mengutamakan kepentingan luar dan produk yang bermerk, menganggap generasi orang-tua sebagai generasi yang kolot, terpengaruh dengan media sosial dan kecanduan.

Semakin besar rentang antar generasi semakin besar kemungkinan tingkat kesulitan komunikasi antara orang-tua dengan generasi anak-anak tersebut. Namun tidak berarti tidak ada jalan keluar. Kekuatan kasih dan hikmat dalam pengajaran firman Tuhan yang dinyatakan dalam keteladanan orang-tua adalah cara yang paling efektif. Apapun tipe dan karakter dari generasi anak-anak kita, mereka tetap menghargai keteladanan orang-tua dalam kehidupan sehari-hari. Sebab setiap anak dan generasi keturunan kita membutuhkan model yang konkret sehingga mereka mengikuti pola-pola pendidikan yang diwariskan orang-tua. Mereka pengenalan dan pengalaman berjumpa dengan Allah yang hidup di dalam Kristus melalui kehidupan orang-tua mereka.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Yesus adalah Pintu (Yoh. 10:1-10)

$
0
0

“Akulah pintu, barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh. 10:9).

Setiap pintu memiliki lubang kunci dan kunci itu sendiri. Dengan kunci yang tepat pintu akan terkunci dengan aman atau bisa terbuka sesuai kebutuhan. Setiap rumah modern tidak ada yang tidak memiliki pintu sekaligus kuncinya. Simbol pintu dan kunci dalam sebuah rumah atau tempat kediaman dapat menjadi simbol media komunikasi dan relasi dalam setiap aspek kehidupan. Tanpa media “pintu” dan “kunci” realitas kehidupan tidak dapat berlangsung dan bermakna. Sebab makna media “pintu” dan “kunci” menunjuk pada simbol bagaimana kita menjalin relasi dengan publik atau menikmati kehidupan dalam ruang privat.

Dalam dunia modern, media pintu disebut sebagai “akses” dan kunci disebut “password.” Setiap insan dalam dunia modern membutuhkan “akses” dan “password” yang tepat untuk membuka berbagai media yang dibutuhkan. Tanpa akses dan password yang tepat kita akan kehilangan kesempatan untuk mengirim atau menerima berbagai data, informasi dan transaksi keuangan. Karena itu akses dan password di dunia virtual sangat dibutuhkan sehingga kita dapat membuka wifi, email, e-banking, website (situs), dan media sosial. Dengan akses dan password yang tepat kita dapat menjelajah dunia virtual yang tidak terhingga. Karena itu dengan akses dan password yang tepat kita dapat mengembangkan berbagai kemampuan dan talenta yang telah dianugerahkan Tuhan. Sebaliknya dengan akses dan password tertentu kita juga dapat merusak atau menghancurkan diri sendiri misalnya kita menjadi terpengaruh dengan pornografi, kecenderungan dan praktik kekerasan, perjudian, narkoba, fanatisme, dan sebagainya.

Fungsi pintu sebagai akses, dan kunci sebagai password begitu penting dalam memaknai kehidupan ini. Karena itu dapat disimpulkan bahwa berbagai problem besar dalam kehidupan ini sering disebabkan karena kita tidak menemukan “pintu” dan “kunci” yang tepat dalam menyikapi suatu persoalan. Saat kita tidak dapat menemukan “pintu” sebagai jalan keluar dan “kunci” untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka seseorang akan mengalami kebingungan dan situasi putus-asa. Saat seseorang mengalami kebingungan dan putus-asa dia akan tergoda untuk menempuh “jalan pintas” (by pass). Akibat seseorang mengambil “jalan pintas” tentu menimbulkan risiko dan problem yang lebih kompleks. Dia akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Bisa juga dia akan mengambil tindakan-tindakan yang liar, brutal dan tidak berpikir panjang sehingga menimbulkan penderitaan bagi banyak orang. Kondisi ini seperti magma dalam perut gunung berapi yang tidak menemukan jalan keluar sehingga mencapai kulminasi berupa letusan yang sangat dahsyat dan merusak setiap habitat di sekitarnya.

Salah satu inti dari iman adalah kebutuhan manusia menemukan “pintu” dan “kunci” dalam relasinya dengan Allah. Iman terjadi karena Allah mengaruniakan “pintu” kepada manusia sehingga terjalin relasi dan komunikasi melalui doa. Karya keselamatan Allah dapat dialami oleh manusia karena Allah mengaruniakan “pintu dan kunci” dalam kuasa anugerah-Nya. Dengan karunia Allah berupa “pintu dan kunci” keselamatan, maka manusia memperoleh kekuatan di tengah-tengah keterbatasannya, perasaan damai-sejahtera di tengah-tengah kegelisahan, harapan di tengah-tengah perasaan putus-asa dan janji keselamatan di tengah-tengah keberdosaannya. Media “pintu dan kunci” keselamatan Allah di Kitab Keluaran dialami oleh umat Israel saat mereka baru saja keluar meninggalkan tanah perbudakan di Mesir. Sebab dalam perjalanannya menuju tanah Kanaan mereka dikejar oleh tentara Mesir. Mereka juga tidak dapat berjalan maju ke depan sebab terbentang laut Teberau. Umat Israel berada dalam kondisi tertutupnya “pintu” (jalan keluar). Saat itu mereka panik, ketakutan dan tidak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri dari kejaran tentara Mesir tetapi juga tidak tahu bagaimana harus melintasi Laut Teberau. Mereka benar-benar tidak menemukan “pintu” sebagai jalan keluarnya. Namun di tengah-tengah kondisi tanpa tersedia “pintu” sebagai media jalan keluar, Allah menyediakan “pintu” keselamatan yang lain. Dengan kuasa-Nya Allah membuka “pintu” yaitu terbelahnya Laut Teberau. Allah memerintahkan Musa agar mengacungkan tongkatnya ke Laut Teberau dan Laut Teberau tersebut dapat terbelah membentuk jalan sehingga umat Israel dapat berjalan di tengah-tengahnya dengan selamat.

Karya keselamatan Allah tidak hanya terjadi dalam kehidupan dan sejarah umat Israel. Sebab karya keselamatan Allah tidak pernah berhenti. Karya keselamatan Allah senantiasa progresif dan akhirnya mencapai puncak dalam karya penebusan Kristus. Dalam konteks Injil Yohanes 10:1-10 menyatakan Allah menghadirkan diri-Nya di dalam diri Yesus sebagai “Pintu.” Di Yohanes 10:9 Yesus berkata: “Akulah pintu, barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput.” Makna Yesus sebagai “Pintu” bukan hanya menunjuk pada Yesus yang telah hidup dan berkarya 2000 tahun yang lalu, tetapi juga Yesus yang tetap berkarya sebagai “pintu” di abad XXI ini. Kita tahu bahwa ciri abad XXI ditandai oleh kecenderungan merelatifkan segala sesuatu. Abad XXI disebut sebagai “post modernisme” karena dianggap telah melewati era modernisme yang serba rasional dengan kebenaran yang absolut. Karena itu di abad XXI ditandai oleh perlawanan terhadap segala bentuk yang mengklaim dirinya “absolut.” Kebenaran yang ada kini dipahami secara subjektif dan relatif belaka. Di abad XXI ini kita juga hidup di tengah-tengah era fanatisme, fundamentalisme dan radikalisme agama sehingga muncullah berbagai kekerasan dan terorisme yang semakin meluas. Walau abad XXI ditandai dengan komunikasi yang semakin intens, tetapi batin manusia modern sering mengalami kekosongan. Ritualisme agama tetap dijalankan dengan meriah dan antusias tetapi umat mengalami kemiskinan rohani. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah Yesus sebagai “pintu” hadir dan berkarya di tengah-tengah situasi kontemporer yang demikian? Apakah pada era abad XXI Kristus berkuasa memberikan jalan keluar atau solusi di tengah-tengah realitas era post-modernisme dan semua kompleksitias permasalahannya?

Sejujurnya tidak setiap umat Kristen mengalami kehadiran dan karya Kristus sebagai “pintu” dalam kehidupannya. Kehadiran dan karya keselamatan Kristus sering tersembunyi dalam suasana hingar-bingar, keramaian, tekanan-tekanan, dan rumitnya persoalan hidup. Karena itu kita sering terseret oleh kecenderungan di era post-modernisme dengan merelatifkan semua kebenaran. Eksistensi Allah juga dianggap relatif dan subjektif. Kita tergoda untuk menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan karena dunia di sekitar kita mempraktikkan kekerasan. Kita membangun relasi di zona nyaman dengan sikap eksklusif karena kita tidak mampu menghadapi keanekaragaman. Cara pandang kita kepada agama-agama dan kepercayaan lain kita sikapi dengan sikap fanatik karena kita menghayati iman dengan superioritas atau triumfalisme (paham keagamaan untuk selalu menang). Pola pikir kita dalam memahami realitas iman cenderung fundamentalistik-radikal karena kita memahami kebenaran secara sempit dan dangkal. Kecenderungan dan sikap duniawi tersebut kita tempuh karena kita tidak menemukan “pintu” keselamatan yang disediakan Allah di dalam Kristus. Karena itu kita lebih memilih mencari “pintu-pintu lain” untuk mengatasi berbagai persoalan, pergumulan, kegagalan dan kesedihan atau tekanan yang kita hadapi.

Keraguan orang Kristen modern adalah apakah benar Yesus adalah “pintu?” Apa buktinya Yesus adalah “pintu?” Bukankah setiap agama menyediakan “pintu” sehingga umat mampu berelasi dengan Sang Khalik? Apakah Yesus memiliki tempat khusus dan unik dibandingkan dengan keberadaan agama-agama yang ada? Bukankah setiap agama dan kepercayaan juga memiliki fungsi sebagai “pintu?” Iman Kristen menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya “pintu” karena Dia adalah Sang Firman yang menjadi manusia. Sang Firman Allah adalah kekal bersama dengan Allah. Itulah sebabnya dalam Yohanes 10:9 Yesus berkata: “Aku adalah pintu” (Egoo Thura). Makna kata “Akulah” (egoo eimi) hanya dipakai oleh Allah untuk menyebut diri-Nya. Yesus tidak berkata: “Allah adalah pintu.” Namun walaupun Yesus adalah Sang Firman Allah yang kekal dan sehakikat dengan Allah, Dia berkenan mengenakan kodrat insani sebagai manusia dalam inkarnasi-Nya. Karena itu Yesus memiliki dua kodrat, yaitu kodrat ilahi dan kodrat insani. Dengan dua kodrat ilahi dan insani tersebut Yesus berperan sebagai “pintu” dalam dimensi vertikal dengan Allah dan dimensi horisontal dengan manusia. Yesus menjadi “Pengantara” dengan Allah dan manusia. Di Surat 1 Timotius 2:5 menyatakan: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”

Melalui inisiasi sakramen baptis-sidi Allah mengaruniakan “pintu” keselamatan di dalam karya penebusan Kristus. Kita dihisapkan ke dalam persekutuan umat percaya yang telah ditebus dengan darah-Nya. Tetapi inisiasi sakramen baptis-sidi tersebut perlu senantiasa dihidupi dengan sikap iman. Sebab iman merupakan kunci masuk (password) kepada relasi personal dengan Allah di dalam Kristus. Surat Roma 5:2 menyatakan: “Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.” Kehadiran dan karya Kristus sebagai “pintu” dapat kita alami apabila kita hidup dalam sikap iman kepada-Nya. Tanpa sikap iman maka “pintu” keselamatan yang disediakan Allah di dalam Kristus akan tertutup rapat. Kita tidak dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus, tetapi juga tidak bisa keluar menemukan padang-rumput yang segar. Untuk itu iman kepada Kristus perlu senantiasa dihidupi menjadi spiritualitas yang berdaya-cipta menggerakkan seluruh aspek kepribadian kita. Spiritualitas yang berdaya-cipta tersebut yang memampukan kita masuk ke dalam “pintu” persekutuan dengan Kristus dan menjadikan kehidupan kita juga sebagai “pintu” bagi orang-orang di sekitar kita.

Kristus adalah “pintu” bagi kehidupan dan keselamatan kita. Tetapi di dalam Kristus, kita dipanggil menjadi “pintu” bagi sesama. Karena itu kehadiran kita seharusnya menjadi ruang anugerah Allah yang memungkinkan setiap orang mengalami perasaan diterima, dihargai dan dikasihi. Mereka merasa teduh dan damai dengan kehadiran kita. Sebab kehadiran kita dipakai oleh Allah sebagai “pintu” yang memungkinkan orang-orang di sekitar kita berjumpa dengan Kristus. Untuk itu kita perlu mengembangkan spiritualitas empati yang lahir dari kasih agar kita mampu menjadi “pintu” yang bisa menerima keberadaan sesama apa adanya.

Media “pintu” dalam konteks ini adalah spiritualitas empati atau belarasa yang didasari oleh kasih Allah di dalam penebusan Kristus. Tanpa spiritualitas empati atau belarasa Allah, kita akan menjadi tukang pukul kepada setiap orang yang akan memasuki “pintu” rumah kehidupan kita. Bukankah cukup banyak di antara kita yang lebih memilih menjadi media “pintu” yang tampaknya terbuka tetapi penuh dengan cacian dan penghakiman kepada orang-orang yang ingin menjalin relasi melalui “pintu” rumah kita. Realitas ini terjadi karena kita memahami makna kehidupan dengan perspektif yang serba subjektif, perasaan unggul/superior dan keakuan yang harus selalu menang (triumfalisme). Tetapi dalam perjumpaan dengan Kristus yang adalah “pintu” keselamatan Allah, seharusnya seluruh kebanggaan dan kesombongan kita menjadi hancur. Karena itu kita sekarang dipanggil Allah untuk masuk ke dalam karya keselamatan-Nya melalui “pintu” penebusan salib dan kebangkitan Kristus dengan hati yang remuk. Manusia lama kita mati dalam salib Kristus dan manusia baru kita hidup dalam kuasa kebangkitan-Nya. Jika demikian, maukah kita berperan sebagai media “pintu” bagi setiap orang agar mereka berjumpa dengan Kristus yang adalah satu-satunya Pintu Keselamatan?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Refleksi 1 Januari 2021

$
0
0

Rekonstruksi Ilahi di Tengah Dekonstruksi dari kuasa Dosa

(Pkh. 3:1-11; Why. 21:1-6; Mat. 25:31-46)

Bacaan leksionaris pada tanggal 1 Januari 2021 ditempatkan dalam 2 dimensi waktu yang saling terkait yaitu waktu temporal dan waktu keabadian. Pengisahan dimensi “waktu temporal” dinyatakan dalam bacaan Pengkhotbah 3:1-11, sedangkan pengisahan dimensi “waktu keabadian” dinyatakan dalam Matius 25:31-46. Bukankah kita semua mengalami dimensi waktu temporal dan kelak setelah meninggal akan mengalami dimensi waktu keabadian? Kita diciptakan Tuhan dengan suatu tujuan. Kita tidak hidup secara kebetulan. Karena itu di waktu temporal sesungguhnya setiap kita sedang merajut bagaimana kelak akan hidup di waktu keabadian.

Dimensi waktu temporal merupakan waktu yang terjadi dan dialami saat kita masih hidup di tengah dunia. Disebut dimensi “waktu temporal” karena kita berada dalam batasan ruang dan waktu. Setiap orang tanpa terkecuali menciptakan “sejarah” hidup dan berada dalam konteks sejarah. Sedangkan waktu keabadian terjadi setelah kita meninggal dan mengalami penghakiman di depan takhta Kristus. Disebut dimensi “waktu keabadian” karena kesadaran sebagai individu tidak lenyap dengan kematian jasmaniah. Kedua dimensi waktu tersebut tidak bisa dipisahkan, atau dipilih salah satu. Apa yang kita lakukan di dunia dalam waktu temporal akan dinilai dan dihakimi kelak pada waktu keabadian. Segala perilaku kita di waktu temporal harus kita pertanggungjawabkan pada waktu hari penghakiman.

Kitab Pengkhotbah 3:1-11 mengawali kesaksiannya tentang waktu temporal dengan ucapan: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1). Makna ucapan Pengkhotbah 3:1 menyatakan bahwa setiap orang harus mampu melakukan segala sesuatu pada saat yang tepat, sebab setiap perilaku dalam suatu waktu harus sesuai dengan tujuan. Seorang yang bijaksana adalah pribadi yang mampu bertindak secara tepat, sehingga seluruh tindakannya menghasilkan sesuatu yang berharga, inspiratif dan membawa perubahan yang positif. Karena itu di Pengkhotbah 3:2 menyatakan: “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam.”

Problem yang dihadapi oleh banyak orang adalah kita sering tidak mampu bertindak pada saat yang tepat. Beberapa bentuk sikap yang tidak tepat dalam bertindak, yaitu:

  1. Keputusan etis yang diambil sering lambat atau terlalu cepat sebab dipengaruhi oleh suasana hati (mood), sikap yang kurang responsif, terlalu sensitif dan kurangnya pengetahuan (knowledge) (misalnya karena kurang mengetahui bahaya virus Covid-19 kita mengabaikan Protokol Kesehatan).
  2. Terjebak dalam suatu waktu, sehingga kita tidak mampu membebaskan diri untuk memaknai hidup dalam progres waktu yang selanjutnya. Padahal kehidupan ini seharusnya dihayati secara bebas, dinamis dan progresif. Misalnya kita terus meratap dan menangis, padahal kita juga harus mampu mengubah situasi menjadi saat tertawa dan bersukacita.
  3. Kita tidak bisa memiliki sesuatu secara langgeng, sehingga ada saat kita harus memegang erat-erat tetapi juga ada saat kita harus melepaskan dengan rela. Kita sering berusaha memegang erat-erat padahal segala sesuatu bersifat fana. Pengkhotbah 3:6 berkata: “Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang.”
  4. Mendamaikan “paradoks waktu” secara harmonis, sehingga menghasilkan perubahan dan pemulihan. Pengkhotbah 3:7 berkata: “Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit” Di saat tertentu kita harus “merobek” suatu tatanan yang kurang baik agar terjadi perubahan, tetapi perubahan hanya terjadi jika kita juga bersedia “menjahit” (memulihkan). Perubahan seringkali menyakitkan, karena itu kita wajib menindaklanjuti dengan pemulihan. Tanpa upaya “menjahit” (memulihkan) perubahan tersebut akan menimbulkan perasaan terluka, sehingga perubahan tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Perubahan yang positif tidak dapat dibangun dari perasaan terluka dan traumatis.
  5. Kemampuan penguasaan diri sehingga tindakan kita bermakna. Pengkhotbah 3:6b berkata: “Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara.” Realitanya kita sering banyak berbicara justru situasi membutuhkan kita mampu berdiam diri, sebaliknya kita sering berdiam diri justru situasi sedang membutuhkan kita untuk berbicara dengan tegas.

Kelima prinsip tersebut di atas merupakan cara hidup orang-orang yang bijaksana secara bermakna dan bahagia. Sebab dengan kelima prinsip tersebut umat percaya dimampukan untuk: a). Tepat dalam mengambil keputusan etis secara rasional, b). Tidak terjebak oleh suatu situasi kesedihan/kesuraman, c). Ikhlas menerima dan melepaskan pergi, d). Mengintegrasikan perubahan dan pemulihan, e). Mampu menguasai diri sehingga umat beriman mampu menghayati pekerjaan Tuhan di dunia secara benar. Pengkotbah 3:11 berkata: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.” Jadi dengan kelima prinsip kebijaksanaan tersebut, Allah akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

Apabila kita cermati kelima prinsip kebijaksanaan tersebut berkaitan secara langsung bagaimana perlakuan kita kepada orang-orang di sekitar. Kita memperlakukan sesama dengan baik karena kita mampu: a). Tepat dalam mengambil keputusan etis secara rasional di waktu yang tepat, b). Tidak terjebak oleh suatu situasi kesedihan/kesuraman, c). Ikhlas menerima dan melepaskan pergi, d). Mengintegrasikan perubahan dan pemulihan, e). Mampu menguasai diri. Sebaliknya kita akan memperlakukan orang-orang di sekitar dengan cara yang tidak layak karena kelima prinsip tersebut. Sesama sering dijadikan objek atau pelampiasan perasaan sebab: a). Keputusan etis kita dipengaruhi oleh suasana hati, b). terjebak oleh suatu situasi, sehingga kesedihan membutakan mata rohani untuk melihat sisi lain dari kehidupan, c). marah karena tidak bisa melepaskan sesuatu dan terus berusaha menggenggam erat-erat, d). kita hanya ingin merobek tetapi enggan menjahit kembali, e). tidak mampu menguasai diri.

Indikator evaluasi Kristus pada hari penghakiman berkaitan dengan respons setiap orang dalam menghayati “waktu” kepada sesamanya. Benang merah narasi Pengkhotbah 3:1-11 dengan Matius 25:31-46 terlihat pada penggunaan kata “ketika.” Makna kata “ketika” menunjuk pada dimensi “waktu” yaitu: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan, ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat. 25:35-36). Tepatnya bagaimana setiap orang mampu memberi respons yang tepat dalam suatu waktu yang dialami khususnya dalam relasi dengan sesamanya?

Sangat menarik subjek sesama pada hari penghakiman di Akhir Zaman menjadi tolok-ukur penilaian Allah. Di Matius 25:40, Tuhan Yesus berkata: “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan Yesus mengaitkan perlakukan kita kepada sesama identik dengan perlakuan kita kepada-Nya? Tentunya makna ucapan Tuhan Yesus tersebut bukan sekadar masalah humanitas. Pernyataan teologis ini bukan dimaksudkan untuk merendahkan makna “humanitas.” Sebab hakikat humanitas sudah melekat dalam setiap kepercayaan atau agama sehingga humanitas bersifat luhur.

Dalam iman Kristen dimensi humanitas sangat dijunjung tinggi, sebab manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Di Mazmur 8:6 menyatakan: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Tetapi humanitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, sehingga diberi mahkota kemuliaan merupakan kemanusiaan yang pada hakikatnya telah jatuh dalam dosa. Dalam kondisi kejatuhan tersebut, kemanusiaan manusia kehilangan kehormatan dan kemuliaan. Manusia tidak lagi memiliki mahkota kemanusiaan sehingga pikiran dan hatinya gelap oleh kuasa dosa. Martabat kemanusiaan tidak bisa diangkat tinggi hanya dengan suatu “klaim” belaka bahwa humanitas manusia itu mulia. Humanitas setiap manusia bernilai mulia apabila dipulihkan terlebih dahulu oleh Allah. Karena itu setiap orang membutuhkan penyelamatan dan pemulihan dari Sang Ilahi. Tanpa penyelamatan dan pemulihan dari Allah setiap orang telah kehilangan kemanusiaannya. Melalui inkarnasi dan penebusan Kristus Sang Firman Allah kemanusiaan manusia dipulihkan sehingga manusia dijadikan sebagai anak-anak Allah. Dalam peristiwa inkarnasi-Nya, Kristus menjelma menjadi manusia. Kristus Sang Firman Allah berkenan bersedia menjadi sesama. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Dalam perspektif inkarnasi dan penebusan Kristus,  kelima prinsip kebijaksanaan menjadi suatu potensi apabila setiap orang hidup dalam persekutuan dengan Kristus. Tanpa anugerah dan karya Kristus kita tidak mungkin mampu mewujudkan 5 prinsip kebijaksanaan, sebab: a). Keputusan etis kita sering dipengaruhi oleh suasana hati, b). terjebak oleh suatu situasi, sehingga kesedihan sering membutakan mata rohani untuk melihat pengharapan dan pemeliharaan Tuhan, c). terbelenggu karena kita tidak bisa melepaskan sesuatu dan terus berusaha menggenggam erat-erat, d). kita cenderung ingin merobek tetapi enggan menjahit kembali, e). tidak mampu menguasai diri. Model spiritualitas yang diajarkan dan diteladankan oleh Kristus adalah kesediaan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia (Luk. 9:23).  Artinya kelima prinsip kebijaksanaan tersebut hanya dapat dicapai melalui 3 model spiritualitas, yaitu: menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus. Jadi kelima prinsip kebijaksanaan yang dilandasi oleh 3 model spiritualitas yaitu menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus akan menjadi cara pandang yang baru dalam menyikapi realitas, khususnya Tahun Baru 2021.

Secara kronologis kita saat ini berada di awal tahun 2021. Tetapi secara faktual sesungguhnya kita masih berada dalam kesinambungan tahun 2020 yang mengalami multi-krisis akibat pandemi Covid-19. Tanpa cara pandang yang baru, perubahan tahun 2020 ke tahun 2021 hanyalah pergantian angka. Kalender akan tertulis tahun 2021, namun penghayatan dan perspektif hidup kita sebenarnya tidak mengalami perubahan apa pun. Cara pandang yang baru merupakan perubahan pola pikir, perasaan dan kehendak dengan nilai-nilai dan spiritualitas Kristus yang bersedia menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia sehingga seseorang mampu a). Tepat dalam mengambil keputusan etis secara rasional, b). Tidak terjebak oleh suatu situasi kesedihan/kesuraman, c). Ikhlas menerima dan melepaskan pergi, d). Mengintegrasikan perubahan dan pemulihan, e). Mampu menguasai diri. Karena itu pertanyaannya adalah bagaimana kita harus bersikap secara benar di tahun 2021 yang masih berada dalam konteks pandemi Covid-19?

Pandemi Covid-19 sesungguhnya telah menciptakan dekonstruksi (pembongkaran) secara permanen. Di tahun 2021 sampai selanjutnya kehidupan umat manusia di dunia tidak bisa kembali kepada pola “sebelum Covid-19.” Seluruh bidang kehidupan sejak munculnya Covid-19 berubah drastis. Pandemi Covid-19 telah menciptakan situasi dekonstruksi yang membongkar seluruh tatanan. Efek dekonstruksi dari Covid-19 adalah: a). Pola komunikasi pada masa kini akan dominan secara daring/online, b). pola penyelenggaraan ibadah, seminar/ceramah dan pola pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi, c). jenis dan bentuk pekerjaan, d). perlindungan kesehatan diri dan pergaulan, e). pola perencanaan dan pengelolaan dalam setiap bidang kehidupan. Walau pun saat ini telah ditemukan vaksin untuk menjaga terinfeksi virus Covid-19 tidak berarti kehidupan bisa kembali sebelum Maret 2020. Fungsi vaksin memperlambat dan mengurangi penyebaran virus Covid-19. Kini yang harus dipahami di tahun 2021 adalah a). Pola komunikasi pada masa kini akan dominan secara daring/online, b). pola penyelenggaraan ibadah, seminar/ceramah dan pola pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi, c). jenis dan bentuk pekerjaan, d). perlindungan kesehatan diri dan pergaulan, e). pola perencanaan dan pengelolaan dalam setiap bidang kehidupan. Situasi disruptif (perubahan) tersebut di atas telah menjadi bagian yang menetap dalam kehidupan umat manusia masa kini. Siap atau tidak siap kita di tahun 2021 harus hidup dengan pola dan roh (spiritualitas) yang baru.  

Situasi dekonstruksi yang telah terjadi sejak Maret 2020 akan dapat kita atasi apabila kita tidak mengandalkan pada kemampuan manusiawi yang berdosa dan terbatas. Perubahan-perubahan yang menimbulkan goncangan, ketidakpastian, kebingungan, kekuatiran dan kegelisahan akan menjadi “langit dan bumi yang baru” apabila Allah sebagai pengendali dan perancangnya. Allah adalah Subjek Ilahi yang melakukan rekonstruksi (tata ulang). Wahyu 21:5 berkata: “Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru! Dan firman-Nya: Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar.” Allah adalah sumber dan penyebab seluruh perubahan dan pembaruan.

Kita imani bahwa realitas pandemi Covid-19 yang terjadi berada dalam rancangan dan kendali Allah. Peristiwa pandemi Covid-19 bukan berada di luar kuasa dan kehendak Allah. Pernyataan ini tidak harus diartikan bahwa pandemi Covid-19 berasal dari Allah. Lebih tepat pandemi Covid-19 terjadi seizin dengan kehendak Allah. Jika tanpa seizin Tuhan, maka peristiwa pandemi Covid-19 berada di luar kendali dan kedaulatan Allah. Hakikat Allah tidak lagi sosok Ilahi yang Mahakuasa. Karena itu apa pun yang terjadi selama pandemi Covid-19 kita tidak boleh bertindak di luar iman. Kita harus menyikapi realitas tersebut dengan iman sekaligus pengertian (pengetahuan). Kegagalan umat percaya adalah apabila hanya menempatkan iman tanpa pengetahuan, atau sebaliknya bersandar pada pengetahuan dengan mengabaikan iman. Spiritualitas fides quaerens intellectum perlu dihayati oleh umat percaya secara integratif.

Pada akhirnya iman dan pengetahuan harus diejawantahkan dalam tindakan kasih yaitu karya yang mengangkat sesama dari situasi kemiskinan, memberdayakan orang yang mengalami ketertindasan, memulihkan mereka yang sakit, membebaskan mereka yang terbelenggu dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (Luk. 4:18-19). Makna penyebaran pandemi Covid-19 tidak terbatas pada virus tetapi utamanya virus dosa yang membutakan mata-rohani dan melumpuhkan akal sehat. Virus Covid-19 adalah virus yang berbahaya dan mematikan. Tetapi virus dosa sesungguhnya lebih mematikan dan mengerikan. Di hari penghakiman kita diadili bukan karena terinfeksi oleh virus Covid-19, tetapi sejauh mana kita terinfeksi oleh virus dosa sehingga kita tidak mengenali diri Kristus yang hadir dalam setiap sesama di sekitar. Apa artinya kita selamat dari penyebaran virus Covid-19 tetapi terinfeksi oleh virus dosa? Upah dosa ialah maut (Rm. 6:23). Tetapi kasih-karunia Kristus mendatangkan rekonstruksi yang paripurna di tengah situasi dekonstruksi dari kuasa dosa. Karena itu di tahun 2021 setiap kita membutuhkan dekonstruksi dari kuasa dosa agar dapat mengalami rekonstruksi sebagai anak-anak Allah di tahun yang baru ini.  

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Membedakan Yang Asli dan Yang Palsu

$
0
0

Film yang memenangkan hadiah Oscar tahun 2008 adalah The Counterfeiters dengan sutradara Stefan Ruzowitzky. Film ini diangkat dari satu diary dari seorang Yahudi yang bernama Adolf Burger di mana dia terlibat di dalam satu operasi penting yang bernama “Operation Bernard.”

Adolf Burger bersama satu orang Yahudi lain adalah orang yang ahli memalsukan uang dan mencetak uang palsu. Sebenarnya dua orang ini hendak dibunuh di camp konsentrasi di Auschwitz tetapi tidak jadi sebab mereka memberitahu keahlian khusus mereka. Karena itu Nazi menempatkan mereka ke dalam satu perusahaan rahasia untuk mencetak uang palsu. Operation Bernard adalah satu operasi yang berencana untuk membawa uang palsu ke Inggris dan melemparkannya dari udara. Tujuannya cuma satu, kalau mata uang palsu itu berhasil bercampur dengan uang asli, maka tidak akan ada transaksi bisnis dan ekonomi akan lumpuh sehingga seluruh perekonomian Inggris akan collapse. Hitler tahu untuk mengalahkan Inggris tidak harus dengan senjata tetapi dengan kehancuran ekonomi.  Untunglah operasi Bernard tersebut dapat dicegah, sehingga uang palsu yang dicetak Hitler tidak sampai menghancurkan perekonomian negara Inggris. Sama seperti uang rupiah akan hancur nilainya saat diedarkan uang rupiah yang palsu dengan akibat rusaknya kehidupan rakyat Indonesia dalam berbagai dimensi. Dengan demikian film Counterfeiter mau menyampaikan pesan bahwa betapa berbahayanya suatu kepalsuan yang begitu sempurna jika beredar dalam kehidupan manusia. Wajah kehidupan akan rusak total dan mengalami kehancuran ketika yang palsu berhasil menggeser apa yang asli dan benar. Tepatnya kepalsuan selalu merusak wajah kehidupan.

Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering berada dalam pencampuran antara yang asli dengan palsu. Gandum dan ilalang yang telah bercampur sedemikian rupa, sehingga kita seringkali mengalami kesulitan untuk membedakan antara akal licik dan pandai. Kita juga mengalami kesulitan untuk membedakan antara kesalehan dan kemunafikan, antara kawan dengan lawan, antara kasih dan sikap cinta-diri, antara pelayanan dan ambisi, antara kerelaan berkorban dengan sikap masokhisme (gemar menyakiti diri sendiri). Tidak mengherankan jikalau wajah kehidupan kita dipenuhi dengan perasaan curiga, was-was, dan berbagai pikiran negatif terhadap  sesama di sekitar kita. Selain itu di dalam diri kita juga tidak bebas dari percampuran antara yang asli dan yang palsu. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa kita bebas dari kepalsuan, kepura-puraan dan sikap munafik? Percampuran nilai Kerajaan Allah dengan dunia terlihat dalam berbagai kasus, sehingga menyebabkan umat Kristen pernah melakukan hal-hal yang kejam dan mengerikan. Sebagaimana kita ketahui bom di Hiroshima dijatuhkan pada tanggal 6 Agustus 1945. Yang mana tanggal 6 Agustus 1945 saat itu umat Kristen di mana Amerika selaku pengebom  sedang merayakan hari Transfigurasi, yaitu Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung (saat itu belum mengikuti leksionari yang ekumenis). Umat Kristen yang direpresentasikan oleh pemerintah Amerika Serikat telah menodai kekudusan Minggu Transfigurasi Tuhan Yesus dengan kematian sebanyak 160 ribu orang Hiroshima. Tahukah saudara, bagaimana pernyataan presiden Truman setelah peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki? Dia berkata: “Syukur kepada Tuhan karena kita memiliki bom itu … dan kita berdoa agar Dia membimbing kita dalam menggunakan bom itu sesuai dengan cara-cara yang Ia kehendaki dan sesuai dengan tujuanNya”. Bukankah kita juga sering menggunakan nama Tuhan, nama pelayanan  gerejawi dan firman Tuhan untuk mendukung argumen, tujuan dan kepentingan kita tertentu? Wajah spiritualitas dalam kehidupan kita sering tidak terlepas dari sikap yang manipulatif. Dengan perkataan lain, sikap memanipulasi iman dan nama Allah telah merusak wajah kehidupan.

Melalui peristiwa Natal, Allah berkarya untuk memulihkan spiritualitas dalam kehidupan umat manusia. Namun cara Allah memulihkan wajah kehidupan yang rusak akibat kuasa dosa tidak ditempuh dengan melakukan pengeboman sebagaimana yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Allah memulihkan wajah kehidupan umat manusia tidak ditempuh dengan pengiriman para tentara malaikat untuk membinasakan setiap orang yang jahat dan berdosa. Walau Allah maha-kuasa dan adi-kodrati, namun Dia memilih cara yang tidak popular namun rendah-hati. Melalui sang FirmanNya, Allah berinkarnasi menjadi manusia. Inkarnasi Firman Allah menjadi manusia berarti Allah berkenan memposisikan diriNya yang tidak terbatas menjadi terbatas, misteri ilahi yang tersembunyi menjadi suatu wujud manusiawi yang kelihatan. Misi inkarnasi Kristus sangat jelas, yaitu: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5). Kristus dalam wujudNya sebagai manusia hadir untuk menerangi kehidupan yang gelap, sehingga umat manusia mampu membedakan dengan jelas manakah yang benar dan yang palsu, yang terang dengan yang gelap, yang kudus dan yang najis. Dengan demikian umat manusia membutuhkan Kristus agar kita mampu memandang realitas kehidupan ini dengan pola pandang Allah, dan bukan dari cara pandang manusiawi yang telah jatuh di dalam dosa. Karena cara pandang manusiawi kita telah dirusak oleh kuasa dosa. Tepatnya keberadaan hidup kita telah kehilangan gambar dan rupa kita. Tetapi melalui Kristus, kita dapat menemukan gambar dan rupa Allah yang sempurna. Melalui Kristus, wajah kehidupan yang telah rusak dapat dipulihkan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kita senantiasa memandang dan menilai realitas hidup berdasarkan cermin diri masing-masing. Bila cermin diri kita utuh, tidak retak,  datar permukaannya, bersih dan memiliki daya pantul maka kita dapat melihat obyek yang berada di depannya dengan baik. Namun seringkali cermin diri kita tidak utuh tetapi retak, tidak rata tetapi cembung atau cekung, kotor dan tidak memiliki daya pantul. Akibatnya kita tidak mampu melihat pantulan diri secara tepat, tidak jelas, dan buram. Dalam kondisi tertentu kita memang cukup jelas melihat pantulan diri kita tetapi dalam bentuk yang aneh, sebab wajah dan tubuh kita berubah dalam bentuk yang tidak normal sebab cermin yang kita gunakan adalah cermin yang cembung dan cekung.  Bagaimana kalau dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan cermin cembung atau cekung untuk menilai sesama? Yang akan terjadi kita melihat orang lain dalam bentuk yang aneh, ganjil dan menjijikkan. Padahal keanehan dan keganjilan tersebut bukan terletak pada sesama kita, tetapi bersumber kepada diri sendiri. Demikian pula seandainya cermin kita datar permukaannya,utuh dan tidak retak, tetapi sayangnya serba buram. Pastilah kita akan melihat sesama dalam kondisi yang buram dan kotor. Saat ini sedang dirancang sebuah cermin yang mampu memantulkan balik objek di depannya dari berbagai sudut. Dengan kata lain, seseorang akan tetap melihat bayangannya secara sempurna dari berbagai sudut tak peduli ia berdiri di sebelah manapun. Cermin universal mampu menangkap setiap detil dengan sempurna. Seperti itulah peran inkarnasi Kristus. Melalui Kristus, kita dimampukan untuk melihat seluruh keberadaan dan kenistaan kita yang tidak terlihat oleh manusia, tetapi juga dimampukan untuk melihat seluruh anugerah dan kasih Allah kepada kita. Melalui pengenalan dan iman kepada Kristus, kita tidak dapat lagi memanipulasi realitas diri. Di hadapan Kristus kita menemukan seluruh keberdosaan kita, dan di pihak lain kita menemukan pengampunan Allah yang mengasihi kita tanpa syarat.

Inkarnasi Kristus hadir dalam wujud seorang insan manusia yang sederhana. Kristus tidak memilih lahir dari strata sosial seorang bangsawan atau kerajaan dunia, tetapi Dia lahir dalam kemiskinan. Kisah kelahiran Yesus di kandang Betlehem ini telah berulang-ulang kita dengarkan dan renungkan, tetapi apa artinya bagi kita. Mata hati kita sering tidak lagi peka dengan masalah kemiskinan dan penderitaan, karena hampir setiap hari kita menjumpai persoalan-persoalan kemiskinan dan penderitaan. Bahkan secara tidak sadar kita mencoba untuk menjauhi orang yang kelihatannya miskin dan menderita. Kita kadang-kadang sulit membedakan antara sikap curiga dengan sikap hati-hati karena kuatir dibohongi oleh orang-orang dengan dalih kemiskinan. Karena dalam persepsi kita, orang-orang yang hidup bahagia dan diberkati Tuhan adalah bilamana mereka berhasil secara materi. Seorang teman naik kereta api dari Surabaya ke Jakarta. Di suatu stasiun saat kereta berhenti dia menyaksikan seorang anak dengan wajah kotor dan pakaian kumal mendekati dia. Tetapi anak ini dengan sangat sopan meminta, apakah air minum yang tersisa boleh dia ambil. Dengan spontan teman saya tersebut menyerahkan air minum mineral dalam kemasan botol  yang telah tersisa separuh.  Kemudian dia menyaksikan anak tersebut turun dan bersama-sama dengan teman-temannya duduk di peron stasiun kereta. Mereka mengeluarkan berbagai jenis makanan yang telah diperoleh dari para penumpang termasuk pula air dalam kemasan botol miliknya. Dengan sukacita mereka saling memberi dan membagi. Persahabatan dan ketulusan terpancar dalam kehidupan mereka. Teman saya tersebut tiba-tiba tersadar, bahwa nilai-nilai persahabatan dan ketulusan tersebut justru sering tidak dijumpai saat dia bekerja di kantor dan melayani di gereja. Di tengah-tengah lingkungan yang berpendidikan dan religius, malahan dia sering menjumpai kemunafikan, kepura-puraan dan kelicikan. Tetapi melalui peristiwa sederhana di statiun kereta api itu, teman saya menemukan pencerahan dan arti hidup yang baru, yaitu bagaimana dia dipanggil untuk hidup secara otentik, apa adanya, tulus dan menghargai nilai-nilai persahabatan serta kasih yang tanpa syarat. Jadi kalau teman saya tersebut mampu menemukan pencerahan dan arti hidup yang baru saat melihat ketulusan dan persahabatan anak-anak gelandangan di stasiun, seharusnya melalui kelahiran Kristus yang sederhana dan miskin, kita juga dapat menemukan pencerahan dan arti hidup yang lebih sempurna.  Perayaan Natal tidak lagi dihayati hanya sebagai suatu peristiwa seremonial liturgi dan romantisme iman. Tetapi Natal dihayati sebagai peristiwa yang menjadi cermin rohaniah untuk melihat seluruh kedirian kita secara utuh di hadapan Kristus.

Namun di Yohanes 1:10-11 menyaksikan respon manusia saat Kristus datang ke dalam dunia, yaitu: “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.  Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.”  Respon manusia secara faktual ternyata mengabaikan dan menolak Kristus. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa manusia mengabaikan dan menolak kehadiran Kristus. Mungkin ada begitu banyak kemungkinan atau alasan yang menyebabkan manusia mengabaikan dan menolak kehadiran Kristus di tengah dunia ini. Namun ada satu hal yang paling mungkin mengapa manusia sepanjang zaman mengabaikan dan menolak kehadiran Kristus, yaitu karena manusia sering terperangkap dalam pikirannya sendiri. Wajah kehidupan manusia ditandai oleh sikap egois dan egosentrisme yang begitu kuat. Manusia sering tergoda untuk berulangkali bercermin melihat dirinya, tetapi dia selalu lupa dengan wajah diri yang dilihatnya. Itu sebabnya manusia tidak memiliki kesempatan untuk peduli dengan kehadiran orang lain. Yang mana sikap egoisme dan egosentrisme seringkali berakar pada kondisi dan perasaan terasing atau alienasi. Pertama, bukankah saat kita merasa kesepian dan terasing, kita akan merasa hampa dan tidak berarti sehingga kita sulit menyadari keberadaan orang lain di sekitar kita? Saat kita merasa terasing dan kesepian, kita tidak akan peka dengan orang lain. Kedua, saat kita merasa terasing dan kesepian, kita juga akan mudah tersinggung dan marah.  Sebab kita merasa orang-orang di sekitar kita tidak memberi kepedulian sebagaimana yang kita harapkan. Ketiga, kesepian dan keterasingan akan menyebabkan kita untuk menuntut orang lain berperilaku menurut pola pikir dan keinginan kita. Keempat, saat kita terasing dan kesepian akan menyebabkan kita mengasingkan dan menghakimi orang lain. Keterasingan dan kesepian akan menyebabkan kita untuk merusak wajah kehidupan bersama orang lain. Tepatnya, keterasingan dan kesepian rohaniah selalu merusak wajah kehidupan.

Sikap penolakan kita kepada Kristus bukan hanya dalam pengertian kita menolak untuk dibaptis dan mengaku percaya serta melayani Dia. Tetapi sikap penolakan kita kepada Kristus lebih banyak dinyatakan dalam sikap kita yang mengasingkan sesama karena kita sedang berada dalam keterasingan dan kesepian spiritualitas. Dengan perkataan lain, selama kita masih berada dalam situasi keterasingan dan kesepian spiritualitas sebenarnya kita belum berada dalam naungan anugerah keselamatan Allah. Karena anugerah keselamatan Allah senantiasa ditandai oleh syalom, yaitu keselamatan dan damai-sejahteraNya. Bagaimana mungkin kita sering begitu yakin telah berada dalam anugerah keselamatan Allah, tetapi pada sisi lain kita jauh dari perasaan damai-sejahtera Allah. Apakah mungkin anugerah keselamatan Allah dapat berjalan bersama-sama dengan perasaan terasing dan kesepian secara spiritualitas? Apakah mungkin keselamatan Kristus dapat kita hayati tanpa relasi kasih dengan diri sendiri, sesama dan Allah? Jawabannya jelas, yaitu: TIDAKLAH MUNGKIN! Kita tidak mungkin beriman tetapi terasing dari Allah dan sesama serta diri sendiri, walaupun secara formal kita berstatus sebagai umat percaya. Karena dengan kondisi perasaan terasing dan kesepian secara spiritualitas, kita akan memandang dengan buram dan kotor terhadap sesama. Kita juga akan memandang sesama dengan pandangan yang ganjil dan aneh karena spiritualitas kita berlensa cekung dan cembung. Dengan spiritualitas demikian, kita akan memandang rekan kerja di kantor sebagai rival atau saingan kita. Kalau kita melayani Tuhan di gereja, maka kita akan memakai media pelayanan untuk ambisi, kepentingan diri dan kelompok kita sendiri.  Selain itu pelayanan gerejawi yang seharusnya terarah untuk kemuliaan Tuhan akan kita alihkan untuk memenuhi kehausan ambisi dan kehendak kita sendiri.

Namun dalam dunia yang telah tercabik-cabik oleh kuasa dosa, kita tidak mungkin mengelak dari keterasingan dan kesepian secara spiritualitas. Mungkin kita memiliki cukup banyak sahabat dan rekan kerja, tetapi tidak berarti kita tidak mengalami alienasi secara rohani. Di tengah-tengah keramaian orang banyak dan keakraban keluarga, kita dapat mengalami kehampaan dan perasaan diri tidak berarti. Para tokoh besar seperti William Shakspeare, Leonardo da Vinci, Benjamin Franklin dan Abraham Lincoln sering mengalami kesepian dan keterasingan. Namun ternyata mereka mampu mengubah keterasingan dan kesepian mereka menjadi suatu kerja yang berkualitas dan membawa berkat bagi sesama. Kesepian dan keterasingan yang dialami justru diubah mereka menjadi suatu kekuatan kreatif yang membawa inspirasi dan kekuatan bagi banyak orang. Pendiri Face-book yaitu Mark Elliot Zuckerberg tidak pernah lulus sebagai sarjana dan sering kesepian di kamarnya, tetapi kini berhasil menjadi orang muda terkaya di dunia. Usia Mark Elliot Zuckerberg waktu merancang Face-Book  baru berusia 24 tahun! Kekayaan Mark Elliot Zuckerberg kini telah mencapai Rp. 13, 5 trilyun dan jumlah anggota Face-Book hampir mencapai 300  juta orang.  Kesepian dan keterasingan berhasil diubah menjadi kekuatan kreatif yang menakjubkan. Tetapi juga harus diakui begitu banyak orang lebih memilih untuk menghancurkan kehidupannya saat mereka merasa terasing dan mengalami kesepian spiritualitas. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau dunia kita saat ini dipenuhi oleh penyebaran HIV, seks bebas, pornografi dan kematian tragis dengan cara bunuh-diri. Pemulihan wajah kehidupan akan terjadi ketika kita mampu menyikapi keterasingan dan kesepian spiritualitas dengan sikap yang kreatif. Namun perlu dipahami dengan serius, bahwa pemulihan dengan sikap kreatif bukanlah solusi yang final. Sikap yang kreatif juga menjadi tidak berarti,  apabila ternyata kita tetap kehilangan dimensi terdalam dengan sang sumber hidup, yaitu Kristus. Kesepian dan keterasingan spiritualitas manusia yang terdalam tidak dapat diganti dengan hasil kerja yang kreatif saja. Untuk itulah Kristus datang menjadi manusia agar Dia dapat menjadi sahabat bagi setiap umat manusia. Pemulihan wajah kehidupan akan terjadi jika setiap umat mengalami kehadiran Kristus sebagai sahabat yang sejati.

Dalam bukunya yang berjudul Reaching Out, The Three Movement of Spiritual Life (Menggapai tiga gerakan hidup rohani), Henri Nouwen menawarkan solusi, yaitu bagaimana kesepian dan keterasingan rohani dapat diubah menjadi keheningan hati. Bagi Henri Nouwen, iman kepada Kristus seharusnya ditandai oleh keheningan hati, bukan lagi didominasi oleh perasaan keterasingan dan kesepian spiritualitas. Saya memahami makna keheningan hati yang ditawarkan oleh Henri Nouwen identik dengan kebeningan atau kejernihan rohani. Kalau rohani kita bening dan jernih seperti air, maka kita tidak akan pernah mengalami kekeruhan walau harus melewati lembah yang terjal dan tinggi. Rohani kita tetap jernih dan bening walau harus menjadi air terjun yang menimpa batu karang yang terjal. Kondisi ini sangat berbeda jikalau kita mengalami kesepian dan keterasingan rohaniah. Sedikit saja kita mengalami benturan dengan sesama, rohani kita telah keruh. Jelasnya, betapa banyak di antara kita mengalami kekeruhan rohani saat terbentur oleh perkara-perkara yang begitu sepele. Menghayati makna Natal berarti kita menghayati peristiwa Allah yang berinkarnasi dari “atas”, dan kemudian menukik ke bawah yaitu kehidupan dunia tanpa harus menjadi keruh. Di dalam Kristus, kekudusan Allah yang maha-tinggi tidak ternoda oleh dosa saat Dia menjelma menjadi manusia. Dengan demikian melalui peristiwa Natal, Allah memanggil kita untuk dimurnikan oleh Kristus sehingga seluruh kekeruhan dan kekotoran rohaniah kita diubah menjadi suatu kebeningan dan keheningan budi.  Itu sebabnya walau kita harus melangkah dan  melewati kekeruhan dunia serta terjun bebas menghantam batu karang yang terjal, rohaniah kita tetap bening dan hening. Kita tetap mampu mempermuliakan Allah di tengah-tengah penderitaan, kegagalan, penolakan dan kepalsuan dunia. Mungkin kuasa dunia berhasil menyebarkan “uang palsu” seperti gambaran dalam film “The Counterfeiters”. Tetapi karena rohaniah kita tetap bening dan hening, maka kita dapat dengan mudah untuk memisahkan apa yang benar dengan yang palsu, antara akal licik dengan kepandaian, antara kesalehan dengan kemunafikan, antara kawan dengan lawan, antara kasih dengan cinta-diri, antara pelayanan dan ambisi, dan antara kerelaan berkorban dengan sikap yang gemar menyakiti diri sendiri.

Dengan demikian, kebeningan budi dan keheningan rohaniah di dalam Kristus akan memampukan kita untuk bercermin dan mencerminkan diri. Kita tidak lagi menggunakan cermin yang buram yang akan menyebabkan kita melihat berbagai titik hitam dalam diri sesama. Kita juga tidak lagi menggunakan cermin yang retak sehingga menyebabkan kita melihat keretakan dalam diri orang lain. Demikian pula kita juga tidak akan menggunakan cermin cembung dan cekung yang menyebabkan kita menemukan hal-hal yang ganjil dalam diri seseorang. Sebaliknya kita secara konsisten menggunakan cermin Kristus yang memampukan kita jeli dan tajam melihat realita hidup yang penuh dengan dosa, namun juga mampu melihat dan mengalami kasih Allah yang penuh anugerah kepada setiap umat manusia. Bila kehidupan kita telah menggunakan cermin Kristus, maka yakinlah kita telah memulihkan wajah dunia. Selama mata rohani kita bening dan hening, maka kita dimampukan oleh Allah sebagai agen-agen  perubahan yang memulihkan wajah kehidupan ini, baik memulihkan wajah kehidupan kita sendiri, maupun wajah kehidupan sesama di sekitar kita.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono


Mengalami Perjumpaan Yang Mengubahkan (Kis 2:36-41; Mzm. 116:1-3, 10-17; I Petr. 1:17-23; Luk. 24:13-35)

$
0
0

Bagi umat Israel, perenungan terhadap firman Allah yang tertuang dalam hukum Taurat wajib dilakukan di manapun mereka berada. Di Ulangan 6:7 terdapat perintah Allah demikian: “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”.  Itu sebabnya ketika orang-orang Yahudi melakukan perjalanan yang cukup jauh mereka umumnya menggunakan waktu selama perjalanan dengan mendiskusikan isi hukum Taurat. Dalam konteks ini makna mendiskusikan  tentang Taurat bagi umat Israel bukan sekedar untuk membuang waktu agar mereka tidak penat selama di perjalanan; tetapi secara spiritualitas mendiskusikan hukum Taurat bagi mereka dihayati dapat memberi pencerahan dan pemaknaan terhadap kehidupan ini.  Namun apabila pokok bahasan dari hukum Taurat tiba-tiba beralih ke topik lain secara intensif dan serius, pastilah topik tersebut bukan sembarangan materi sehingga layak untuk dijadikan bahan diskusi.  Dua orang dari murid Yesus ternyata tidak mendiskusikan Taurat selama perjalanan mereka dari Yerusalem menuju Emaus. Dalam perjalanan yang jaraknya sekitar 11 km tersebut justru diisi oleh mereka untuk mendiskusikan topik aktual tentang peristiwa penganiayaan dan eksekusi salib yang baru-baru ini dialami oleh Yesus dari Nazaret, guru mereka. Mereka mendiskusikan tentang kehidupan Yesus yang mereka anggap sebagai seorang nabi yang sangat berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan Allah, tetapi nyatanya Dia harus mengalami kematian yang sangat tragis yaitu mati disalibkan. Padahal mereka semula sangat mengharapkan Yesus dapat menjadi seorang Messias yang membebaskan umat Israel dari cengkeraman dan kekuasaan penjajahan kerajaan Romawi. Mungkin selama berjalan kea rah Emaus, mereka mendiskusikan bagaimana mungkin seorang nabi yang berkuasa seperti diri Yesus yang dipenuhi oleh mukjizat Allah dapat mengalami kematian di atas kayu salib. Mengapa Allah membiarkan dan tidak menolong Yesus sebagai MessiasNya? Mengapa Allah tidak menyelamatkan Yesus dari hukuman dan kematian di atas kayu salib?

Pada saat mereka sibuk berdiskusi tentang peristiwa aktual yang baru saja terjadi, muncullah seorang asing yang tiba-tiba mendekati mereka dan ikut serta berdiskusi selama perjalanan ke Emaus. Kedua murid Yesus tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa orang asing yang bersama-sama dengan mereka adalah Tuhan Yesus yang bangkit. Di Luk. 24:16 disebutkan alasan mengapa kedua murid Yesus tersebut tidak mengetahui kehadiran dari Yesus di tengah-tengah mereka, yaitu: “Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia”. Beberapa penafsir mengartikan “sesuatu yang menghalangi mata mereka” adalah karena pandangan mata kedua murid Yesus tersebut terhalang oleh sinar matahari yang akan terbenam. Karena kedua orang tersebut berjalan menuju arah Barat, maka mata mereka menjadi silau oleh sinar matahari sore hari. Ada pula yang mengatakan bahwa kedua murid tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang telah bangkit karena hati mereka saat itu diliputi oleh perasaan dukacita disebabkan kematian Yesus. Sehingga ketika Yesus bertanya kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka Lukas 24:17 memberi gambaran tentang keadaan hati dari kedua murid Yesus itu, yaitu: “Maka berhentilah mereka dengan muka muram”. Jadi karena mereka saat itu sedang muram sebagai cermin dari hati yang sedih dan berdukacita, maka mereka tidak mampu lagi mengenali diri Yesus yang sebelumnya telah mereka kenal. Itu sebabnya mereka bertanya kepada Yesus: “Apakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” (Luk. 24:18). Kemungkinan tersebut di atas memiliki dasar yang faktual sebab mereka saat itu memang berjalan ke arah Barat dan pastilah mata mereka silau terkena oleh sinar matahari senja. Demikian pula mereka saat itu memang sedang berdukacita karena kematian seorang guru yang mereka kasihi dan dianggap berkuasa sebagai nabi Allah, sehingga harapan-harapan mereka kini menjadi pudar. Tetapi semua kemungkinan tersebut tidak dapat dijadikan alasan utama, mengapa para murid Yesus saat dalam perjalanan ke Emaus tidak lagi mengenali kehadiran dari Yesus. Bukankah mereka sebenarnya juga dapat mengenali Yesus dari jenis suaraNya atau caraNya Dia berkata-kata? Bukankah mereka sempat memandang beberapa kali wajah Yesus saat Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka?

Kedua murid Yesus tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang bangkit, karena mereka saat itu  “pangling”. Arti dari “pangling” adalah: “tidak dapat mengenal lagi” atau “mereka lupa dan tak mengenal lagi” (fail to recognize). Selain hati mereka sedang berdukacita, kedua murid Yesus itu tidak lagi mampu mengenali diri Yesus sebelum Dia wafat. Mereka kini melihat diri Yesus dalam bentuk yang sama sekali baru, sehingga mereka “gagal untuk mengenali” identitas Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid tersebut benar-benar tidak mengenali Yesus dengan tubuh kebangkitanNya, sehingga mereka menganggap Yesus yang bangkit sebagai orang asing yang kebetulan hadir di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Emaus. Bahkan mereka juga tetap tidak mengenali Yesus saat Yesus menegur mereka dengan perkataan yang keras, yaitu: “Hai orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga  kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Messias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaanNya?” (Luk. 24:25-26). Bukankah kita akan sedikit tersinggung ketika orang asing yang sedang berbicara dengan kita menegur kita sebagai “orang bodoh” dan “orang yang berhati lamban”?  Bukankah saat perasaan kita terusik dapat mendorong kita untuk mencermati secara lebih mendalam orang yang menjadi lawan bicara kita? Tetapi kedua murid Yesus tersebut tetap tidak menyadari orang asing yang sedang menegur dan berbicara dengan mereka adalah Yesus yang telah bangkit. Selaput yang menghalangi mata mereka sedemikian tebalnya, sehingga kedua murid  tetap buta mata dan kesadarannya pada saat Yesus menerangkan tentang Messias sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab-kitab Musa dan kitab nabi-nabi. Kini selama sisa perjalanan, kedua murid Yesus kembali mendiskusikan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tetapi kini mereka diajar oleh “orang asing” tentang makna dari ayat-ayat Firman Tuhan tersebut dengan perspektif yang baru dan lebih dalam! Makna hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tidak lagi ditempatkan secara terpisah dari karya Tuhan Yesus yang telah wafat dan bangkit. Sebaliknya nubuat yang tercantum hukum Taurat dan kitab nabi-nabi menjadi penuh makna dan aktual saat nubuat Firman Tuhan tersebut ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah yang telah menentukan Yesus sebagai Messias harus menderita tetapi juga Dia akan dibangkitkan dari kematianNya.

Ketika mereka hampir sampai di Emaus, disebutkan Yesus berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalananNya. Tetapi kedua murid Yesus itu sangat mendesak Dia untuk tinggal bersa-sama mereka, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Luk. 24:29). Perkataan kedua murid Yesus yang mengajak Yesus tinggal bersama mereka memberi inspirasi Henry Francis Lyte pada tahun 1847 untuk menggubah suatu syair dengan judul Abide with Me yang kemudian oleh William Henry Monk paa tahun 1861 dijadikan suatu nyanyian. Kini pujian tersebut dapat kita nyanyikan dari Kidung Jemaat nomor 329. Lagu ini terasa sangat menyentuh saat ditempatkan pada detik-detik terakhir kapal “Titanic” yang akan karam dalam film “Titanic”. Ungkapan permohonan dari kedua murid Yesus agar Yesus mau bersama-sama untuk tinggal dengan mereka memberi kesan bahwa mereka waktuitu sangat takjub dan terkesan dengan seluruh sikap dan perkataan Yesus saat Dia menjelaskan makna Kitab Suci selama di perjalanan. Dalam hal ini mereka bukan sekedar ingin memberi pertolongan kepada Yesus sebagai “orang asing”. Karena menurut kebiasaan dan tata-krama Yahudi, tidaklah pantas membiarkan seorang tamu berjalan dalam keadaan gelap di malam hari (bandingkan Kej. 19:1-11). Tetapi justru sebaliknya, mereka merasa memperoleh pertolongan berupa “pencerahan iman” saat Yesus menjelaskan makna Firman Tuhan. Pencerahan iman terhadap kebenaran Firman Tuhan tersebut sedikit banyak telah mengobati perasaan dukacita dan kesedihan hati mereka. Sebab mereka makin dapat melihat bahwa kematian Yesus pada hakikatnya telah ditentukan oleh Allah. Kematian Yesus justru dipakai oleh Allah untuk menyatakan kemuliaanNya. Dalam pengertian ini sedikit demi sedikit mereka mulai memahami berita yang tersebar tentang kemungkinan kebangkitan Yesus dari kuburNya. Tetapi saat itu hati mereka tetap belum mengenal identitas diri Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid Yesus itu masih menganggap Yesus sebagai orang asing.

Mata rohani kedua murid Yesus baru tersingkapkan saat mereka bersama Yesus makan roti. Di Lukas 24:30-31 menyaksikan: “Waktu Ia duduk makan makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka”.  Selama perjalanan yang cukup jauh, mereka tidak mampu mengenal jati-diri Yesus yang berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi saat mereka bertiga makan bersama, yaitu saat Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecah-mecahkan roti dan memberikan roti itu kepada mereka; barulah  terbuka  mata mereka. Apakah kesadaran dan mata rohani mereka baru dapat terbuka karena mereka diingatkan akan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan? Ataukah penyingkapan diri Yesus terjadi karena saat itu mereka tidak lagi menganggap Yesus sebagai orang asing sebab mereka telah menyambut Dia untuk makan bersama? Keberadaan Yesus yang bangkit akan dapat dialami secara eksistensial ketika umat percaya mau membuka hati dengan sikap kasih kepada sesamanya yang asing. Tuhan Yesus yang telah bangkit berjanji akan hadir di tengah-tengah persekutuan yang saling mengasihi dan percaya  dalam namaNya. Di Matius 18:20, Tuhan Yesus berkata: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Selama manusia memiliki sikap tidak percaya dan mengasihi Kristus maka mereka tidak mungkin dapat mengalami kehadiran Kristus yang telah bangkit. Itu sebabnya kita dapat mengerti alasan mengapa Yesus yang bangkit tidak menyatakan diriNya kepada para musuhNya, seperti para pemimpin agama Yahudi. Pada masa kini, tidak setiap orang dapat mengalami kehadiran dan kuasa Kristus yang bangkit jikalau mereka tidak mengalami perjumpaan yang personal dengan Dia. Bukankah kita sering memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai seorang asing? Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak peka dengan keadaan orang asing yang berada di tengah-tengah kita. Mata hati kita sering tertutup rapat, sehingga kita tidak mampu melihat kehadiran Kristus yang tersembunyi dalam berbagai penderitaan dan kesusahan orang-orang asing di sekitar kita.

Setelah kedua murid Yesus tersebut dapat mengenali diri Yesus yang telah bangkit dan tidak lagi sebagai orang asing, maka di Lukas 24:33 menyatakan: “Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka”.  Perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit menghasilkan suatu perubahan sikap dan spiritualitas. Walaupun mereka di Emaus belum sempat beristirahat dan hari telah menjelang malam, mereka berdua  memutuskan pergi untuk kembali ke Yerusalem menemui para murid Yesus lainnya. Mereka ingin memberitakan kabar gembira tentang perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit.  Apabila semula muka mereka berwajah muram penuh kesedihan dan rasa dukacita saat mereka berjalan dari Yerusalem ke Emaus, tetapi kini wajah mereka diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa saat mereka kembali dari Emaus ke Yerusalem. Bagi mereka berdua berita tentang kebangkitan Kristus bukan lagi merupakan kabar “burung” sebab kini mereka telah mengalami secara personal dan langsung perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Kedua murid Yesus di Emaus itu tidak lagi menganggap kebangkitan Kristus hanya sebagai kabar (“news”), tetapi dialami sebagai peristiwa nyata (“events”)  yang mencelikkan atau mentransformasikan seluruh kesadaran dan mata rohani mereka. Itu sebabnya mereka terpanggil untuk bersaksi tentang makna kematian dan kuasa kebangkitan Kristus kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi kesaksian tentang kebangkitan Kristus bukan terjadi karena kasus “cognitive dissonance”, yaitu suatu anggapan bahwa para  murid berubah menjadi pribadi yang agresif bersaksi karena kepercayaan mereka ternyata meleset. Dalam teori “cognitive dissonance” didasari oleh perasaan ragu dan tidak percaya kepada peristiwa kebangkitan Kristus.  Sebab dalam teori ini meleset atau gagalnya kepercayaan yang semula dipegang teguh oleh suatu komunitas keagamaan yaitu para murid Yesus dan jemaat perdana dalam menghadapi kematian Yesus.  Para murid Yesus dan gereja perdana mengalami tekanan psikologis karena mereka harapan utama mereka kandas. Akibat dari tekanan dan dorongan psikologis tersebut mereka justru makin termotivasi untuk lebih bersemangat dan menjadi militan karena sebenarnya mereka ingin mengurangi atau meniadakan kegagalan yang dialami sebelumnya.

Tentunya teori “cognitive dissonance” tersebut tidaklah tepat untuk dikaitkan dengan peristiwa kebangkitan Kristus. Para rasul dan jemaat perdana bersaksi tentang Kristus dengan sepenuh hati bukan didorong oleh perasaan kecewa karena harapan utama mereka menjadi kandas. Sebab inti dari pemberitaan dan kesaksian gereja perdana atau para rasul bukan sekedar memberi penghiburan dan pengharapan kosong. Isi pokok kesaksian dan pemberitaan para rasul dan gereja perdana yang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit adalah: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia ROH KUDUS” (Kis. 2:38). Pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang bangkit senantiasa dikaitkan dengan panggilan untuk bertobat yaitu perubahan arah, nilai dan kualitas hidup. Melalui peristiwa kebangkitan Kristus, para rasul dan jemaat perdana telah mengalami apa artinya dilahirkan kembali. I Petr. 1:23 berkata: “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yaitu firman Allah yang hidup dan yang kekal.” Yang mana panggilan pertobatan dan kelahiran kembali tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi, sebab: “Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakanNya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah” (I Petr. 1:21). Jadi sangatlah jelas bahwa para rasul dan gereja perdana telah mengalami peristiwa kebangkitan Kristus secara faktual  dan eksistensial; sehingga peristiwa kebangkitan Kristus telah mengubah seluruh pola pikir, pandangan, nilai-nilai dan makna serta tujuan hidup mereka.

Jika demikian, apakah kita selaku jemaat juga telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit? Apabila kehidupan kita lebih sering dibelenggu oleh perasaan duka, sedih dan berpikir menurut ukuran-ukuran/nilai-nilai duniawi; maka  kita akan bersikap seperti dua orang murid dari Emaus. Dalam situasi demikian, kita akan memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai “orang asing” yang sebenarnya sedang berjalan di tengah-tengah kehidupan kita. Sebab kita tidak lagi mampu mengenali jati-diri Kristus yang tersembunyi di tengah-tengah kehidupan bersama sesama. Ini terjadi karena hati kita lamban dan secara spiritualitas kita telah menjadi orang-orang yang “bodoh”. Akibatnya arah dan tujuan hidup kita cenderung untuk selalu berkiblat ke masa lampau dan kepada diri sendiri. Tetapi manakala hati dan mata rohani kita dicelikkan oleh Allah, maka kita akan dimampukan untuk lebih mengenal dan berjumpa  secara personal  dengan Kristus yang bangkit. Saat itulah kehidupan kita akan diubahkan secara penuh. Hidup kita mengalami pencerahan iman dan ditransformasi  oleh kuasa kebangkitanNya, sehingga dengan penuh sukacita kita menjadi saksi dari kuasa kebangkitan Kristus.  Tanda pencerahan iman sebagai saksi-saksi kebangkitan Kristus adalah pertobatan dan kelahiran baru. Jadi apakah hidup saudara saat ini  ditandai oleh pertobatan dan hidup yang baru?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Allah, Pelindung Bagi Yang Tertindas (Mzm. 68:1-10; 1Petr. 4:12-14)

$
0
0

Pembukaan kitab Mazmur 68 cukup mengejutkan: “Allah bangkit, maka terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya” (Mzm. 68:2). Yang mana tindakan Allah yang bangkit tersebut ternyata berkaitan dengan “Allah yang berperang” sebagaimana yang diungkapkan di Mazmur 68:8: “Ya Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umatMu, ketika Engkau melangkah di padang belantara.”  Bagi saya cukup  mengejutkan sebab premis dasar dari Mazmur 68 mau menyatakan Allah yang bangkit berperang di depan umat-Nya sehingga kemudian menimbulkan efek “terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya.” Sebab bukankah ungkapan “Allah bangkit berperang” sepanjang sejarah telah digunakan untuk menghalalkan dan membenarkan berbagai perang dengan sebutan yang manis dan rohani, yaitu: “perang Allah,” atau disebut pula dengan “perang suci?” Padahal semua perang dengan atribut “perang Allah” atau “perang suci” tersebut justru dalam praktiknya senantiasa lebih kejam, beringas dan barbar dalam membantai setiap orang yang dianggap sebagai musuh-musuh Allah. Karena itu berbagai peristiwa perang dengan atribut “perang suci” atau “perang Allah” tersebut telah mengakibatkan jutaan anak-anak yang harus kehilangan ayah atau orang-tuanya, para isteri yang harus  kehilangan suami sehingga mereka harus menjanda,  dan para wanita yang kehilangan kehormatannya karena mereka dijadikan tawanan dan diperkosa secara massal. Dengan pemikiran yang demikian, kesaksian Allah yang bangkit berperang (Mzm. 68:2, 8) sangat kontradiktif dengan isi kesaksian di Mzm. 68:6-7. Sebab Mzm. 68:6-7 berkata: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia.”

Kontradiksi yang saya maksudkan adalah: apabila di Mazmur 68:2,8 menyatakan Allah yang bangkit berperang untuk menghancurkan para musuhNya dengan membawa akibat banyak dari anak-anak kehilangan ayahnya, dan para isteri kehilangan suami serta para wanita kehilangan kehormatannya dan menjadi tawanan; maka mengapa di Mazmur 68:6-7 menyatakan bahwa Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada  mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan?  Dengan pemahaman tersebut timbul suatu kesan bahwa kesaksian Mazmur 68:6-7 merupakan pada prinsipnya akibat dari tindakan Allah yang berperang menghancurkan para musuhNya sebagaimana telah dinyatakan dalam Mazmur 68:2,8. Atau dengan perkataan lain para anak yatim, para janda dan mereka yang sebatang kara serta menjadi tawanan sebenarnya merupakan akibat dari tindakan Allah  memerangi dan membinasakan para musuhNya. Orang-orang yang telah menjadi anak yatim, para janda dan para tawanan yang sebatang kara di Mazmur 68:6-7 sesungguhnya merupakan para korban dari suatu peperangan; sebab “ayah, suami dan keluarga mereka telah terbunuh akibat perang yang dilancarkan oleh Allah.” Analisis ini sepertinya mau menyimpulkan bahwa Allah sebagai subyek yang menjadi penyebab penderitaan dari para korban perang. Sebab melalui perang yang dilancarkan oleh Allah tersebut telah menimbulkan para anak kehilangan para ayah sehingga mereka menjadi yatim, para isteri kehilangan suami-suami sehingga mereka menjadi para janda, dan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya karena mereka menjadi tawanan atau menjadi orang-orang yang sebatang kara. Jadi karena Allah dianggap sebagai penyebab penderitaan dari para korban perang, maka kini Dia harus bertanggungjawab untuk menjadi: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia.” Apakah ini berarti “moralitas Allah” sebagai penanggungjawab bagi anak yatim, para janda dan para tawanan” dihayati sebagai suatu kompensasi karena tindakan-Nya yang telah menghancurkan dan membinasakan para musuh-Nya? Jika benar maka moralitas Allah tersebut bukan lahir dari hakikat-Nya yang kudus dan penuh kasih. Bukankah Allah yang kudus dan  penuh kasih tidak akan pernah membangkitkan perang untuk membinasakan manusia yang dianggap sebagai musuh-Nya? Sebab para penguasa dunia sepanjang sejarah umumnya juga akan melakukan hal yang sama terhadap para keluarga musuh yang menjadi korban perang.

Namun apabila kita membaca dengan teliti, maka yang dimaksudkan dengan “Allah yang bangkit berperang” ternyata bukanlah suatu tindakan dalam bentuk “perang suci” atau “perang Allah” dalam pengertian kita saat ini.  Pengertian kita saat ini tentang “perang Allah” atau “perang suci” umumnya telah terbentuk oleh berbagai peristiwa menyedihkan di sekitar kita seperti meletusnya perang atas nama agama, jihad, dan berbagai teror.  Sebab bukankah hampir semua orang kini telah terbentuk suatu pandangan atau persepsi negatif bahwa “perang suci” memiliki konotasi dengan berbagai kekejian terhadap kemanusiaan seperti pemotongan leher, pemerkosaan dan pembantaian masaal atas nama Tuhan? Ternyata makna Allah bangkit berperang yang disaksikan dalam Mazmur 68 sama sekali tidak dinyatakan dalam bentuk suatu peperangan fisik antara suatu umat yang menganggap dirinya sebagai “umat Allah” dengan umat lain yang dianggap sebagai “golongan kafir.”  Perang yang dilancarkan oleh Allah kepada para musuh yang membenci-Nya dinyatakan melalui hukuman alam. Apabila di Mazmur 68:8 menyatakan: “Ya Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umatMu, ketika Engkau melangkah di padang belantara”, maka di ayat 9, pemazmur kemudian menyambungnya dengan pernyataan: “bergoncanglah bumi, bahkan langit mencurahkan hujan di hadapan Allah; Sinai bergoyang di hadapan Allah, Allah Israel.” Jadi Allah yang bangkit berperang dalam pemikiran kitab Mzm. 68 sebenarnya untuk menunjuk hakikat Allah yang berkuasa  dengan tidak menggunakan kekuatan senjata dan militer dari para tentara umatNya. Sebab Allah lebih memilih menggunakan kekuatan alam untuk menyatakan kekudusanNya, yaitu dengan peristiwa gempa bumi dan langit yang mencurahkan hujan deras. Tampaknya pemazmur ingat peristiwa pada zaman Nuh yang mana Allah menghukum umat manusia dengan air bah dan juga kehadiran Allah di gunung Sinai dengan guntur dan halilintar. Tetapi pada saat yang sama “hukuman alam” seperti gempa dan hujan yang deras tidak senantiasa berakibat destruktif. Gempa bumi dan hujan yang deras juga dipakai untuk memulihkan keadaan tanah padang gurun yang gersang sehingga mahluk hidup dan orang-orang yang tertindas dapat kembali memperoleh makanan. Itu sebabnya di Mazmur 68:10-11, pemazmur menyatakan: “Hujan yang melimpah Engkau siramkan, ya Allah; Engkau memulihkan tanah milik-Mu yang gersang, sehingga kawanan hewan-Mu menetap di sana; dalam kebaikan-Mu Engkau memenuhi kebutuhan orang yang tertindas, ya Allah.”  Ini berarti tindakan Allah yang bangkit berperang melawan para musuh-Nya pada hakikatnya tetap ditempatkan dalam koridor karya penyelamatan dan pemulihan Allah bagi umat-Nya.

Makna teologis ini menjadi sangat penting karena Allah yang berkenan menjadi Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada  mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan bukan muncul dari sosok “ilahi” yang bersifat kejam dan menyukai peperangan. Gambaran Allah bernama “Yahweh” (TUHAN) tidak identik dengan “allah” yang memotivasi  dan memberi inspirasi para pelaku teror dalam berbagai “perang suci.” Sebaliknya “peperangan” melalui alam yang diselenggarakan oleh Allah pada hakikatnya untuk menghasilkan karya penyelamatan dan pemulihan bagi setiap umatNya. Allah berkenan menjadi Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta tawanan karena Dia tetap konsisten menyelamatkan kehidupan dan masa depan mereka. Walaupun Dia selalu dilukai oleh para musuh dan umatNya, namun Allah tetap mau menanggung segenap penderitaan dan kesakitan kita. Itu sebabnya di Mazmur 68:20-21, pemazmur menyatakan: “Terpujilah Tuhan! Hari demi hari Ia menanggung bagi kita; Allah adalah keselamatan kita. Allah bagi kita adalah Allah yang menyelamatkan, ALLAH, Tuhanku, memberi keluputan dari maut.”  Dengan demikian predikat “Allah yang bangkit berperang” tetap terkait erat dengan “Allah yang menyelamatkan” atau “Allah yang meluputkan dari maut.” Kalau toh dalam kasus-kasus tertentu Allah “berperang” untuk membinasakan para musuh-Nya adalah karena Dia berperang untuk menjaga dan melindungi setiap umat yang lemah dan tertindas.  Dalam hal ini Allah senantiasa memosisikan diri-Nya sebagai Hakim yang adil sehingga Dia akan membalas setiap perbuatan orang yang jahat, keji dan kejam. Tetapi bagi setiap orang yang tertindas Allah justru berkenan memposisikan diri-Nya sebagai seorang “Bapa” (Father) bagi setiap orang yang “tanpa ayah” (fatherless), pelindung bagi para janda dan orang-orang yang sebatang kara serta yang menjadi tawanan. Jadi dalam konteks ini Allah yang bangkit berperang justru menjadi penyampai kabar baik yang menyelamatkan umat yang tertindas: “Tuhan menyampaikan sabda; orang-orang yang membawa kabar baik itu merupakan tentara yang besar” (Mzm. 68:12).

Karena itu ketika kita menderita dan mengalami penganiayaan, kita harus senantiasa bersedia untuk koreksi diri yaitu apakah penderitaan yang kita alami tersebut karena kita telah berlaku benar, jujur, taat dan setia kepada kehendak Allah serta memberlakukan kasihNya; ataukah penderitaan kita tersebut karena akibat perbuatan dosa kita sendiri. Apabila penderitaan tersebut diakibatkan karena sikap integritas dan kredibilitas iman kita maka Allah akan memposisikan diriNya sebagai seorang Bapa dan pelindung bagi setiap orang yang tertindas. Tetapi apabila penderitaan tersebut disebabkan karena perbuatan dan tingkah-laku kita yang sewenang-wenang, kejam dan jahat kepada sesama maka sesungguhnya Allah akan bangkit berperang melawan diri kita. Itu sebabnya di Surat I Petrus 4:15-16, Firman Tuhan berkata: “Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.”  Sayangnya saat kita mengalami penderitaan, kita sering mengalami kerancuan sehingga kita tidak tahu secara persis apakah penderitaan yang kita alami karena kita menjadi korban (victim) ataukah kita sebagai penyebab orang lain menjadi korban (evildoer). Sehingga apapun penderitaan yang kita alami karena hal yang baik atau buruk, kita sering menjadikan Tuhan sebagai seorang Bapa dan pelindung. Padahal pemikiran semacam ini mengandung bahaya. Apakah ini berarti Tuhan juga kita jadikan sebagai seorang Bapa dan pelindung untuk segala keburukan dan kejahatan kita, sehingga Dia harus membela dan membenarkan segala tindakan kita yang tidak terpuji? Mazmur 68:6-7 jelas menyatakan bahwa Allah akan bangkit berperang untuk melawan setiap musuh-musuhNya yaitu orang-orang yang menindas setiap orang yang lemah dan tertindas. Sebab sebagai Allah yang kudus, Dia akan memposisikan diriNya sebagai pembela dan seorang Bapa yang melindungi setiap umat yang tidak berdaya, kaum marginal, dan minoritas (“sebatang kara”).

Ketika Tuhan Yesus berdoa di taman Getsemani, Injil Yohanes mengungkapkan kepedulian Tuhan Yesus terhadap para murid dan orang percaya ketika Dia tidak lagi bersama dengan mereka, yaitu: “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.” Dalam doaNya tersebut, Tuhan Yesus mohon kepada Allah agar para  murid dan orang-orang yang percaya kepada Dia dipelihara dalam nama Allah. Bagi umat percaya, makna “nama Allah” bukan sekedar untuk menunjuk suatu identitas ilahi yaitu Allah yang bernama “YAHWEH.” Tetapi mereka mengimani bahwa dalam “nama Allah” tersedia perlindungan dan keselamatan. Itu sebabnya di kitab Amsal, Firman Tuhan berkata: “Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia mendapat selamat” (Ams. 18:10).  Jadi “nama Tuhan” digambarkan seperti sebuah menara yang umumnya berhubungan pula dengan benteng yang waktu itu tinggi dan kuat, sehingga setiap orang yang masuk dalam benteng dan menara tersebut dia akan selamat dari bahaya kematian. Umat percaya kepada Kristus dan yang hidup benar namun mereka dianiaya dijanjikan oleh Kristus untuk dilindungi dalam nama Allah. Sebab pada hakikatnya Kristus datang ke dalam dunia ini dalam nama Allah BapaNya. Yohanes 5:43 berkata: “Aku datang dalam nama BapaKu ….” Karena itu setiap umat percaya kepada Kristus dan mengalami perlakuan yang sewenang-wenang dari kuasa dunia ini akan mengalami penyertaan dan perlindungan dari Kristus. Jadi doa Tuhan Yesus tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang Kristen yang hidup benar namun mereka berada di posisi yang lemah dan tertindas. Itu sebabnya dalam doaNya tersebut Tuhan Yesus tidak berdoa untuk dunia tetapi untuk setiap orang yang percaya: “Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu” (Yoh. 17:9).

Jika demikian, tugas panggilan kita sebagai umat percaya kepada Kristus sangat jelas yaitu menjadi kawan sekerja Allah. Sebagai kawan sekerja Allah, kita dipanggil menjadi alat di tangan Allah untuk membela setiap orang yang tertindas dan lemah. Dalam praktik hidup, kelompok orang-orang yang tertindas dan lemah ternyata tidak mengenal batasan agama, suku, etnis, kemampuan finansial, pendidikan, adat-istiadat dan budaya serta kategori usia. Artinya orang-orang yang tertindas tersebut dapat menunjuk kepada orang-orang yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda etnis dan kategori usia atau pendidikan di setiap budaya apapun. Karena itu apapun keadaan dan latar-belakang mereka, Allah akan peduli untuk menjadi seorang Bapa dan pelindung bagi mereka yang tertindas. Ini berarti Allah akan bangkit berperang melawan umatNya sendiri manakala mereka menjadi para penindas dan para pelaku kejahatan.  Dengan demikian musuh-musuh kita secara objektif dan faktual sangatlah jelas yaitu: sebagai kawan sekerja Allah kita menentang setiap kebencian dalam bentuk apapun, kekerasan dalam bentuk apapun, perlakuan kejam dalam bentuk apapun, diskriminasi dalam bentuk apapun, perlakuan tidak adil dalam bentuk apapun, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun. Kita juga menentang semua “klaim” keagamaan atau wahyu ilahi apapun untuk membenarkan penderitaan dan kesengsaraan orang lain.  Itu sebabnya selaku kawan sekerja Allah di dalam Kristus kita menentang semua bentuk ungkapan dan tindakan yang didasari oleh “superioritas” keagamaan, suku, etnis, pendidikan dan posisi sosial untuk menindas kelompok lain atau sesama. Selaku kawan sekerja Allah di dalam Kristus pada hakikatnya kita merindukan dan terus memperjuangkan keadilan,  perlindungan hidup, perdamaian, keutuhan ciptaan dan cinta-kasih yang tidak mengenal batas. Bila demikian, bagaimana sikap dan posisi etis saudara? Apakah saudara berada di posisi orang yang tertindas atau sebagai penindas? Apakah kita berperan sebagai kawan sekerja Allah ataukah sebagai musuh-musuh Allah? Namun apabila kita berada di posisi yang tertindas karena integritas iman dan sikap kasih kita, yakinlah bahwa Allah akan melindungi dan menjaga kita karena Dia adalah Bapa bagi  setiap orang yang lemah dan menjadi pelindung bagi mereka yang tidak berdaya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Kasih Karunia Allah Di Dalam Penderitaan (Kis. 2:41-47; Mzm. 23; 1Petr. 2:18-25; Yoh. 10:1-10)

$
0
0

Realitas penderitaan umat percaya yang dikemukakan di I Petrus 2:18-25 sangatlah khusus dan unik. Sebab penderitaan tersebut dialami oleh orang-orang Kristen yang waktu itu berlatar-belakang dari golongan ekonomi yang sangat miskin; bahkan tepatnya surat I Petrus 2:18-25 ini ditujukan kepada mereka yang telah tidak memiliki apapun. Karena orang-orang Kristen yang dimaksud adalah mereka yang saat itu berstatus sebagai para budak; yang mana hak hidup mereka telah dirampas dan dicabut secara paksa oleh tuan mereka. Itu sebabnya orang-orang Kristen atau siapapun yang menjadi budak pada zaman itu pada prinsipnya telah kehilangan hak untuk hidup dan masa depan mereka. Dari catatan sejarah kita dapat melihat gambaran tentang perlakuan-perlakuan yang sangat tidak manusiawi dan kejam terhadap mereka yang berstatus sebagai budak. Sebab mereka dapat dianiaya, dipukuli, dipaksa bekerja keras yang melampaui  batas-batas normal dan dapat diperjual-belikan  oleh tuan mereka kepada orang lain tanpa ada orang yang dapat membela atau melindungi diri mereka. Karena itu orang-orang yang menjadi budak pada zaman itu sama sekali tidak memiliki lagi hak bagi hidup mereka sendiri, tetapi mereka hidup hanyalah untuk menghidupi dan melayani orang lain yang menjadi majikan mereka. Jadi mereka tidak pernah menerima upah apapun walau mereka telah bekerja keras, membanting tulang dan mengerahkan seluruh tenaga dan waktu sepanjang hidup mereka. Apabila mereka suatu saat bertindak melawan karena tidak tahan terhadap perlakuan para majikan yang kejam itu, maka mereka akan mendapat hukuman siksaan yang sangat keji. Banyak foto-foto dokumentasi sejarah yang memperlihatkan hukuman yang sangat keji terhadap para budak yang berani memberontak, melawan atau mereka yang melarikan diri dari para tuannya tetapi kemudian mereka dapat tertangkap kembali. Para budak ini akan dipaksa untuk memanggul beban yang sangat berat di atas kepalanya, tubuh mereka akan diikat dan digantung pada tiang gantungan, atau mereka akan mendapat cambukan di punggung secara bertubi-tubi sehingga menimbulkan bekas bilur-bilur yang dalam. Saat itu belum ada hukum atau peraturan yang dapat menjerat para tuan/majikan yang berlaku bengis dan kejam terhadap para  budaknya. Sebab hukum yang ada justru melindungi para tuan/majikan untuk memperlakukan para budak sesuka hatinya.

Di tengah-tengah situasi perbudakan yang demikian, rasul Petrus memberi nasihat kepada para budak yang menderita dianiaya oleh para tuannya, demikian: “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis” (I Petr. 2:18).  Rasul Petrus menasihati agar para budak yang menjadi anggota jemaat dan mengikut Kristus mau tetap bersikap hormat, mau tunduk dan tidak melawan kepada tuan mereka baik kepada tuan yang berlaku ramah  atau yang murah hatinya maupun kepada tuan yang berlaku bengis. Bagaimana kesan dan pendapat saudara terhadap perkataan rasul Petrus tersebut? Bukankah nasihat dari rasul Petrus tersebut sepertinya mendukung perbudakan? Apakah gereja Kristen perdana memang secara sengaja mendukung perbudakan, dan tidak mengadakan perlawanan kepada sistem perbudakan yang sangat jelas tidak sesuai dengan berita Injil Yesus Kristus yang membebaskan? Atau dengan perkataan lain, mengapa para rasul dan gereja perdana tidak memberi perlawanan sengit terhadap sistem perbudakan dan membela para  budak yang telah lama hidup menderita? Malahan di I Petrus 2:19, rasul Petrus menyatakan: “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar  akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.”  Nasihat rasul Petrus ini cukup mengejutkan, bukan? Sebab kepada para budak yang telah hidup sangat menderita akibat paksaan untuk bekerja melampaui harapan dan kemampuan serta deraan yang tidak manusiawi dari para tuannya itu justru mereka diminta oleh rasul Petrus untuk menghayati penderitaannya sebagai kasih karunia Allah. Para budak dalam konteks ini diminta oleh rasul Petrus untuk rela menanggung penderitaan mereka sebagai bagian dari kehendak Allah. Apakah ini berarti status sebagai budak  dan sistem perbudakan pada zaman itu dihayati oleh para rasul dan gereja perdana sebagai wujud dari bagian kehendak Allah?

Nasihat rasul Petrus agar umat percaya yang berstatus sebagai budak untuk menghayati penderitaan mereka sebagai bagian dari kehendak Allah dan kasih karuniaNya pada hakikatnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegitimasi  atau membenarkan sistem perbudakan yang berlaku pada zaman itu. Tekanan utama dari I Petrus 2:18-25 adalah bagaimana mereka dalam keadaannya, termasuk dalam status sebagai seorang budak yang menderita, mereka tetap dapat meneladan sikap Tuhan Yesus pada saat Dia diperlakukan secara kejam dan tidak adil. Rasul Petrus berkata: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya” (I Petr. 2:21). Fokus utama dari I Petrus 1:18-19 merupakan panggilan selaku umat percaya, agar para budak yang menderita itu tetap hidup seperti Kristus yang telah menderita dan wafat di atas kayu salib. Umat percaya yang saat itu berstatus sebagai para budak dipanggil untuk memiliki spiritualitas Kristus, yaitu agar mereka sungguh-sungguh mengikuti jejak dan pola kehidupan Kristus (“Imitatio Christi”). Sifat utama dari Kristus saat Dia menderita adalah: “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”(1Petr. 2:33). Di tengah-tengah pergumulan, penderitaan dan kematianNya Kristus tetap menampilkan integritas diriNya yang sempurna. Pada saat Tuhan Yesus diperlakukan secara kejam dan tidak adil, Dia tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, caci-maki yang dilontarkan oleh para musuhNya dengan caci maki, pukulan dari para lawanNya dengan pukulan dan nyawa dengan nyawa. Intinya ciri dari seluruh kehidupan Tuhan Yesus adalah: “Ia tidak berbuat dosa” (1Petr. 2:22), ketika Ia diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah menampilkan sosok diri dari “Hamba Tuhan yang menderita” (Yes. 52) dan yang mampu menghadapi setiap penderitaan dan kematianNya dengan kasih yang sangat sempurna. Bahkan selaku “Hamba Tuhan yang menderita”, Tuhan Yesus bersedia menderita dan wafat agar “oleh bilur-bilurNya kita semua menjadi sembuh” (1Petr. 2:24). Jadi sangat jelas bahwa nasihat surat I Petr. 2:18-25 adalah agar anggota jemaat yang berstatus sebagai para budak dapat hidup secara berkualitas dalam spiritualitas Kristus di tengah-tengah pergumulan dan penderitaannya. Ini berarti tekanan utama dari surat I Petrus 2 :18-25 adalah bagaimana umat percaya tetap mampu menghayati panggilan hidup yang berspiritualitas dan berintegritas dalam iman kepada Tuhan Yesus, walau mereka secara duniawi berstatus sebagai para budak yang direndahkan oleh manusia.

Kecenderungan manusia pada saat dia mengalami penderitaan dan perlakuan tidak adil atau kejam adalah keinginan dan hawa nafsu untuk membalas dan melakukan tindakan yang sama kepada si pelaku. Hukum “gigi ganti gigi” dan “mata ganti mata” telah menjadi dorongan instingtif manusia sepanjang zaman. Dorongan instingtif tersebut kemudian dilegitimasikan oleh berbagai ideologi, budaya, adat-isitiadat, filosofi bahkan sistem pengajaran agama sehingga penyelesaian terhadap kejahatan sepanjang perjalanan sejarah manusia senantiasa diwarnai kekerasan dan balas dendam. Dalam iman Kristen realitas kejahatan, kekejaman, ketidakadilan dan kekerasan diyakini tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sama pula. Itu sebabnya sikap Kristus sepanjang hidupNya tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan; tetapi Dia senantiasa membalas kepada si pelaku kejahatan dengan kasih, kesabaran, dan kesediaan untuk berkorban. Demikian pula anggota jemaat yang pada waktu itu berstatus sebagai para budak yang kerap dianiaya dan diperlakukan secara tidak adil oleh para tuan mereka; mereka dipanggil untuk senantiasa meneladan sikap Tuhan Yesus. Mereka dipanggil untuk kaya dalam kasih dan sabar menderita seperti yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus; tetapi dengan suatu keyakinan yang kokoh, yaitu: “menyerahkan kepada Allah yang akan menghakimi dengan adil” (1Petr. 2:23).  Jadi realitas ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi dalam kehidupan ini tidak pernah diterima oleh umat percaya secara pasif  atau dianggap sebagai nasib buta (sikap pasrah “bongkokan”). Tetapi umat percaya senantiasa mengembalikan segala realitas yang tidak adil dan kejam tersebut kepada keadilan Allah. Dalam sikap iman, mereka percaya bahwa Allah adalah Hakim yang adil, dan yang akan membalas segala kejahatan dan kekejaman yang telah dilakukan manusia kepada sesamanya.  Di Roma 12:19, rasul Paulus berkata: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, Firman Tuhan.”  Dengan pemahaman ini menjadi sangat jelaslah bahwa iman Kristen yaitu para rasul dan jemaat perdana tidak pernah melegitimasi atau menyetujui status dan sistem perbudakan yang berlaku pada zaman itu. Justru sebaliknya umat yang percaya kepada Kristus di tengah-tengah situasi yang buruk tetap tidak mau terjebak pada sikap duniawi yang lebih cenderung membalas kejahatan dengan kejahatan, sikap kejam dengan kekejaman, perlakuan tidak adil dengan ketidakadilan. Iman kepada Kristus menyadarkan umat percaya sepanjang zaman, yaitu bahwa hanya kasih Allah yang rela berkorban akan mampu mengubah setiap sistem dan pola kehidupan yang buruk. Walau kasih Allah tersebut tidak akan segera memperbaiki keadaan, tetapi perlahan-lahan namun pasti suatu saat kasih Allah akan berhasil mentransformasi segala situasi yang jahat dan buruk.

Dari pembahasan di atas kita dapat melihat bahwa kualifikasi penderitaan yang sesuai dengan kasih karunia Allah manakala umat yang menderita itu berada di posisi sebagai korban (victim). Allah akan melimpahkan kasih karuniaNya kepada umat yang diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil. Sebab “mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar dan telingaNya kepada teriak mereka minta tolong; wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat” (Mzm. 34:16).  Jadi Allah tidak pernah berpihak kepada para pelaku kejahatan, yaitu orang-orang yang menimbulkan penderitaan dan kesusahan bagi sesamanya. Sehingga apabila para pelaku kejahatan tersebut menderita, maka penderitaan mereka pada hakikatnya merupakan hukuman dan murka Allah. Namun sayangnya dalam realita hidup kita sering  mengalami kerancuan kualifikasi antara “orang yang menjadi korban” dengan “pelaku kejahatan”. Problem ini terjadi karena para pelaku kejahatan merasa telah berlaku “benar” dan “berkenan di hadapan Allah”. Itu sebabnya para pelaku kejahatan tesebut menghayati penderitaan mereka sebagai “kehendak Allah”. Padahal faktanya di hadapan sesamanya mereka telah berlaku bengis, kejam, berlaku jahat, culas, licik dan gemar menghalalkan segala macam cara. Keburukan dan kejahatan mereka kemudian makin menjadi-jadi sebab mereka tidak pernah jujur terhadap diri sendiri, yaitu tetap merasa diri sebagai “orang benar” dan “berkenan di hadapan Allah.” Karena itu mereka tidak pernah bertobat dan menyesali perbuatannya walaupun akibat kejahatan mereka telah begitu jelas di hadapan mata banyak orang. Tipe orang-orang yang demikian umumnya kaya dengan berbagai dalih dan pembenaran diri. Selain itu mereka juga sangat lihai untuk mengkambinghitamkan orang lain agar seluruh kesalahan dan keburukan mereka tidak pernah terungkap. Orang-orang demikian pada hakikatnya merupakan musuh bagi kebenaran dan kemanusiaan. Sebab untuk pembenaran diri, mereka juga tidak segan untuk memutar-balikkan semua fakta dan bukti. Kita tidak dapat membayangkan jikalau para pelaku kejahatan itu memiliki otoritas yang tinggi dan berpengaruh bagi masyarakat. Pastilah keadaan masyarakat atau orang banyak akan lebih menderita dengan sikap para pemimpin yang memiliki watak yang jahat tetapi selalu merasa diri benar dan saleh. Tetapi sejarah juga mencatat bahwa setiap pelaku kejahatan tidak pernah diberkati oleh Tuhan secara spiritual, yaitu damai-sejahtera. Mereka tidak pernah mengalami makna penyertaan Tuhan yang menentramkan sebagaimana yang diungkapkan oleh pemazmur, yaitu: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku, Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia  menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oeh karena namaNya” (Mzm. 23:1-3). Mereka mungkin mampu menutupi semua kesalahan dan kejahatan mereka di hadapan orang banyak, tetapi mereka tidak dapat menyembunyikannya di hadapan Tuhan. Itu sebabnya mereka selalu hidup dalam kecemasan, perasan takut, dikejar-kejar oleh hukuman Allah dan gelisah. Mereka kehilangan anugerah yang sangat besar yaitu perasaan damai-sejahtera dan keselamatan dari Allah. Sebab mereka telah memposisikan diri sebagai musuh-musuh Allah dan musuh bagi sesamanya.

Sebaliknya anggota jemaat yang sering diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka hidup menderita; anggota jemaat tersebut justru memperoleh kekayaan spiritualitas, berkat dan kasih Allah dalam persekutuan anggota jemaat. Walau jemaat perdana umumnya hidup dalam kesusahan dan penderitaan, tetapi mereka telah saling belajar untuk memberi dan peduli, yaitu: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis. 2:42). Penderitaan yang dialami oleh anggota jemaat dihadapi dengan kesehatian, kepedulian, doa dan kasih yang dilandasi oleh pengajaran rasul-rasul. Mereka tidak pernah membuat perlawanan secara fisik dan kekuatan senjata. Secara jasmaniah mereka dipandang rendah, dilecehkan dan tubuh fisik mereka dapat dilukai oleh kuasa dunia ini; tetapi dalam iman kepada Kristus mereka memperoleh kekayaan rohani yang membuat mereka mampu bersukacita. Itu sebabnya Kis. 2:46 melukiskan suasana “syaloom” kehidupan jemaat perdana: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah”. Inilah rahasia kehidupan iman Kristen, yaitu tetap mampu bersukacita dengan hati yang tulus walaupun mereka sedang dilanda oleh berbagai kesusahan dan penderitaan yang sangat berat. Dari sudut status sosial mereka mungkin adalah para budak yang telah kehilangan kebebasan dan masa depan. Tetapi dari sudut iman, mereka adalah para hamba-hamba Kristus yang telah dibebaskan dari kuasa dunia sehingga mereka diperkenankan oleh Allah untuk menikmati kekayaan kasih dan berkat-berkatNya. Jadi siapakah yang “kaya” dalam arti yang sesungguhnya, yaitu: Para tuan yang telah mendera atau menyiksa para budaknya, ataukah para budak yang telah menemukan kekayaan kasih Allah di dalam Kristus?  Para tuan pemilik budak umumnya orang-orang yang sangat kaya dan dihormati banyak orang; tetapi mereka kehilangan damai-sejahtera dan berada di bawah hukuman Allah. Sedang para budak umumnya hidup serba miskin, dihina, dan selalu hidup menderita tetapi di dalam iman kepada Kristus mereka telah memperoleh anugerah keselamatan dan sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Betapa sering kehidupan kita seperti para tuan pemilik budak itu. Kita mungkin memiliki banyak hal dan sering mengeksploitasi sesama tanpa perasaan kasih. Dalam hal ini kita berhasil menumpuk kekayaan dari penderitaan dan air mata orang lain. Tetapi apakah kita sungguh-sungguh bahagia? Justru fakta juga membuktikan orang-orang yang telah dieksploitasi tadi ternyata sering memiliki kekayaan spiritualitas yang lebih unggul dan bermakna dari pada diri kita, sebab mereka lebih bersandar kepada pertolongan dan keadilan Allah. Jika demikian, di manakah posisi kita saat ini berada? Apakah kita menderita karena menjadi korban, ataukah kita menderita akibat kelakuan kita yang jahat? Ingatlah nasihat dari Firman Tuhan, yaitu: “Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah” (1Petr. 2:20).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Memuliakan Kristus Dengan Mata Hati Yang Terang (Kis. 1:1-11; Mzm. 47; Ef. 1:15-23; Luk. 24:44-53)

$
0
0

Seringkali umat Kristen terjebak dalam perdebatan teologis, seperti: apakah Kristus bangkit dengan tubuh atau Roh-Nya. Hasilnya ada sebagian orang yang memilih di antara dua pemahaman tersebut, yaitu mereka yang percaya kebangkitan Kristus dengan tubuhNya, dan ada juga yang percaya Kristus bangkit dengan Roh-Nya saja. Demikian pula dengan masalah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga. Sebagian besar menyatakan Kristus naik ke sorga dengan tubuh-Nya, dan sebagian lainnya percaya Kristus naik ke sorga dengan Roh-Nya. Tentunya semua pemahaman teologis tersebut memiliki dasar dan alasan yang cukup kuat sehingga masing-masing pihak merasa mampu mempertanggungjawabkan dengan penuh keyakinan dan argumentasi yang dianggap alkitabiah. Tetapi apakah semua perdebatan atau percakapan tersebut mampu membawa umat atau setiap orang yang terlibat untuk mengalami “pencerahan” yang makin memperteguh iman dan kasihnya kepada Kristus?

Perdebatan teologis seharusnya ditempatkan dalam kerangka dan upaya agar kehidupan spiritualitas kita terus-menerus diperkaya oleh kekayaan iman dan kasih; sehingga kita mampu mengalami pembaharuan hidup yang telah dikerjakan secara sempurna oleh Kristus dalam kematian-Nya di atas kayu salib, yang kemudian diperteguh oleh kuasa kebangkitan-Nya serta Kristus yang telah dimuliakan Allah dalam kenaikan-Nya ke sorga. Ini berarti yang dimaksudkan dengan “pencerahan” dengan paradigma baru berkaitan dengan proses pembaruan hidup, sehingga setiap orang percaya mampu melihat realitas kehidupan ini dengan lensa iman dan kasih kepada Allah dan sesama. Karena betapa sering kita hanya dapat membaca atau melihat realitas kehidupan ini dengan mata inderawi atau sekedar fisik belaka sehingga kita sering gagal memberikan tafsiran dan kesimpulan yang lahir dari sikap iman dan kasih. Tafsiran atau sudut pandang atas realitas hidup yang tidak didasari oleh iman dan kasih kepada Kristus yang telah wafat dan dimuliakan oleh Allah ke sorga hanyalah akan melahirkan suatu tafsiran yang sangat dangkal dan simplistik, bahkan menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh Firman Tuhan.

Sebelum Tuhan Yesus pergi meninggalkan para murid-Nya, Kristus terlebih dahulu menyatakan diri bahwa Dia sungguh-sungguh hidup: “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Luk. 24:39). Iman para murid dan gereja perdana tidak didasarkan kepada kisah mitos tentang kebangkitan Kristus. Sebab kepercayaan para murid dan gereja perdana pada hakikatnya didasari oleh pengalaman iman yang faktual. Namun perlu diingat bahwa yang menentukan para murid dan gereja perdana yang akhirnya mereka dapat percaya atau mengimani Kristus yang bangkit bukan terjadi karena kekuatan manusiawi atau daya analitis teologis mereka. Sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Dia terlebih dahulu memberi pengajaran kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”

Iman para murid dibentuk oleh pengajaran dari Kristus yang bangkit; sehingga mereka dimampukan untuk mengerti bahwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah sebagaimana telah dinubuatkan oleh Musa, pemazmur dan para nabi. Seandainya peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh kitab-kitab Musa, kitab Mazmur dan kitab para nabi maka segala peristiwa tersebut sebenarnya tidak memiliki makna apapun sebab tidak menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Itu sebabnya di Luk. 24:45 menyaksikan, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka: “Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (NKJV: “And He opened their understanding, that they might comprehend the Scriptures”). Para murid dan gereja perdana dapat percaya karena Kristus yang bangkit telah memberikan pengajaran dan Dia pula telah membuka pikiran serta pengertian mereka sehingga mereka dapat mengerti makna Firman Tuhan yang telah dinubuatkan oleh Kitab Suci.

Selaku umat percaya, pada saat ini kita juga membutuhkan karya Kristus yang “membuka dan menyingkapkan pikiran” sehingga kita dimampukan untuk mengerti makna kebenaran Firman Tuhan. Sebab manakala pikiran dan pengertian kita tertutup oleh kebenaran kita sendiri, maka segala bentuk karya dan penyataan Allah yang paling spektakuler sekalipun tidak akan mampu membuat kita secara otomatis percaya dan mengalami pembaharuan hidup. Jadi tidak dijamin orang-orang yang telah mengalami peristiwa “mukjizat” atau “supernatural” senantiasa dapat lebih dekat dan mengasihi Kristus serta mengalami pembaharuan hidup. Demikian pula peristiwa penampakan Kristus yang bangkit atau kenaikanNya ke sorga tidak secara otomatis membuat orang-orang pada zaman itu menjadi lebih percaya dan hidup dalam pertobatan. Apabila mereka memiliki paradigma teologis bahwa tubuh Kristus saat Dia menjadi manusia sebagai suatu esensi yang kotor atau berdosa (misalnya karena pengaruh filsafat “neo-platonisme”), maka pastilah mereka tidak akan menerima kemungkinan peristiwa kebangkitan dan kenaikan Kristus dengan tubuh jasmaniah-Nya. Karena itu tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah Kekristenan kemudian berkembang pula golongan “Gnostik” yang intinya menolak kebangkitan dan kenaikan Kristus ke sorga dengan tubuh-Nya.

Pemikiran dari golongan Gnostik tersebut kemudian menjadi berbagai sekte Kristen yang berkembang di Mekkah dan Medinah sekitar abad VI-VII M. Sumber-sumber dari kelompok sekte dengan “injil apokrif” inilah yang tampaknya diambil alih tetapi juga beberapa bagian dari pemikiran “injil apokrif” dikritisi dalam pemikiran teologis Islam. Itu sebabnya muncul berbagai versi mengenai peristiwa kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus. Masing-masing versi tersebut menganggap pandangan teologisnya sebagai yang paling benar. Setiap kelompok dengan versinya memiliki alasan atau argumentasi teologisnya. Jadi tanpa dibukakan dan disingkapkan oleh Kristus sendiri sebagai sumber kebenaran, maka kita akan menjadi orang-orang buta yang menganggap dirinya paling benar dengan apa yang kita yakini. Seperti 5 orang buta yang memegang seekor gajah dan memberikan tafsirannya masing-masing: ada yang menganggap gajah sebagai hewan dengan bentuk kipas karena dia memegang telinganya, ada yang menganggap gajah seperti ular besar karena dia memegang belalainya, ada yang menganggap gajah seperti pohon karena dia memegang kakinya, ada yang menganggap gajah seperti pedang yang melengkung karena dia memegang gadingnya, dan ada yang menganggap gajah seperti kemucing (alat pembersih dari bulu) karena dia memegang ekornya.

Apabila di Injil Lukas menyaksikan tindakan Tuhan Yesus yang “membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45), maka rasul Paulus mendoakan jemaat Tuhan demikian dengan gagasan yang hampir serupa, yaitu: “supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Doa rasul Paulus adalah agar setiap jemaat Tuhan dikaruniakan 3 hal yang utama agar mereka dapat mengenal kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga, yaitu:

– Roh hikmat (pneuma sophias): yang menunjuk kepada karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti rahasia dan kehendak Allah tentang jati-diri Kristus sebab rahasia dan kehendak Allah yang dinyatakan di dalam diri Kristus melampaui kemampuan pikiran dan kehendak manusia. Sebab pikiran dan akal budi manusiawi tidaklah mungkin dapat menjangkau rahasia Kristus yang ilahi dan mulia serta yang ditentukan oleh Allah sebagai penguasa hidup umat manusia.

– Wahyu (apokalupsis): dalam pemahaman iman Kristen, kebenaran ilahi bukan ditentukan sebagai upaya dan prestasi rohani manusia; tetapi kebenaran ilahi ditentukan oleh kesediaan Allah menyingkapan diriNya. Sehingga dengan penyingkapan diri Allah tersebut, manusia diperkenankan untuk mengenal rahasia dan kemuliaan Allah berdasarkan kasih-karuniaNya. Jadi tanpa anugerah berupa wahyu Allah, manusia tidak mungkin dapat mengenal Kristus dan percaya kepadaNya.

– Mata hati yang terang (pephotismenous tous ophthalmous tes kardias): suatu ungkapan dengan tekanan makna kepada sikap hati manusia. Sebab makna “hati” dalam pemikiran teologia umat Israel menentukan seluruh orientasi dan tujuan hidup manusia serta menentukan pula keputusan etis sebagai prinsip-prinsip nilai yang menentukan kualitas hidup. Namun manakala hati tersebut belum memperoleh “penerangan” atau “pencerahan” dari Allah, maka “hati” juga dapat membawa manusia kepada sikap yang memberontak dan melawan kehendak Allah. Itu sebabnya muncul ungkapan “hati yang keras” atau mengeraskan hati seperti yang dilakukan oleh Firaun. Walaupun Firaun telah melihat begitu banyak mukjizat Allah namun dia tetap mengeraskan hati (Kel. 8:19), sehingga Allah kemudian menghukumnya.

Ketiga pola tersebut di atas pada prinsipnya saling melengkapi dan mempengaruhi kehidupan umat percaya. Apabila umat percaya diberi karunia berupa roh hikmat dan wahyu dari Tuhan, maka pastilah mereka akan memiliki mata hati yang terang untuk merespon penyataan Allah dalam Kristus. Sebaliknya apabila spiritualitas mereka makin terbuka karena mereka telah memiliki mata hati yang terang, maka pastilah mereka akan mudah menyerap dan memahami secara tepat roh hikmat dan wahyu dari Tuhan. Jadi pola karunia roh hikmat dan wahyu serta mata hati yang terang merupakan kekayaan rohani yang dianugerahkan Allah dan selalu bersifat dinamis, sehingga setiap orang percaya dimampukan untuk mengalami suatu proses pertumbuhan yang semakin dalam terhadap Kristus. Karena itu apabila spiritualitas kita makin dipenuhi oleh roh hikmat dan wahyu serta mata hati yang terang, maka kita akan dimampukan untuk lebih mempermuliakan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.

Dalam realita kehidupan kita sering gagal untuk mempermuliakan Allah di dalam Kristus, sebab ibadah dan spiritualitas kita sering dipenuhi oleh roh duniawi dan kehendak manusiawi serta mata hati yang suram oleh karena berbagai permasalahan atau tekanan kehidupan. Akibatnya kita mudah bersikap pesimistis dengan hati yang suram apabila kita menghadapi berbagai hal yang mengecewakan atau hal-hal yang menyedihkan hati kita. Dalam sikap demikian kita sering jatuh dalam sikap putus-asa dan tidak lagi memiliki pengharapan apapun terhadap pertolongan Tuhan. Itu sebabnya di Efesus 1:18 rasul Paulus berkata: “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Dalam konteks ini secara sengaja rasul Paulus mengkaitkan spiritualitas “mata hati yang terang” dengan sikap pengharapan. Sebab tanpa karunia Tuhan berupa mata hati yang terang sebagai hasil dari roh hikmat dan wahyu, maka pastilah kita akan dikuasai oleh perasaan putus-asa atau tanpa pengharapan. Bandingkan pula pengertian “mata” sebagai cermin “hati” atau spiritulitas dan kepribadian kita, yaitu: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:22-23).

Namun makna dari “melihat dengan mata hati yang terang” saat Kristus dipermuliakan dan naik ke sorga, bukanlah sekedar perasaan kagum dan terpesona. Ketika kita mengagumi atau terpesona dengan sesuatu hal umumnya wajah kita juga berseri-seri atau mata kita berbinar-binar. Pada saat para murid menyaksikan Tuhan Yesus yang terangkat ke sorga dan awan kemudian menutupiNya, mereka terus menatap ke langit. Mereka terpesona menyaksikan Kristus yang dimuliakan oleh Allah dengan mengangkat Dia ke sorga. Sikap para murid Tuhan Yesus tersebut sering menjadi cermin bagi banyak orang Kristen yang hanya terkagum-kagum oleh pengalaman “adikodrati” dan hal-hal yang menakjubkan tetapi mereka melalaikan tugas atau tanggungjawabnya di dunia ini. Mata mereka mungkin berbinar-binar saat mereka melihat berbagai hal yang langka dan menakjubkan tentang kehidupan “sorgawi”; tetapi mata hati mereka segera menjadi redup atau suram saat mereka harus berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan pahit. Kisah Para Rasul 1:10-11 berkata: “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga”. Para malaikat menegur sikap para murid Tuhan Yesus agar mata mereka tidak terus-menerus tertuju untuk menatap langit; tetapi mereka diingatkan untuk kembali ke dunia realitas mereka dan melakukan tugas panggilan sambil menantikan kedatangan Kristus kembali. Jadi makna “mempermuliakan Kristus dengan mata hati yang terang” bukanlah dengan cara melarikan diri (escaping) ke realitas “sorgawi” atau “dunia rohani”; tetapi justru kita harus berani menghadapi realiatas faktual namun dengan perspektif yang baru yaitu pembaharuan hidup oleh kuasa ROH KUDUS. Itu sebabnya sebelum Kristus naik ke sorga, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau ROH KUDUS turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).

Jika para murid Tuhan Yesus dan gereja perdana dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dengan kuasa ROH KUDUS, maka demikian pula kehidupan kita selaku umat percaya pada masa kini. Pembaharuan hidup sebagai buah dari ROH KUDUS haruslah kita wujudkan dalam suatu kesaksian yang nyata kepada orang-orang di sekitar kita. Dalam hal ini kita tidak mempermuliakan Allah dengan cara memberi “kesaksian-kesaksian rohaniah” yang serba menakjubkan atau betapa intimnya kita dengan Kristus sehingga kita dapat berbicara dan berjumpa secara eksklusif dengan Dia. Jenis kesaksian yang demikian patut diragukan kebenarannya, karena “ujung-ujungnya” kesaksian tersebut bertujuan untuk mempermuliakan diri sendiri dan mencari popularitas dengan simbol-simbol pengalaman religius. Sebab dengan kesaksian yang menakjubkan itu, sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa betapa penting dan istimewanya diri mereka sehingga mereka diperkenankan oleh Tuhan untuk melihat realitas “sorga” dan dapat mendengar suara Tuhan secara langsung. Tidaklah demikian sikap kita selaku jemaat Tuhan yang dewasa dan bertanggungjawab. Sebab makna dari tindakan mempermuliakan Allah perlu kita wujudkan dalam pembaharuan hidup, yaitu dengan cara menghadirkan kemuliaan Kristus melalui kejujuran yaitu integritas diri, kerajinan dalam bekerja, kesopanan dalam bertingkah laku, kepedulian dalam kasih kepada mereka yang menderita serta pengampunan kita kepada mereka yang bersalah. Manakala kita mempermuliakan Allah dan Kristus dengan pembaharuan hidup, maka pastilah kita telah mempermuliakan Dia dengan mata hati yang terang. Dengan spiritualitas yang demikian, kita akan terus diperkaya oleh Tuhan dengan roh hikmat dan wahyuNya sehingga mata hati kita akan makin dipertajam dan jeli untuk membedakan kehendak Allah dengan kehendak manusiawi; antara kepentingan Kristus dengan kepentingan diri sendiri sendiri; membedakan kebenaran dengan kebatilan. Jika demikian, bagaimanakah pola kita untuk mempermuliakan Allah dan Kristus dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita lebih cenderung menatap “ke atas” (dunia “rohaniah”) dan tidak peduli dengan tanggungjawab yang riel? Apakah kesaksian kita didasari oleh pembaharuan hidup atau sekedar kita fasih untuk beradu argumentasi yang sifatnya kognitif? Jadi apakah kehidupan kita saat ini telah mencerminkan kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Akar Segala Kejahatan adalah Cinta Uang (Yer. 32:1-3, 6-15; Mzm. 91:1-16; 1Tim. 6:6-19; Luk. 16:19-31)

$
0
0

Penghayatan hidup sebagai orang Kristen sering berada dalam situasi yang paradoksal. Pada satu pihak, prinsip utama dari iman Kristen adalah kita wajib mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi kita (Mat. 22:37-38); tetapi pada pihak lain kita dipanggil untuk bekerja dan mencari nafkah yang kita tahu adalah mencari uang (2Tes. 3:10). Paradoksal yang kedua adalah ucapan Tuhan Yesus di Luk. 16:13, yaitu: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”  Tuhan Yesus tersebut mau menyatakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah ketika kita menjadikan uang sebagai prioritas dalam kehidupan ini. Mungkin atas dasar pemikiran sekilas tersebut muncul suatu anggapan bahwa orang Kristen yang saleh adalah mereka yang hanya berdoa, membaca firman Tuhan dan memuji nama-Nya, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja mencari nafkah/uang. Benarkah ucapan Tuhan Yesus memiliki maksud yang demikian? Bila benar bahwa orang yang saleh atau berkenan di hadapan Allah adalah mereka rajin berdoa dan memuji nama Tuhan, maka dapat dimengerti apabila dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 Allah kemudian lebih membenarkan sikap Lazarus yang hidup miskin, dan menghukum orang kaya tersebut karena dia memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks pemikiran yang demikian, iman Kristen telah disalah-mengerti sebagai agama yang anti orang kaya dan lebih mendukung orang-orang yang hidup miskin. Tetapi apakah Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 memiliki maksud yang demikian?

Inti berita Lukas 16:19 melukiskan tingkah-laku orang kaya tersebut dengan gaya hidup yang ditandai oleh suasana pesta pora dan kemewahan setiap hari. Sementara di pintu gerbang rumahnya duduk seorang pengemis yang sangat miskin dan kelaparan bernama Lazarus. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh borok. Karena suatu keadaan Lazarus tidak mampu melindungi tubuhnya, sehingga borok-boroknya dapat dijilati oleh anjing setiap saat; padahal anjing dalam tradisi Israel dipandang sebagai binatang najis. Selain itu Lazarus hanya makan dari sisa-sisa roti yang dibuang di lantai. Dalam acara pesta di Israel pada zaman itu, tuan rumah sengaja menyediakan roti untuk dipakai sebagai alat pembersih tangan bagi para tamunya yang biasanya dipenuhi lemak makanan sehingga remah-remah roti tersebut berceceran di lantai. Setelah acara pesta selesai, remah-remah roti tersebut disapu untuk dibuang ke luar. Jadi remah-remah roti itulah yang dimakan oleh Lazarus. Tampaknya Lazarus telah lama tinggal di pintu gerbang, tetapi selama dia tinggal di situ hanya remah-remah roti pembersih tangan para tamu itulah yang dapat dia makan. Orang kaya tersebut tidak pernah peduli dengan penderitaan dan kemiskinannya. Mungkin orang kaya itu berpikir bahwa Allah telah menentukan Lazarus tetap miskin. Sebab bukankah Allah yang menentukan seseorang untuk menjadi kaya atau miskin, sehat atau sakit, hidup ataupun mati? Apabila Allah yang menentukan Lazarus tetap miskin, maka orang kaya tersebut berpikir bahwa dia sudah cukup “saleh” dan beramal banyak dengan membiarkan Lazarus tetap tinggal di pintu gerbang rumahnya serta dapat memperoleh makanan secara gratis dari remah-remah roti yang dibuangnya. Pesan utama dari kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sebenarnya bukan menyalahkan seseorang sukses dan menjadi kaya. Sebab bukankah para bapa leluhur Israel juga merupakan profil dari orang-orang yang sukses dan menjadi kaya? Abraham, Ishak dan Yakub tergolong orang-orang yang sukses dan kaya. Tetapi yang menjadi persoalan utama dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaannya; dan bagaimana pula seseorang memperlakukan sesamanya yang sedang menderita.

Ternyata orang kaya dalam perumpamaan tersebut menyikapi kekayaannya begitu intens. Itu sebabnya dia mengisi hidupnya tiada hari tanpa pesta yang serba mewah. Dia begitu lekat dengan kekayaan dan kemewahan. Secara konsisten dia telah mempratikkan untuk mengabdi kepada Mamon. Karena itu mata batinnya menjadi buta untuk merespons secara manusiawi keadaan Lazarus yang selama ini duduk di pintu gerbang rumahnya. Sikap orang kaya yang membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbang rumahnya bisa terjadi bukan karena orang kaya tersebut cukup bermurah hati. Sebab keadaan Lazarus yang hidup begitu miskin di pintu gerbang rumahnya, justru secara kontras dapat membuat rumah orang kaya tersebut tampak menjadi lebih mewah. Bukankah sikap orang kaya tersebut juga seperti kecenderungan beberapa orang yang secara sengaja memasang patung pemotong rumput yang sedang berjongkok membersihkan taman sebagai suatu hiasan belaka? Dengan kata lain, kemiskinan sesama juga dapat dipakai oleh beberapa orang sebagai suatu hiasan untuk memperindah rumah atau properti yang dimiliknya. Dalam konteks tersebut kita beranggapan bahwa Allah telah menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Jadi kalau dia miskin, bukan tanggungjawab kita untuk menolongnya. Bahkan kita merasa telah berbuat baik kepada orang miskin di dekat kita dengan memberikan beberapa potong roti dan tidak pernah mengganggu atau mengusirnya. Ketika kita lekat dengan harta milik atau kekayaan, maka batin dan hati kita menjadi buta untuk memperlakukan sesama secara lebih manusiawi. Sehingga kita merasa pemberian yang sifatnya karitatif sebagai bukti kepedulian dan kasih kita kepada sesama yang miskin dan sedang menderita. Akibatnya kita tidak pernah berupaya untuk memberdayakan sesama yang sedang menderita dan malang agar mereka juga dapat hidup secara pantas dan manusiawi.

Mungkin perumpamaan Tuhan Yesus tersebut dianggap terlalu sulit untuk dilaksanakan dan terlalu ideal bagi orang Kristen untuk memenuhinya. Tetapi sebenarnya perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 bukan suatu ajaran yang jauh dari kemampuan dan realita hidup. Orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu hidup dalam kemewahan yang mengagumkan, tetapi dia sama sekali tidak peduli untuk menolong seorang yang miskin dan sakit-sakitan bernama Lazarus. Orang kaya tersebut tidak menghadapi orang miskin dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sebenarnya orang kaya tersebut mampu menolong Lazarus untuk memberdayakan salah seorang pegawai atau pelayannya sehingga Lazarus dapat memeroleh kehidupan yang layak. Tetapi apa yang sebenarnya dia mampu lakukan, tidak dilakukan oleh orang kaya tersebut. Orang kaya tersebut mencintai uangnya lebih dari apapun juga. Sebagai seorang Yahudi, sebenarnya dia beriman kepada Allah dan firman-Nya; tetapi hatinya telah kawin dengan harta yang dimilikinya. Secara lahiriah orang kaya tersebut adalah seorang yang beragama dan ber-Tuhan, tetapi secara batiniah dia mengabdi kepada Mamon dengan sepenuh hati. Sehingga sangatlah tepat ucapan Tuhan Yesus, yaitu: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon(Luk. 16:13). Dalam praktik hidup orang kaya tersebut, dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan Allah karena hatinya secara total telah condong kepada Mamon. Itu sebabnya dia mencintai kekayaan, uang dan harta miliknya lebih dari segalanya, sehingga dia enggan untuk menolong Lazarus dari penderitaan dan kemiskinannya. Dalam konteks ini suatu tindakan disebut dosa apabila kita sebenarnya mampu melakukan apa yang baik dan benar bagi sesama yang sedang menderita, tetapi ternyata kita lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak melakukan apapun sehingga sesama kita tersebut akhirnya mati secara mengenaskan.

Di Yeremia 32:8, nabi Yeremia diperintahkan oleh Allah untuk membeli ladang milik pamannya bernama Hanameel di Anatot daerah Benyamin. Atas perintah Allah tersebut nabi Yeremia membeli ladang milik Hanameel dengan disaksikan oleh para saksi yang telah ikut menandatangani surat pembelian itu. Setelah itu Allah memerintahkan kepada nabi Yeremia, yaitu: “Ambillah surat-surat ini, baik surat pembelian yang dimeteraikan itu maupun salinan yang terbuka ini, taruhlah semuanya itu dalam bejana tanah, supaya dapat tahan lama” (Yer. 32:14). Ternyata perintah Allah kepada nabi Yeremia untuk membeli tanah ladang tersebut dipakai sebagai simbolisasi teologis bahwa Allah akan membeli tanah Israel untuk diserahkan kepada bangsa Kasdim. Alasan tindakan hukuman Allah terhadap umat Israel tersebut adalah karena umat Israel telah mereka membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain (Yer. 32:29). Dalam hal ini kita tahu bahwa motivasi umat Israel membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain, bahkan mereka tidak segan untuk mempersembahkan anak laki-laki dan perempuan sebagai korban dalam api (Yer. 32:35) dengan tujuan untuk memperoleh kemakmuran. Dengan kata lain demi tujuan kemakmuran secara duniawi, umat Israel tidak segan-segan menjual iman kepada Tuhan, dan membunuh anak laki-laki atau anak perempuannya sebagai korban dalam api. Sikap umat Israel tersebut mengingatkan kita akan kepercayaan untuk memperoleh kekayaan secara “klenik” (perdukunan) di Jawa yang disebut dengan istilah “pesugihan.” Maksud tindakan dari “pesugihan” adalah upaya memperoleh kekayaan secara cepat dan fantastis yang dimohonkan kepada Iblis/kuasa kegelapan dengan cara menyepakati pasangan hidup, lalu anak-anaknya satu demi satu untuk dijadikan tumbal/korban. Sehingga sangatlah tepat apabila I Timotius 6:9 berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.

Mungkin upaya “pesugihan” yang bersifat mistis atau “klenik” ini pada masa kini tentu bukan lagi merupakan pola yang menarik untuk dipilih oleh anggota jemaat modern untuk memperoleh kekayaan. Tetapi tidak berarti upaya untuk mencari uang dan kekayaan secara singkat dan fantastis sampai saat ini tidak menjadi obsesi bagi kebanyakan orang. Untuk itu mereka bersedia bekerja keras sedemikian rupa sehingga mereka rela mengorbankan relasi kasih dengan pasangan hidup dan anak-anaknya. Mereka mungkin berhasil menjadi orang yang sangat sukses dengan kekayaan berlimpah, tetapi mereka mempertaruhkan kehidupan rumah-tangganya; sehingga pada akhirnya keluarga mereka runtuh dan anak-anaknya terlibat dalam berbagai masalah kriminal atau asosial karena rohani mereka miskin dan jauh dari kasih. Sementara beberapa orang mencari kekayaan secara cepat melalui keterlibatan dengan sindikat penjualan obat-obat terlarang atau mereka secara sengaja terlibat dalam perampokan dan pencurian. Jadi pada intinya banyak orang ingin menjadi kaya secara mendadak sehingga akhirnya mereka terjatuh dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan. Jadi hasilnya sungguh mengerikan, sebab kehidupan dan masa depan mereka hancur. Rasul Paulus berkata: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10). Kehausan untuk memburu kekayaan bagaikan seorang yang sedang terdampar kehausan di tengah laut, sehingga dia nekat untuk minum air laut. Akibatnya rasa haus yang luar biasa menyerang dia, dan makin menjadi-jadi rasa hausnya, sehingga akhirnya dia mati dengan keadaan yang sangat menderita.

Iman Kristen pada prinsipnya tidak pernah melarang umat untuk menjadi kaya; dan juga tidak pernah menganjurkan umat untuk hidup miskin. Tetapi yang diingatkan dan dinasihatkan oleh iman Kristen terus-menerus adalah bahaya dari sikap keserakahan untuk memperoleh kekayaan. Sikap serakah bukan bukan sekedar sikap yang ingin memperoleh banyak seperti uang dan harta benda, tetapi sesungguhnyanya sikap serakah merupakan suatu hawa nafsu yang liar dan tidak pernah terpuaskan sehingga orientasi hidup dialihkan secara total kepada keinginan yang duniawi. Sikap seseorang yang serakah dalam kekayaan berarti mereka secara sengaja dan sadar untuk menjadikan Mamon sebagai penentu hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pernah berpikir untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah, tidak mau peduli atau mengabaikan sesama yang miskin dan menderita, menutup pintu hati mereka terhadap kemurahan dan belas-kasihan, lebih cenderung menjadikan sesama hanya sebagai obyek untuk dimanipulasi atau dieksploitasi, menghalalkan segala macam cara untuk meperoleh kekayaan, dan hidup yang memuaskan hawa-nafsu duniawi. Dalam sikap serakah terhadap kekayaaan sebenarnya kita telah menyembah dan mengabdi kepada ilah “harta milik.” Seperti sikap Israel yang pernah menyembah kepada Baal dan illah lain, maka dengan sikap serakah sebenarnya kita juga telah menyembah berhala kepada dewa kekayaan, sehingga mata batin dan iman kita menjadi buta. Akibatnya kehidupan kita berada di bawah hukuman Allah. Kita kehilangan damai-sejahtera Allah dalam kehidupan kita. Sebab kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai macam konflik dengan sesama, sikap antipati dan kebencian orang-orang di sekitar kita terhadap diri kita, perasaan hampa walau kita memiliki banyak hal dan hidup kita juga dipenuhi oleh berbagai macam oleh perasaan gelisah serta ketakutan.

Sangat berbeda dengan orang Kristen yang dengan semangat iman sungguh-sungguh mau bekerja keras, rajin, penuh dedikas, dipercaya, dan terus mengembangkan seluruh talenta yang telah Tuhan percayakan kepada mereka sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang sukses. Mereka sangat giat bekerja, terus mengembangkan karier dan makin profesional karena didasari oleh rasa tanggungjawab dan kasih kepada Allah. Mereka mendapat banyak berkat dari Allah, namun mereka tahu ke mana dan bagaimana mereka harus mengelola dan menyalurkan seluruh berkat Allah tersebut secara tepat dan berkenan di hati Allah. Walaupun mereka mendapat banyak berkat dari Allah, mereka dengan hati yang tulus dan penuh kasih mempersembahkan seluruhnya kepada Allah untuk karya-Nya, yaitu untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Dalam hal ini mereka menjadi kaya secara materi namun juga mereka kaya secara rohani. Jadi makna uang di tangan orang beriman akan menjadi alat dan saluran berkat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya uang di tangan orang fasik akan menjadi akar segala kejahatan. Jika demikian, letak permasalahan yang utama dan prinsipiil adalah apakah kita mencintai uang; ataukah kita mengasihi Allah dan sesama?

Karena itu kita selaku jemaat makin disadarkan makna panggilan kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi sebagai hukum yang pertama dan yang utama. Manakala kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama seperti diri kita sendiri maka kita tidak perlu takut dipercayakan oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah. Sebab kekayaan berlimpah yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut akan kita salurkan secara bertanggungjwab untuk pekerjaan dan kemuliaan nama Tuhan, serta akan kita gunakan untuk memberdayakan dan menolong sesama yang miskin dan menderita. Sebaliknya apabila kita serakah dan mengabdi kepada Mamon, maka seluruh uang dan harta yang kita miliki akan kita gunakan untuk mendukung seluruh program kuasa duniawi, kita manfaatkan untuk menekan orang-orang yang lemah, kita gunakan untuk ketidakadilan dan kejahatan. Jika demikian, bagaimana orientasi hidup kita yang sesungguhnya? Apakah hidup kita kini makin tertuju kepada Allah dan Kristus, ataukah hidup kita tertuju kepada Mamon? Kita perlu menentukan pilihan kita saat ini juga. Tetapi berbahagialah kita yang memilih kesetiaan dan kasih kepada Allah sebagaimana firmanNya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikar yang benar di depan banyak saksi.”

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Viewing all 27 articles
Browse latest View live